Senin, 02 April 2012

Bahaya Jika Adopsi Anak Hanya Untuk Dijadikan Pancingan Hamil


Memiliki anak menjadi impian hampir
semua orang. Impian tersebut ada yang ingin
diwujudkan seseorang meski belum menikah dan
tentunya mereka yang sudah menjadi suami-istri.
Untuk pasangan suami-istri, anak bisa didapat melalui
proses kehamilan. Namun tidak semua pasangan
beruntung bisa memiliki anak sendiri. Ketika hal itu
terjadi, adopsi bisa menjadi pilihan.
Menurut psikolog dari Universitas Atmajaya, Wieka
Dyah Partasari, ketika suami-istri memilih
mengadopsi anak, keputusan tersebut memang dipilih
atas kesepakatan bersama. "Adopsi menjadi pilihan
mereka di antara berbagai alternatif yang ada.
Harapan ketika mengadopsi ini juga sudah cukup
realistis," ujar Wieka saat berbincang dengan wolipop
melalui telepon Kamis (29/3/2012).
Harapan realistis yang dimaksud Wieka adalah
memang pasangan itu ingin menjadi orangtua.
"Bukan mengadopsi anak sebagai pancingan atau ada
harapan-harapan terselubung," jelasnya. Kalau
pasangan mengadopsi anak dengan tujuan hanya
sebagai pancingan, Wieka mengatakan, ke depannya
bisa menjadi masalah tersendiri.
Hal itu karena ketika suami-istri sudah ingin
mengadopsi anak, ada berbagai hal yang perlu
dipersiapkan. Pertama, menurut Wieka, yang paling
penting adalah kesiapan mental pasangan tersebut.
Pasangan juga harus punya komitmen yang kuat
karena menjadi orangtua bukan sesuatu yang mudah.
"Memiliki anak itu adalah suatu perubahan yang
membawa banyak konsekuensi. Segala macam
perubahan hidup akan sulit dijalani kalau belum
siap," tutur ibu dua anak itu.
Bukan hanya kesulitan untuk mengasuh anak saja
bahaya yang akan dihadapi pasangan ketika
mengadopsi anak sebagai pancingan. Nantinya
pasangan tersebut juga harus siap menghadapi
dampak psikologis ketika mereka sendiri punya anak
kandung. Apakah kasih sayang pada anak adopsi (yang
awalnya sebagai anak pancingan) akan tetap sama?
Bagaimana jika si anak kemudian merasa tersisihkan?
Tentunya kalau hal tersebut terjadi, orangtua tersebut
sudah mengorbankan anak.
Tidak hanya perubahan pada hal-hal teknis seperti
jadwal tidur saja yang harus dihadapi pasangan ketika
memiliki anak. Dijelaskan Wieka, kehadiran anak juga
mempengaruhi relasi antara suami-istri.
Selain mental dan komitmen yang juga harus
disiapkan pasangan ketika ingin mengadopsi anak
adalah mengumpulkan informasi. Pengetahuan
tentang adopsi ini penting diketahui terutama jika
suami-istri ingin mengadopsi anak dari lembaga
formal seperti Yayasan Sayap Ibu.
"Orangtua harus punya informasi yang lengkap. Dari
situ mereka bisa menimbang apakah memang sepakat
dengan informasi tersebut," imbuh wanita yang
sehari-harinya mengajar psikologi klinis itu.
Setelah mental siap dan punya cukup informasi,
persiapan yang tak kalah pentingnya adalah
memberitahukan keluarga besar. Bagi masyarakat
Indonesia, keluarga merupakan orang yang juga
memiliki peranan.
"Ini sangat khas dengan budaya kita. Keluarga besar
sesuatu yang penting. Anak akan tumbuh lebih
mudah dan optimal kalau keluarga besar tahu. Calon
kakek dan nenek bisa menerima dengan gembira,"
urainya.
Keluarga besar juga perlu diinformasikan soal kapan
Anda, sebagai orangtua akan memberitahu anak soal
statusnya. "Pada usia berapa, bagaimana caranya,
siapa yang akan mengatakan," tukas Wieka.
Persiapan untuk mengadopsi anak di atas juga berlaku
untuk Anda yang single parent atau belum menikah.
Namun untuk yang single, persiapan mentalnya harus
lebih ekstra.
"Karena kalau saya melihat bebannya lebih berat.
Kalau pasangan kan berdua. Kalau single maka dia
perlu mempersiapkan diri sebagai orangtua tunggal.
Dapat support dari keluarga besar. Keputusan ini
perlu dibicarakan," jelas psikolog kelahiran Surabaya,
April 1971 itu. (sumber)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar