Senin, 30 April 2012

aku tak rela kau kenakan jilbab tipis itu. . .

Hari berbilang berganti bulan,
bulan pun berbilang berganti tahun, masih ingatkah
kau saudariku 12 tahun yang lalu saat kita masih
berseragam putih abu-abu..?
Bersama kita susuri lorong-lorong sekolah dengan
segenap semangat, senyum terkembang penuh
simpati pada setiap orang…
Sapaan salam senantiasa terurai, jilbab tebal lebar
terkibar, dan sesekali kita senantiasa merapikan saat
angin bersegera menerpa tubuh kita, takut tersingkap
lekuk tubuh yang memang sedikit Nampak karena
seragam mengharuskan berikat pinggang.
Cukup dinding-dinding kelas dan mushalla menjadi
saksi keteguhan kita dalam memperjuangkan jilbab
syar’i bahkan ketika peraturan saat itu siswa
perempuan harus menampakkan telinga dalam foto
ijazahnya…
Tak mudah bagi kita memperjuangkannya saat itu,
banyak jam pelajaran terbuang hanya gara-gara
diinterogasi pihak sekolah karena tindakan “ngeyel”
kita, bergantian dipanggil wakil kepala dan kepala
sekolah. Padahal ujian akhir makin dekat
Tak jarang kita berjalan dari ujung kelas ke ujung
kelas yang lain, bahkan dengan berurai air mata
sekedar menyatukan dan meyakinkan para jilbaber
untuk setia dengan jilbab menutup kepala saat
berfoto. Meskipun orang lain banyak berbicara miring
tentang kita, kita tetap dalam tujuan semula tetap
teguh dalam prinsip.
Dua belas tahun bukan waktu yang sebentar
memang, sekarang kita memang tidak bersama tapi
aku yakin prinsip kita yang sama itu masih ada. Dan
aku sangat yakin itu, aku sangat mengenal sosokmu…
Kita jarang bertemu, tak lagi satu halaqah dalam
menuntut ilmu. Entah mengapa sekarang aku jarang
melihat jilbab tebal nan lebar itu. Sehingga tak ada
lagi beda antara dirimu dengan jilbaber gaul itu. Aku
hanya bisa menerka sekiranya bertemu dan bisa
bertegur sapa. Tak berhak sedikit pun aku mengatur
visi misi hidup dirimu. Namun tak bisa membohongi
diri ini, ada rasa sedih dan iba apakah gerangan yang
telah terjadi dengan saudari seimanku yang dulu
pernah duduk satu lingkaran untuk mengkaji ilmu?
Mungkin engkau akan berargumentasi toh jilbabku
bukan nilaiku..!. Duhai ukhti yang aku cintai karena
Allah, yang masih saja aku doakan dalam setiap doa
rabithahku. Kembali dalam kemuliaan nilai-nilai Islam
itu pasti lebih utama dan menenangkan, tak usahlah
risau karena tak biasa di mata manusia, bukankah
kita berharap menjadi luar biasa di Mata Allah
dengan amalan terbaik kita?
Entahlah dunia memang makin berubah dan aku tak
tahu apa yang telah mengubah pandanganmu itu,
mungkin tuntutan profesi, mungkin tuntutan mode,
tuntutan ekonomi, atau tuntutan suami?
Padahal telah jelas dan gamblang bagaimana
ketentuan jilbab syar’i itu, Allah sendiri yang
berfirman dalam QS Al Ahzab: 59:
“Hai Nabi, katakanlah kepada istri-istrimu, anak-anak
perempuanmu, dan istri-istri orang mukmin:
‘Hendaklah mereka mengulurkan jilbabnya ke seluruh
tubuh mereka. ‘yang demikian itu supaya mereka
lebih mudah untuk dikenal, karena itu mereka tidak
diganggu. Dan Allah adalah Maha Pengampun lagi
Maha Penyayang.” Dan juga dalam QS An Nuur 31
… ”Dan hendaklah mereka menutupkan kain kudung
ke dadanya…”
Perintah Allah itu jelas dan tak pernah berubah
karena Al Quran itu sesuai dengan perkembangan
zaman , meski zaman banyak berubah karena
teknologi yang begitu pesat, namun bukan berarti
kemudian Al Qur’an mengikuti zaman, tetapi
zamanlah yang mengikuti Al Quran.
Perintah Allah begitu jelas tak perlu ditawar agar
muslimah itu menutupkan kain kudung ke dada, dan
tentunya arti dada di sini tidak serta merta hanya
bagian dada tetapi area selingkaran dengan dada
yaitu punggung lengan dan juga di bawahnya, karena
perbuatan demikian lebih menutup aurat dan
menjaga kemuliaan.
Lantas dengan jilbab yang tipis itu, aku juga semakin
tak mengerti alas an apalagi, apakah karena di
pasaran sudah tak ada lagi yang menjual kain tebal
yang lebih menutup aurat, atau takut dikatakan
jilbaber tapi tidak innovation, atau lagi-lagi masih
saja menggunakan dalil cuaca di bumi makin panas,
dan takut kegerahan dengan jilbab yang tebal.
Padahal jika dinalar rumah yang kecil dengan rumah
yang besar tentu akan terasa panas ketika kita berada
dalam rumah yang kecil bukan? Ketika kita berjilbab
masih merasa gerah mungkin ada yang tidak beres
dengan model jilbab kita, seperti model rumah tadi.
Mungkin terlalu ketat, atau ada ikatan-ikatan yang
memang seharusnya tak perlu kita pasang sehingga
malah membuat gerah.
Tak ada yang salah dengan syari’at Islam, kalaupun
kita belum menemukan kebahagiaan dan
ketenteraman sebagai umat muslim, mungkin kita
belum sampai dalam ilmunya. Dan seharusnyalah kita
menuntut ilmu Islam itu lebih keras lagi. Karena kita
tahu Islam itu syammil mutakamil, Islam itu
sempurna dan menyeluruh. Seluruh aturan hidup itu
ada dalam Islam. Karena itu kita harus bahagia dan
bangga sebagai umat Islam. Bentuk kebanggaan kita
salah satunya adalah tidak malu menampakkan
identitas kita sebagai muslimah. Tidak malu atau
setengah-setengah dalam mengimani perintah dan
mengenakan jilbab syar’i.
Muslimah harus cerdas, begitu juga dalam mengikuti
perkembangan mode harus bisa menyiasati dan
pandai memilah saat membeli pakaian pun dalam
berbisnis pakaian muslimah. Saudariku bukankah
telah sampai kepada kita kajian tentang syarat-syarat
jilbab syar’i:
1. Menutup seluruh badan selain bagian yang
dikecualikan (muka dan telapak tangan)
2. Tidak dijadikan perhiasan
3. Jilbab itu harus tebal tidak tipis
4. Jilbab harus longgar, tidak ketat
5. Tidak dibubuhi parfum atau minyak wangi
6. Tidak menyerupai pakaian laki-laki
7. Tidak menyerupai pakaian wanita-wanita
kafir
8. Tidak berupa pakaian Syuhrah (sensasi)
baik itu terlalu mewah karena mahal
ataupun terlalu murahan yang dipakai
untuk menunjukkan sikap zuhud dan
dilakukan atas dasar riya’
Tentu engkau masih ingat saudariku yang aku cintai
karena Allah, sebuah hadits yang meriwayatkan “ Pada
akhir umatku nanti akan muncul para wanita yang
berpakaian namun hakikatnya telanjang. Di atas
kepala mereka terdapat sesuatu seperti punuk unta.
Laknatlah mereka! Sesungguhnya mereka wanita-
wanita terlaknat. Mereka tidak akan masuk syurga dan
tidak akan mencium aromanya, padahal aroma
syurga itu dapat tercium dari jarak perjalanan sekian
dan sekian (HR Thabrani, dalam al-Mu’jamus Shaghiir
(hlm.232), dari hadits ibnu ‘Amr, dengan sanad
shahih). Dan juga kisah shahbiyyah bersegera
memenuhi perintah Allah tentang berpakaian yang
sesuai syari’at. Yaitu seperti wanita-wanita Anshar
yang bersegera merobek gorden rumah mereka untuk
dijadikan jilbab ketika ayat tentang hijab turun
sehingga dikisahkan wanita-wanita Anshar keluar dan
seakan-akan di atas kepala mereka bertengger burung
gagak hitam karena pakaian yang mereka kenakan.
Saudariku masih ada lagi kisah yang menakjubkan
dari kalangan shahabiyyah yang seharusnya kita
jadikan teladan. Yaitu riwayat dari Ummu ‘Alqamah
bin Abu ‘Alqamah, ia berkata: “Aku melihat Hafshah
binti ‘Abdurrahman bin Abu Bakar menemui ‘Aisyah.
Ketika itu, Hafshah sedang memakai khimar berbahan
tipis sehingga keningnya terlihat. ‘Aisyah lantas
merobek khimar itu, seraya berkata: “tahukah kamu
apa yang Allah turunkan dalam surat An Nuur?
Kemudian, ‘Aisyah minta diambilkan khimar (yang
tebal), lalu ia memakaikannya kepada Hafshah.
(Diriwayatkan oleh Ibnu Sa’ad (VIII/46), Ibnu Hibban
mencantumkannya dalam ats Tsiqaat (V/466))
Saudariku aku berharap keprihatinan hati ini cukup
sampai di sini dan takkan aku temui lagi keadaan
yang membuat diri ini miris dan sedih. Saudariku
memang seharusnyalah kita malu kepada Allah,
banyak nikmat yang Dia beri kepada kita. Nikmat
sehat, tubuh yang lengkap, dan segala kesempurnaan
fisik sebagai perempuan, serta banyak nikmat lain
yang takkan pernah habis bila kita menghitungnya.
Namun kita sering malas bahkan mengulur waktu dan
terus mencari alas an untuk tidak menjalankan
perintahNya. Bukankah bentuk dari kesyukuran
adalah ibadah dan menjalankan aturan Islam dengan
paripurna? Mungkin kita akan mengatakan toh kita ini
berproses? Namun proses harus mempunyai target
yang jelas, karena kita tidak tahu sampai kapan jatah
hidup kita di dunia.
Saudariku, tentu kita takut ketika rasa malu dalam
diri kita dicabut karena apa dalam hadits
dikatakan:”Sesungguhnya Allah SWT apabila hendak
membinasakan seseorang, maka dicabutnya rasa
malu dari orang itu. Bila sifat malu sudah dicabut
darinya, maka ia akan mendapatinya dibenci orang,
malah dianjurkan orang benci padanya. Jika ia telah
dibenci orang, dicabutlah sifat amanah darinya. Jika
sifat amanah telah dicabut darinya, kamu akan
mendapatinya sebagai seorang pengkhianat. Jika telah
menjadi pengkhianat, dicabutnya sifat kasih sayang.
Jika telah hilang kasih sayangnya, maka jadilah ia
seorang yang terkutuk. Jika ia telah menjadi orang
terkutuk maka lepaslah tali Islam darinya.” (HR Ibnu
Majah).
Istiqamah memang tak mudah apalagi tanpa
didukung oleh lingkungan, teman-teman dan orang-
orang terdekat dari kita. Namun bukan hal yang
mustahil bagi kita untuk mengupayakan itu semua.
Dengan upaya terus memupuk keimanan kita,
senantiasa menuntut ilmu, dan bergaul dengan orang
shalih dan shalihah. Yang tak kalah penting adalah
Berdoa pada Allah semoga kita senantiasa tetap
komitmen dalam jilbab yang syar’i.
Wallahu A’lam bishawwab

Tidak ada komentar:

Posting Komentar