Senin, 30 April 2012

Warna Cinta

Apa yang terbayang saat melihat kedua
orang tua ‘berantem’ mempertahankan pendapatnya
masing-masing? Kesal, takut, atau ogah ikut campur. Itu
pula yang terkadang saya alami saat melihat mereka beradu
pendapat. Ibu bersikukuh dengan pendapatnya, dan bapak
bersikeras dengan pemikirannya. Sebagaimana pasangan
lainnya, dalam beberapa hal mereka punya kesamaan-
kesamaan, dan dalam beberapa hal lainnya mereka pun
punya perbedaan. Cara mendidik anak, cara membuat
keputusan, dan lain-lain.
Saat saya masih SD, ibu pernah mengatakan “Kamu harus
selalu siap apabila sewaktu-waktu guru di sekolah tiba-tiba
mengadakan ulangan!” Namun seketika itu pula bapak
menimpal, “Nggak bisa begitu! Nggak baik kalau mendadak
begitu. Harus ada pemberitahuan lebih dulu sebelumnya.”
Saya yang bengong melihat mereka berdua adu pendapat,
akhirnya hanya bisa pasrah. Tanpa mengerti mengapa
mereka bisa sampai demikian.
Beberapa tahun kemudian, barulah saya memahami kira-
kira apa yang mereka maksudkan dari pendapatnya itu. Ibu
bilang bahwa saya harus siap apabila sewaktu-waktu ibu
guru memberikan ulangan dadakan, itu karena beliau
menginginkan agar saya selalu siap menghadapi berbagai
kemungkinan yang bisa saja terjadi. Sedangkan bapak yang
bilang bahwa tidak bisa serba mendadak, itu dikarenakan
pengalamannya dalam berorganisasi. Bapak menginginkan
anaknya pandai-pandai membuat rencana sebelum
bertindak, terlebih lagi bagi seorang anak laki-laki yang kelak
akan memimpin. Itulah yang hendak diajarkan oleh ibu, dan
itulah yang hendak diajarkan oleh bapak.
Saat anak sedang sakit, tentunya yang paling diharapkan oleh
anak adalah keberadaan kedua orang tua di dekatnya. Itu
pula yang dulu saya rasakan saat pertama kali masuk dan
dirawat di rumah sakit. Namun yang ada justru tidak
demikian adanya. Terkadang hanya ada bapak, atau hanya
ibu yang menemani. Namun demikianlah adanya, dan
bahkan mungkin selalu demikian.
Selama ini saya hanya mengetahui bahwa biasanya hanya
salah satu saja dari mereka yang ada untuk menemani.
Sebatas itu, tanpa mengetahui apa yang dilakukan oleh ibu
atau bapak saat mereka pergi tanpa ada untuk menemani.
Saat bapak ada untuk menemani, ibu pergi. Beberapa saat
kemudian, ibu datang membawakan makanan kesukaan
anaknya. Lain halnya saat ibu yang ada untuk menemani,
dan bapak yang pergi. Saat bapak datang, beliau tidak
membawa apa-apa. Bahkan sampai saatnya untuk pulang
pun, bapak tidak membawakan oleh-oleh. Sekedar tahu
bahwa saya sudah bisa dibawa ke rumah, dan bapak datang
untuk menjemput lalu mengantarkan saya pulang.
Hanya itu. Kalaupun ada kabar baik, mungkin selama ini saya
yang memang tak pernah menyadarinya. Memang tak ada
oleh-oleh yang bapak bawa, beliau hanya memastikan
bahwa saya akan diantar hingga ke rumah. “Yang penting,
sekarang Kamu udah bisa pulang. Itu aja!” Begitulah kata
beliau, tanpa bercerita tentang apa yang terjadi di luar
ruangan. Saya hanya tahu bahwa biaya berobat inap sudah
lunas. Begitulah bapak, beliau tak bercerita tentang berapa
biaya berobat, dan apa yang dia lakukan untuk bisa melunasi
biaya rumah sakit. Mungkin selama ini beliau jarang
menemani anaknya karena sedang berusaha mengumpulkan
uang untuk biaya pengobatan. Yah, entah apapun itu,
tampaknya itu adalah rahasia seorang bapak.
Beranjak SMP, bapak jadi lebih pendiam, sedangkan ibu
tetap cerewet banyak aturan. Ibu semakin banyak
memberikan tuntutan dan keharusan, sedangkan bapak
semakin memberikan kebebasan. Bahkan kadang bapak
memberikan uang jajan lebih. Begitu pula saat SMA, bapak
tak pernah ikut campur saat saya hendak memilih jurusan
IPA atau IPS. Beliau hanya bertanya “Mau masuk apa? IPA
atau IPS?” tanpa berkomentar apapun saat saya
menjawabnya “Mau ke IPA.” Berbeda dengan ibu yang
banyak bicara soal pemilihan jurusan. Buat ibu, yang paling
penting adalah nantinya kuliah di jurusan Akuntansi, karena
itu akan memudahkan untuk mencari kerja. Maklum, ibu
bekerja di sebuah kantor akuntan, jadi sejelek-jeleknya kuliah
saya (kalau saya kuliah di jurusan Akuntansi), ibu setidaknya
ibu bisa membantu untuk membawa saya bekerja di
kantornya.
Tibalah saat pemilihan jurusan di SPMB (2004). Ibu
bersikukuh agar saya mau mengambil kuliah jurusan
Akuntansi. Mungkin beliau takut nanti anaknya ini akan
kesulitan mencari pekerjaan. Berbanding terbalik dengan
bapak yang diam-diam saja tanpa banyak berkomentar.
Hampir tiap hari ibu membahas pemilihan jurusan,
sedangkan bapak hanya sekali mendatangi untuk
membicarakan tentang pemilihan jurusan. Beliau duduk di
kursi belajar yang ada di kamar sembari menatap saya yang
terduduk di kasur.
“Jadinya pilih jurusan apa?”
“Yang pilihan pertamanya Farmasi ITB, keduanya Psikologi
UPI, Pak…”
“Beneran?”
“Iya, Pak. Insya Allah.”
“Ya udah. Bapak mah nggak akan maksa buat milih jurusan
apa-apa. Yang penting mah Kamu serius, bener-bener, ama
komitmen ama pilihan. Bertanggung jawab ama
keputusan…”
Bapak pun beranjak dari kamar, dan tak ada lagi obrolan
tentang itu dengan beliau. Begitulah bapak. Bila ibu
ketakutan saya akan susah dapat pekerjaan bila setelah lulus
kuliah nanti, bapak lebih menginginkan saya untuk bisa
membuat keputusan sendiri, berani menentukan,
berkomitmen, bertanggung jawab, bersungguh-sungguh
dalam memperjuangkan hidup, dan mau menanggung
resiko. Itulah kenapa bapak lebih memilih untuk tak banyak
berkomentar dan memberikan kebebasan pada anaknya.
Bagi bapak, yang penting adalah mau bertanggung jawab
dan menerima resiko.
Begitulah ibu dan bapak. Ibu punya pendapat sendiri untuk
anaknya, bapak pun punya pandangan sendiri tentang
anaknya. Ibu punya cara tersendiri dalam mencintai
anaknya, begitu pula bapak yang punya cara tersendiri
dalam mencintai anaknya. Ada ‘warna’ yang berbeda dalam
mencintai anak-anaknya.
Selama puluhan tahun ini, begitulah ibu dan bapak. Ibu
mencintai dengan caranya sendiri, bapak pun mencintai
dengan caranya sendiri. Kakak punya cara tersendiri dalam
mencintai, adik pun punya cara tersendiri dalam mencintai.
Teman dan sahabat punya cara tersendiri dalam mencintai,
orang lain pun punya cara tersendiri. Cinta punya banyak
warna, sebagaimana kita punya cara tersendiri dalam
mencintai.

From this note with love.

1 komentar:

  1. IMAM al-Bukhari menyebutkan, kewajiban seorang Muslim sebelum beramal adalah berilmu. Jangan sesekali menghina dan memandang rendah akan kemampuan mereka yang memiliki ilmu. Islam melihat ilmu dan amal sebagai penyumbang kepada kehidupan bahagia di dunia dan akhirat.

    BalasHapus