Minggu, 15 April 2012

Rahasia keberkahan Halaqoh



Halaqah, atau yang biasa disebut
pengajian, usrah, liqa, or something like that ,
merupakan kebutuhan kader dakwah dalam
memenuhi kebutuhan tarbiyahnya. Karena
bagaimanapun, tarbiyah dan dakwah sudah seperti
dua sisi mata uang yang saling berkelindan. Tarbiyah
tanpa dakwah, sama halnya melihat tapi lumpuh.
Kuat kepemahamannya, tapi lemah
kebermanfaatannya. Sebaliknya, dakwah tanpa
tarbiyah sama seperti berjalan namun buta. Makanya,
kalau ada kader dakwah yang eksis tapi malas liqa,
pasti gerak dakwahnya banyak yang ‘nabrak-nabrak’.
Untuk mencapai kesuksesan dalam tarbiyah, seorang
kader dakwah mesti memahami mengapa dirinya
penting mengikuti agenda pekanannya tersebut.
Karena kesalahan dalam memahami liqa akan
berdampak pada hasil tarbiyah yang ia raih.
Beberapa Keistimewaan Halaqah
Sebelumnya, seorang kader dakwah perlu memahami
bahwa liqa bukanlah satu-satunya sarana tarbiyah. Ia
hanya salah satu dari sekian banyak penopang
tarbiyah, seperti mabit, mukhayyam, daurah, tatsqif,
dan lainnya. Akan tetapi liqa tidak dapat disamakan
dengan penunjang tarbiyah yang lain. Dalam
pelaksanaannya saja sudah sepekan sekali, lebih
rutin. Sementara penunjang lainnya merupakan
agenda-agenda tambahan yang dilaksanakan
kondisional, sesuai kebutuhan. Artinya, sudah tentu
yang rutin ini mendapat prioritas dan perhatian lebih
ketimbang sarana tarbiyah lainnya.
Analoginya seperti bakso. Jika di mangkuk ada bakso
tapi tidak ada bihun-toge-sawi, tetap saja makanan di
mangkuk itu disebut bakso. Tapi lain jadinya jika di
mangkuk ada bihun-toge-sawi, tapi justru tidak ada
baksonya, maka makanan di mangkuk itu tidak akan
pernah disebut sebagai bakso. Karena keberadaan
bihun-toge-sawi hanyalah sebagai pelengkap yang
menunjang inti dari semangkuk bakso. Kalau
baksonya tidak ada, rasanya keberadaan bihun-toge-
sawi akan menjadi sia-sia adanya. Seperti itulah
kaitan liqa yang sebagai agenda inti dengan
penunjang tarbiyah lainnya.
Mungkin sebagian orang ada yang bertanya,
“Mengapa harus liqa? Mengapa bukan dengan sarana
yang lain saja?” Untuk mendapatkan jawaban
tersebut, sekarang mari menelaah apa saja kelebihan
liqa yang tidak dimiliki oleh sarana lainnya. Sudah
pasti penelaahan ini dilihat dari keefektifan daya
ubah yang dihasilkan dan dirasakan oleh para
mad’u itu sendiri .
Pertama, liqa itu memiliki jadwal yang rutin.
Pelaksanaan liqa idealnya sepekan sekali. Itu
merupakan jadwal yang proporsional. Karena ketika
terlalu jarang, tentu tidak baik. Jadwal yang jarang
dan sering bolong tidak akan memberikan dampak
perubahan yang signifikan lantaran tidak
memunculkan chemistry- chemistry di antara
Murabbi-Mutarabbi ataupun Mutarabbi-Mutarabbi.
Pesan dakwah yang disampaikan seorang ustadz akan
sulit diterima jika tidak ada usaha untuk membangun
kedekatan dengan para mad’u- nya. Untuk itu,
intensitas pertemuan sepekan sekali tersebut
diharapkan dapat memangkas jarak-jarak yang
sebelumnya ada. Seperti kata pepatah jawa, Witing
tresno jalaran soko kulino, cinta ada karena terbiasa.
Kemudian sebaliknya, kalau jadwalnya terlalu sering,
misalnya dalam sepekan ada pertemuan lebih dari
sekali, ini juga kurang baik. Karena dikhawatirkan
munculnya kejenuhan pada diri Mutarabbi ataupun
Murabbi. Bagaimanapun, mereka tetaplah manusia
biasa yang tak luput dari rasa bosan. Waspadalah,
karena kejenuhan itu bisa mengurangi kualitas
keikhlasan pada diri seseorang! Justru adanya
pertemuan sepekan sekali itu dapat melatih para
anggota liqa untuk bersabar. Selain itu, waktu
sepekan sekali mampu menghadirkan rasa penasaran
dan rindu untuk selalu bertemu.
Kedua , liqa itu merupakan wujud “ jama’ah kecil”
yang bisa menjaga seseorang dari kekufuran.
Seringkali ada pertanyaan, “Bagaimana caranya agar
kita istiqamah?” Sebenarnya jawabannya sederhana.
Selain faktor internal, yaitu menjaga kualitas
keimanan pribadi, ada pula faktor eksternal yang
berasal dari lingkungan. Karena bagaimanapun
kondisi lingkungan sedikit banyak akan memengaruhi
kondisi seseorang di dalamnya. Dan ini pun terjadi
bagi aktivis dakwah yang mengisi hari-harinya dengan
dakwah. Saat itu tentu dirinya sering bersinggungan
dan berinteraksi dengan orang-orang di sekitarnya.
Maka ada saja dampaknya, baik kecil ataupun besar.
Bisa jadi mula-mulanya muncul rasa malas. Lalu
mulai kendur semangat dakwahnya. Kemudian kalau
sudah parah, bisa-bisa kemungkinan terburuk pun
terjadi.
Mungkin kekhawatiran ini berlebihan, tapi biarlah.
Daripada bersikap permisif yang akhirnya berakhir
fatal. Bukankah lebih baik mencegah daripada
mengobati? Bukankah penyakit-penyakit mematikan
juga biasanya diawali dengan gejala-gejala yang
sering dianggap sepele?
Maka dari itu, keberadaan jama’ah sangatlah penting
bagi seorang aktivis dakwah. Karena ketika dirinya
berada pada sebuah jama’ah, maka dirinya akan
diingatkan di saat ia lupa. Ia pun dikuatkan ketika ia
lemah. Kala itu, keberadaan jama’ah ibarat oase di
padang pasir. Ia pun laiknya pom bensin pemulih
bahan bakar keimanan yang membuat langkah-
langkah para aktivis dakwah semakin lesat lajunya.
Ada pula pertanyaan, “Sebetulnya faktor besar
perubahan ada pada pembinaan diri sendiri. Ini kita
kenal dengan istilah tarbiyah dzatiyah . Lalu buat apa
liqa kalau sudah melakukan tarbiyah dzatiyah ?” Ini
sangat menarik. Mengingatkan konsep dasar bahwa
manusia adalah makhluk sosial yang tidak bisa berdiri
sendiri. Begitu pula dalam tarbiyah. Jika liqa, sebagai
wujud tarbiyah jam’iyah, tidak diiringi dengan
tarbiyah dzatiyah, maka yang terjadi adalah seperti
mobil mogok yang didorong orang banyak. Sulit
bergerak karena dari mobilnya sendiri tidak ada
bahan bakar (baca: motivasi kesadaran) untuk
bergerak. Pun demikian, mobil itu akan tetap
bergerak, meski progresnya sedikit dan menghabiskan
banyak tenaga tentunya.
Lalu apa yang terjadi saat menjalankan
tarbiyah dzatiyah tanpa dibarengi tarbiyah jam’iyah ?
Seperti panah yang melesat tanpa arah lantaran
memang tidak ada yang mengarahkan. Hasilnya
adalah meleset dari tujuan yang seharusnya.
Bagaimanapun tidak ada orang yang mampu menilai
dan mengevaluasi dirinya sendiri. Seorang murid di
sekolah pun memerlukan seorang guru untuk menilai
kemampuannya. Seorang presiden pun memerlukan
rakyat sebagai penilai kesuksesan pemerintahannya.
Inilah bukti bahwa setiap itu memerlukan orang lain.
Kalaupun ada orang yang bisa menilai dirinya sendiri,
rasanya terlalu naif dan sangat subjektif. Apakah
dirinya dapat menjamin kemurnian dari penilaian itu?
Ataukah penilaian itu lebih sekadar corak
kesombongan dan keegoisan belaka? Perlu diketahui,
bahwa output tarbiyah tidaklah melahirkan
kesombongan maupun keegoisan. Manakala dua sifat
itu muncul pada diri seseorang, maka bisa dikatakan
ada yang tidak beres dengan proses tarbiyahnya.
Maka dari itu, dalam pelaksanaan tarbiyah, seorang
kader dakwah perlu ada seseorang (Murabbi) sebagai
pendamping yang nantinya akan mengevaluasi dan
melakukan proses pengarahan sesuai
dengan marhalah (tingkatan) tarbiyah dirinya.

Ketiga, liqa merupakan proses dakwah-tarbiyah yang
menerapkan sistem komunikasi antar pibadi. Inilah
yang menjadi indikator mengapa liqa lebih
menghasilkan perubahan positif yang signifikan,
terukur, dan terarah daripada taklim-taklim pada
umumnya. Jika pada taklim seorang ustadz harus
berhadapan dengan puluhan, atau bahkan ratusan
orang, maka yang terjadi saat itu adalah komunikasi
yang bersifat satu arah. Para mad’u tidak leluasa
bertanya dan ustadz pun tidak mungkin menjawab
seluruh pertanyaan atau memenuhi seluruh
kebutuhan para mad’u -nya, apalagi memantau
perubahan mereka atas hasil ceramah dirinya.
Sementara itu, liqa terdiri dari beberapa orang
(umumnya maksimal 10) saja yang membentuk
sebuah kelompok kecil. Dalam kelompok tersebut,
seorang ustadz lebih memiliki kesempatan untuk
melakukan komunikasi dua arah kepada
para mad’u. Hal ini terlihat dari adanya feedback dari
mereka, seperti berupa pertanyaan, sanggahan,
ataupun cerita-cerita lainnya. Jelas ini berdampak
positif. Sang ustadz akan mudah membangun
kedekatan dengan mereka. Lalu sang ustadz pun akan
lebih mudah memahami karakter mad’u -nya satu
persatu, hingga kemudian dirinya mampu
menentukan cara yang tepat untuk mendakwahi
mereka. Selain itu, kecilnya
jumlah mad’u memudahkan ustadz untuk memantau
keberhasilan mereka dalam memahami dan
menjalankan pesan-pesan yang telah disampaikannya.

Keempat, liqa memiliki sistem
kurikulum madah (materi) yang runut dan sistematis.
Berbeda halnya dengan sarana lainnya yang lebih
bersifat general. Liqa sudah seperti sekolah yang
menyediakan asupan-asupan “gizi” sesuai dengan
tingkatan kepemahaman para mad’u . Tidak mungkin
jika anak SD dikasih soal anak SMP. Karena pasti anak
itu bingung. Begitu pula anak SMP, tidak mungkin
diberi soal anak SD. Karena itu tidak memberi
perkembangan apa-apa kepadanya.

Adanya kurikulum materi yang runut dan sistematis
memberikan pengertian bahwa dakwah-tarbiyah ini
memiliki tujuan dan arah yang jelas. Bayangkan, apa
jadinya jika dakwah ini dilakukan asal-asalan dan
tidak terstruktur dengan baik? Sudah tentu produk
yang dihasilkan juga tidak baik. Materi dalam liqa
dibuat sedemikian rupa agar dapat dipahami dengan
baik oleh para mad’u , sehingga mereka memahami
Islam ini sebagai kesatuan sistem utuh dan
menyeluruh.

Laiknya membangun rumah yang kokoh, tentu
diawali dengan membuat pondasi, dinding, dan
atapnya. Oleh sebab itu, dalam dakwah-tarbiyah
pertama kali yang perlu dibangun adalah kekokohan
aqidah. Karena aqidah adalah pondasi bagi setiap
muslim. Baru setelahnya membangun sisi-sisi yang
lain. Contoh, tidaklah mungkin seorang mad’u diberi
materi keutamaan sedekah jika sebelumnya tidak
dijelaskan tentang materi sabar dan syukur. Tidak
pula mereka dikasih materi yang besar jika tidak
diawali dengan materi yang kecil dan pokok. Lihat saja
kasus-kasus terorisme yang pernah ada. Mereka
mengamalkan jihad, tetapi tidak didasari oleh
pemikiran yang sebagaimana mestinya. Alhasil,
banyak hal yang disayangkan selepas peristiwa teror
itu terjadi. Niat dan semangat mereka bagus, hanya
saja pelaksanaannya yang kurang tepat.


Ruhiyah, Inti Sel Halaqah

Sekali lagi ada pertanyaan menarik, “Apa sebenarnya
yang membuat liqa ini berkesan, sehingga banyak
kader dakwah yang menekuninya hingga sekarang?”
Spirit liqa bukanlah terletak pada apa yang terdapat
pada baramij- nya (susunan acara), seperti
tilawah, tadabur ayat al-Qur’an,
kultum, muraja’ah hapalan, materi, diskusi,
qadhayah, dan do’a. Semua itu memang dibutuhkan
kader dakwah guna menunjang perkembangan
dirinya. Namun sekali lagi, keberadaan baramij itu
sendiri sebetulnya adalah kondisional, bukan suatu
hal yang saklek atau tidak dapat diubah. Semua itu
disusun sesuai kebutuhan.

Terlebih, poin-poin pada baramij liqa itu sebetulnya
masih bisa didapatkan di luar liqa setiap harinya!
Do’a, tilawah, tadabur, dan muraja’ah al-Qur’an,
adalah kegiatan yang tidak sepatutnya ditinggalkan
kader dakwah setiap harinya. Diskusi, materi, maupun
kultum masih bisa didapatkan dengan cara banyak
membaca buku atau menghadiri forum-forum
diskusi. Qodoyah pun bisa ditanggulangi dengan cara
lain, seperti menulis unek-unek atau curhat pada
teman.

Itu sebabnya semangat liqa bukanlah terletak
pada baramij, melainkan pada kesadaran untuk
TRANSFER RUHIYAH yang ada pada diri setiap anggota
liqa. Di sinilah terjadi pertukaran dan penyulutan
semangat antara satu anggota dengan anggota lain
dalam liqa.

Di kala ada seorang anggota yang turun
semangatnya, ketika datang liqa, dirinya bertemu
dengan Murabbi dan para sahabat yang menerimanya
dengan tulus dan penuh energi. Entah energi apa itu.
Yang jelas energi itu dapat kembali mengisi pundi-
pundi hati yang semula kosong atau tidak penuh
menjadi full terisi. Ada ‘sesuatu’ yang bisa didapatkan.
Rasanya nikmat dan menghantarkan semangat untuk
menjalani hari-hari sepekan ke depan.

Terkadang energi itu dapat dirasakan lewat
senyuman, sentuhan, jabatan tangan, pelukan, atau
bahkan teduhnya wajah dan tatapan mereka. Energi
misterius itulah yang membuat setiap pertemuan liqa
selalu memberikan kesan tersendiri,
meskipun baramij di setiap pekannya sama saja.
Karena sebanyak apa pun baramij tersebut, ketika
tidak berusaha menghadirkan energi ruhiyah, maka
liqa yang berjalan pun akan terasa hambar, tidak
membekas, dan melelahkan.

Mari bedah lebih dalam. Dakwah-tarbiyah ini
merupakan permainan hati. Kalau begitu, sudah pasti
keberhasilannya ditentukan oleh yang Maha
Menguasai Hati, bukan? Untuk dapat memenangkan
permainan hati ini, sudah tentu para pelakunya perlu
menyertakan hati seutuhnya untuk yang Maha
Menguasai Hati. Karena hanya yang Maha Menguasai
Hatilah yang mampu memenangkan hati setiap
orang.
Untuk itu, agar liqa menjadi berkah, perlu kiranya
setiap anggota di dalamnya (khususnya Murabbi)
menjaga kondisi ruhiyahnya. Seorang Murabbi ibarat
nahkoda kapal yang semestinya meyakinkan dan
menguatkan para awaknya kala menghadapi badai-
badai kehidupan. Jika nahkodanya sudah panik atau
goyah, lantas bagaimana kapal itu akan tetap selamat
berlayar? Pun begitu, para Mutarabbi pun perlu
menjaga kondisi ruhiyah mereka. Karena untuk
menjalankan kapal tersebut, kelihaian seorang
nahkoda tak cukup berarti jika para awaknya
pesakitan dan lemah semangatnya.
Allahu a’lam…

Tidak ada komentar:

Posting Komentar