Sabtu, 07 April 2012

Jalan yg lurus

Dalam 24 jam minimal 17 kali sehari kita minta ditunjuki
jalan yang lurus, bahkan bisa lebih dari dua kalinya bila
kita juga melanggengkan shalat sunat. Tetapi
pernahkan kita berfikir seberapa penting jalan yang lurus ini
sehingga begitu banyak perlu kita minta ?. Tanpa sadar
ternyata begitu banyak jalan bengkok atau jalan melenceng
telah kita tempuh sejak kecil, bahkan sampai tua-pun
begitu mudah jalan-jalan melenceng membelokkan
perjalanan kita.
Kalau pingin tahu dimana jalan melenceng ini mulai
membelokkan arah kita, Anda bisa membaca buku-buku
pelajaran anak-anak sekolah dasar di tempat Anda. Dengan
mudah Anda akan jumpai pelajaran yang menganggap
semua agama sama, bagaimana anak kita bisa yakin
dengan agamanya bila semua agama dianggap sama ?.
Bagaimana bisa tumbuh iman dengan pelajaran seperti
ini ?
Di ibukota negeri ini dan dijaman modern ini bahkan di
sekolah dasarnya ada pelajaran untuk menghafalkan
upacara kembang 7 rupa, dan pelajaran lain yang berbau
kurofat. Bagaimana kita bisa selamat dari takhyul, kurofat
dan sejenisnya bila justru di usia dini kita belajar yang
demikian ?.
Di tingkat SMP, SMA dan perguruan tinggi penyimpangan
itu bentuknya lain lagi. Kita belajar demokrasi dalam segala
hal, tidak penting lagi mana yang benar dan mana yang
salah karena yang paling banyak pendukung itulah yang
dianggap benar. Mungkin karena inipula maka korupsi
untuk money politics dan sejenisnya seolah menjadi halal
(karena telah menjadi mahar !), ya karena itu tadi kalau
mayoritas melakukannya (menyetujuinya) – maka inilah
yang benar menurut alam demokrasi.
Di sekolah dan perguruan tinggi, kita belajar ekonomi
kapitalisme dan ekonomi ribawi, bahkan nyaris tidak ada
pelajaran untuk bagaimana bermuamalah yang syar’i. Saya
terkejut bukan kepalang ketika suatu saat diundang untuk
bicara di forum dekan dari perguruan-perguruan tinggi
yang memiliki fakultas ekonomi dari suatu organisasi masa
Islam yang sangat besar. Bayangan saya selama ini
ekonomi Islam-lah yang mereka ajarkan kepada para
mahasiswanya. Ternyata tidak – sami mawon yang mereka
ajarkan, mereka baru berniat untuk mengajarkan ekonomi
Islam.
Kemudian keterkejutan saya bertambah-tambah, ketika
suatu hari ada kunjungan dosen eknomi dari perguruan
tinggi Islam yang dulu tempatnya mengkader para ulama –
dengan naïve nya saya membayangkan sedang ketamuan
ahli ekonomi Islam. Ternyata tidak juga, sang dosen malah
bercerita bahwa ekonomi yang dia ajarkan masih yang
konvensional – kapitalisme dan ribawi. Ekonomi Islam baru
diajarkan di fakultas lain yang memang dikhususkan untuk
itu.
Dengan gambaran itu semua, maka saya tidak heran lagi
mengapa di negeri yang mayoritas muslim ini – fatwa
ulamanya tentang bunga bank riba nyaris tidak digubris
oleh masyarakatnya.
Penyimpangan berikutnya yang sangat dasyat sekarang
adalah ketika tokoh-tokoh – yang seharusnya menjadi
panutan – negeri ini berpolitik. Saling sikut, saling fitnah,
saling sandera kepentingan seolah menjadi panglima di
negeri ini. Ongkos politik menjadi sangat mahal, saya
bahkan mengenal secara pribadi beberapa teman yang
menjadi bangkrut gara-gara tidak terpilih menjadi aleg,
menjadi bupati, menjadi gubernur dlsb.
Kenapa mereka bangkrut ketika tidak terpilih ?, mengapa
kalau terpilih mereka tidak bangkrut tetapi malah pada
kaya raya ?. Gaji-nya kah yang dipakai untuk membayar
ongkos pemilihannya ?. Oh tidak, gajinya malah nyaris
tidak disentuh – tetapi jalan lainlah yang membuatnya
mampu me- recover secara berlebih ongkos pemilihannya –
ini sudah menjadi rahasia umum di masyarakat. Jalan lain
inilah jalan yang menyimpang, yang seolah-olah menjadi
jalan tol untuk peningkatan strata sosial secara cepat bagi
para penempuhnya.
Daftar jalan menyimpang ini terus bertambah panjang
untuk kita yang menjadi pegawai maupun kita yang
menjadi entrepreneur. Setan berdiri di setiap simpang
jalan, mengarahkan kita pada jalannya yang seolah menjadi
jalan tol untuk sampai ke tujuan kita. Setan-setan ini-pun
mem-blokade jalan lurus kita dengan kawat-kawat berduri
– sehingga seolah kita tidak akan mampu melaluinya.
Itulah perlunya kita minta ditunjukiNya jalan yang lurus
minimal 17 kali sehari. Agar jalan lurus itu tetap nampak di
mata kita, agar tetap bisa kita lalui dengan aman, agar
setan tidak memalingkan muka kita ke jalan sesatnya.
Tetapi bagaimana dijaman seperti ini kita bisa
‘mengaman’-kan jalan lurus ini selain melalui do’a-do’a
kita yang tidak mengenal lelah ?. Kita harus mulai
membentinginya sejak pertama kali setan berdiri di
persimpangan jalan kita. Kita harus kawal perjalanan kita
dan anak-anak kita dengan upaya nyata.
Untuk anak-anak dan cucu-cucu kita, kita harus mulai bisa
membangun pendidikan yang berbasis iman. Kemudian
untuk kita sendiri para orang tua, kita juga harus bisa mulai
memberi contoh kearah mana generasi yang akan datang
kita bawa, dalam bermasyarakat, dalam bermuamalah
dan dalam berbagai aspek kehidupan lainnya.
Kita tidak boleh lelah dalam menyingkirkan pagar kawat
berduri yang ditaruh setan-setan di jalan kita. Kita tidak
boleh lelah untuk membangun jama’ah yang saling
menasihati untuk kebenaran dan saling menasihati untuk
kesabaran.
“Tunjukilah kami jalan yang lurus, yaitu jalan orang-orang
yang telah engkau beri nikmat kepanaya; bukan jalan
mereka yang dimurkai, dan bukan pula jalan mereka yang
sesat”. Amin.

muh.iqbal

Tidak ada komentar:

Posting Komentar