Sabtu, 21 April 2012

Kerabatmu dulu baru sahabatmu

Pulang sekolah, Anisa mendapati
Bunda sedang melipat baju yang baru diangkat dari
jemuran, membuat ia teringat dengan sebuah
rencana. Khawatir terlupa lagi, Anisa langsung
menyampaikan rencana tersebut kepada sang bunda.
“Bunda, boleh tidak kalau aku memberikan baju yang
sudah kekecilan pada orang yang membutuhkan?”
“Boleh saja. Tapi, bukankah dua minggu yang lalu
semua baju kecilmu sudah kamu berikan kepada
sepupumu?”
“Masih ada satu, Bunda. Baju warna biru yang dulu
ayah belikan. Boleh ya, Bunda?” Anisa memohon.
“Oh, yang itu. Sekarang kamu sudah berubah pikiran?
Daripada hanya tersimpan di lemari, Bunda memang
lebih setuju kalau kamu berikan kepada yang
membutuhkan. Bunda yakin Ayah juga setuju dengan
idemu. Kalau boleh tahu, kepada siapa baju itu akan
kamu berikan?”
Dengan semangat Anisa pun bercerita bahwa di
sekolahnya ada penjual jajanan yang mempunyai
anak perempuan. Usianya di bawah Anisa.
Kepadanyalah Anisa berencana memberikan baju
yang sebenarnya sangat special. Baju itu hadiah dari
Ayah saat ulang tahunnya setahun yang lalu. Tapi
karena Ayah keliru memilih ukuran, sejak dibeli baju
itu hanya tersimpan di lemari. Masih baru, belum
pernah dipakai sama sekali.
“Kamu sudah bilang sama anak atau ibu penjual
jajanan itu kalau kamu akan memberikan baju?”
tanya Bunda.
Anisa menggeleng. Sebenarnya ia agak khawatir kalau
pemberiannya justru akan menyinggung perasaan
mereka. Terus terang Anisa tidak begitu akrab dengan
mereka.
“Begini, Anisa. Sebenarnya Bunda mendukung penuh
niatmu. Mau diberikan kepada siapa saja, yang
penting kamu harus ikhlas, tidak mengharapkan
apapun kecuali ridha Allah semata. Tapi di pengajian
mingguan kemarin, kebetulan ustadzah membahas
tentang prioritas orang-orang yang berhak menerima
sedekah kita.”
Anisa menatap Bunda, tak mengerti apa yang Bunda
maksudkan.
Maka dengan lemah lembut Bunda menjelaskan
bahwa meski tidak ada larangan untuk memberikan
sedekah kepada siapa pun, tapi sebenarnya ada pihak-
pihak yang harus diprioritaskan. Keluarga dan kerabat
lebih utama didahulukan dibanding pihak lain.
Seperti yang diriwayatkan oleh Ahmad dan Muslim,
Rasulullah saw pernah bersabda, ““Jika salah seorang
di antaramu miskin, hendaklah dimulai dengan
dirinya, jika ada kelebihan maka untuk keluarganya,
jika ada kelebihan lagi untuk kerabatnya.” Atau beliau
bersabda: “Untuk yang ada hubungan kekeluargaan
dengannya. Kemudian apabila masih ada barulah
untuk ini dan itu.”
Juga ada satu firman Allah yang menunjukkan
keutamaan memberi shadaqoh kepada keluarga,
kaum kerabat kemudian tetangga sekitar, berdasarkan
firman Allah swt: “Kepada anak yatim yang
mempunyai hubungan kerabat. “ (QS. Al Balad: 15)
Karenanya, Bunda menyarankan kepada Anisa untuk
memberikan baju itu kepada kerabatnya. Ada satu
orang sepupu Anisa yang belum kebagian saat Anisa
membagi-bagikan baju bekas layak pakainya dua
minggu yang lalu.
“Jika kita memiliki beberapa yang bisa kita
sedekahkan, tidak masalah kita berikan kepada
beberapa orang, termasuk yang bukan kerabat kita.
Tapi Adakalanya, kita tak mempunyai banyak yang
bisa kita berikan, bahkan satu-satunya seperti baju
yang akan kau berikan, kita harus membuat skala
prioritas. Siapa yang paling membutuhkan, dan siapa
yang terdekat dengan kita. Jika dua orang sama-sama
membutuhkan, tapi hanya satu yang bisa kita
berikan, maka kita utamakan dulu yang masih ada
hubungan keluarga dengan kita. Menurut Bunda,
Aisyah adalah pilihan yang paling tepat. Kita tahu,
hidup mereka sangat sederhana. Sudah semestinya ia
kita prioritaskan sebelum orang lain.” Panjang lebar
Bunda menjelaskan.
“Tapi kalau semua orang lebih mementingkan
saudaranya, bagaimana dengan mereka yang tidak
memiliki saudara, siapa yang akan membantu
mereka? Apa negara, Bunda?”
Bunda tersenyum, menatap Anisa yang telah melepas
kerudungnya, kegerahan.
“Jangan khawatir mereka tidak ada yang
memperhatikan. Apa yang nabi contohkan, bukan
berarti kita tidak perlu memperhatikan dan
membantu orang lain yang bukan saudara. Bukan itu
maksudnya, Anisa. Jika ada dua pihak yang sama-
sama sangat membutuhkan, tapi hanya kepada salah
satunya kita bisa membantu, maka utamakan yang
terdekat hubungannya dengan kita. Jika kita mampu,
membantu orang lain yang tidak memiliki hubungan
kekerabatan juga dianjurkan. Yang terpenting, kita
harus ikhlas, tidak boleh mengharap imbalan dan
tidak juga boleh menyakiti perasaan mereka.”
“Mengenai orang-orang yang mungkin tidak memiliki
keluarga, seperti yang kamu pelajari di sekolah, orang
miskin dan anak-anak terlantar seharusnya menjadi
tanggung jawab negara, dalam hal ini aparat
pemerintahannya. Begitu pun dalam pandangan
agama, seorang pemimpin wajib memperhatikan
kesejahteraan hidup rakyat yang dipimpinnya.” Bunda
menambahkan.
Kening Anisa berkerut. Masih ada yang mengganjal di
hatinya. “Tapi kok masih banyak orang-orang yang
hidupnya kekurangan, terlantar di pinggir jalan dan
tinggal di kolong-kolong jembatan. Apa pemerintah
kita tidak tahu, pura-pura atau justru tidak mau
tahu? Jangan-jangan, para pejabat negeri ini
beralasan kalau mereka sekedar mengikuti sunah
nabi. Karenanya mereka selalu mengutamakan
keluarga dan kerabatnya saja? Memperkaya diri
sendiri dengan cara korupsi?”
Bunda terkekeh. Cara berfikir Anisa memang
seringkali melampaui anak seusianya.
“Secara pribadi seorang pejabat tidak salah jika
mengutamakan keluarga dan kerabatnya. Tapi sebagai
aparat pemerintah, mereka bertanggung jawab
terhadap kesejahteraan rakyat yang dipimpinnya.
Bukankah dalam ruang lingkup negara, seluruh warga
negara adalah juga keluarganya? Jadi kalau ada
seorang pemimpin, pejabat negara yang tidak peduli
dengan rakyatnya, dan hanya mengutamakan
keluarga dalam kehidupan pribadinya, maka ia telah
menyalahi amanah yang rakyat berikan kepadanya.
Apalagi kalau sampai korupsi, memperkaya diri dan
keluarganya sendiri dengan mengambil hak-hak
rakyat, maka tunggulah di akhirat, ia akan diminta
pertanggungjawabannya.”
Anisa mengangguk. Bukan sok paham, ia benar-benar
telah paham.
“Ya sudah, kalau begitu baju Anisa yang biru itu buat
Aisyah saja. Lain kali, kalau ada yang sudah tidak
muat lagi baru Anisa berikan kepada anak si penjual
jajanan.”
“Berdoalah, Nak. Semoga Allah meluaskan rezeki kita
agar kita bisa berbagi dengan banyak orang. Tak
harus menunggu baju kamu kekecilan, tapi kita bisa
membelikan baju-baju baru untuk mereka yang
hidupnya kekurangan.”
“Amin…”

Tidak ada komentar:

Posting Komentar