Minggu, 15 April 2012

3Moral leadership Rasulullah

Sejak pengujung abad yang lalu hingga
sekarang, diskursus mengenai pemimpin
atau kepemimpinan mencuat ke
permukaan. Ada dua penyebabnya.
Pertama, banyak pemimpin dalam berbagai bidang terlibat
pelanggaran moral. Kedua, mungkin karena usianya yang
makin menua, dunia kita sekarang tak kuasa lagi melahirkan
pemimpin-pemimpin besar (great leader) seperti pada
masa-masa terdahulu.
Kenyataan ini dikeluhkan oleh Jeremie Kubicek (2011) dalam
bukunya yang kontroversial, “ Leadership is Dead: How
Influence is Riviving it ” (kepemimpinan telah mati:
bagaimana pengaruh yang merupakan inti kepemimpinan
bisa dihidupkan kembali). Dikatakan, pemimpin sekarang
lebih banyak menuntut (getting ), bukan memberi (giving ),
menikmati (senang-senang), bukan melayani (susah-payah),
dan banyak mengumbar janji, bukan memberi bukti.
Dalam fikih politik Islam, moral yang menjadi dasar
kebijakan dan tindakan pemimpin adalah kemaslahatan
bangsa. Dikatakan tasharruf al-imam `ala al-ra`iyyah
manuthun bi al-mashlahah (tindakan pemimpin atas rakyat
terikat oleh kepentingan atau kemaslahatan umum). Jadi,
pemimpin wajib bertindak tegas demi kebaikan bangsa,
bukan kebaikan diri dan kelompoknya semata.
Kaidah ini diturunkan dari moral kepemimpinan Nabi SAW
seperti disebutkan dalam Alquran. Firman Allah, “Sungguh
telah datang kepadamu seorang Rasul dari kaummu sendiri,
berat terasa olehnya penderitaanmu, sangat menginginkan
(keimanan dan keselamatan) bagimu, amat belas kasihan
lagi penyayang terhadap orang-orang mukmin.” (QS al-
Taubah [9]: 128).
Ada tiga sifat (moral) kepemimpinan Nabi SAW
berdasarkaan ayat di atas. Pertama, azizin alaihi ma anittum
(berat dirasakan oleh Nabi penderitan orang lain). Dalam
bahasa modern, sifat ini disebut sense of crisis, yaitu
kepekaan atas kesulitan rakyat yang ditunjukkan dengan
kemampuan berempati dan simpati kepada pihak-pihak
yang kurang beruntung.
Secara kejiwaan, empati berarti kemampuan memahami
dan merasakan kesulitan orang lain. Empati dengan
sendirinya mendorong simpati, yaitu dukungan, baik moral
maupun material, untuk mengurangi derita orang yang
mengalami kesulitan.
Kedua, harishun `alaikum (amat sangat berkeinginan agar
orang lain aman dan sentosa). Dalam bahasa modern, sifat
ini dinamakan sense of achievement, yaitu semangat yang
mengebu-gebu agar masyarakat dan bangsa meraih
kemajuan. Tugas pemimpin, antara lain, memang
menumbuhkan harapan dan membuat peta jalan politik
menuju cita-cita dan harapan itu.
Ketiga, raufun rahim (pengasih dan penyayang). Allah SWT
adalah Tuhan Yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang.
Nabi Muhammad SAW adalah juga pengasih dan
penyayang. Orang-orang beriman wajib meneruskan kasih
sayang Allah dan Rasul itu dengan mencintai dan mengasihi
umat manusia. Kasih sayang (rahmah) adalah pangkal
kebaikan. Tanpa kasih sayang, sulit dibayangkan seseorang
bisa berbuat baik. Kata Nabi, “Orang yang tak memiliki kasih
sayang, tak bisa diharap kebaikan darinya.”
Bagi ulama besar dunia, Rasyid Ridha, tiga moral ini wajib
hukumnya bagi pemimpin. Karena, tanpa ketiga moral ini,
seorang pemimpin, demikian Ridha, bisa dipastikan ia tidak
bekerja untuk rakyat, tetapi untuk kepentingan diri, keluarga,
dan kelompoknya saja. Maka, betapa pentingnya moral
pemimpin. Wallahu a`lam!

Tidak ada komentar:

Posting Komentar