Rabu, 18 April 2012

Ustadzah Jempolan!


“Perkenalkan ini Bu Guru ngaji
kalian yang baru. Panggil saja Bu Nining. Silakan Bu,
kalau mau kenalan lebih lanjut dengan mereka. Saya
tinggal dulu, ya?” tutur Bu Hafni (alm.), sang “ibu
kedua” yang dahulu pernah kuceritakan.
Bu Nining nampak tersenyum dan mengangguk
kepada ketua PR ‘Aisyiyah sekaligus pendiri TPQ
(Taman Pendidikan Qur’an) Nurul Huda Ds.
Ujunggede itu.
“Nama lengkap saya Sukma Gemala Ciptaningsih.
Tapi, kalian cukup memanggil saya Bu Nining saja”
tukasnya.
Beliau pun bercerita singkat tentang di mana saat ini
tinggal, latar belakang pendidikannya, dan beberapa
hal lain. Tahukah kau, saudaraku? Kehadirannya
kuanggap membawa arti tersendiri bagiku. Hingga
kini masih terasa apa yang beliau pernah ajarkan
kepadaku dan santri-santri lainnya.
Kukira beliau ialah tipe seorang muslimah yang taat
dan rajin membaca. Tebal kaca matanya dipadu
dengan jilbab dan kerudungnya yang lebar
mengingatkanku pada ikon majalah Annida. Ya, sejak
SD cerpen-cerpen remaja ala Annida menjadi salah
satu bacaan favoritku. Di mataku, Bu Nining itu bak
jelmaan ikon majalah remaja Islam itu. Ada banyak
hal yang bisa kupetik dari kisahku menimba ilmu
darinya. Alhamdulillah, puji syukur kepada Allah,
karena aku ditakdirkan bersua dengannya.
Think Beyond
Itu mungkin satu frase yang cocok merepresentasikan
ustadzah muda ini. Ditunjang beberapa pengalaman
mengajar sebelumnya, beliau benar-benar membawa
perubahan positif atmosfir belajar kami kala itu.
Tanpa menganggap remah ustadzah sebelumnya yang
mengajar kami, Bu Nining tampil dengan berbagai
inovasi. Kami dibuat lebih kerasan berangkat mengaji
di TPQ.
“Khoirukum man ta’allamal qur’aana wa’allamahu .
Artinya, sebaik-baik kalian ialah yang mempelajari Al-
Qur’an dan mengajarkannya. Hadits Riwayat
Bukhari.” Itulah salah satu hadits yang mula-mula
kami hafal bersama. Hadits ini pula yang konon jadi
favorit beliau. Subhanallah. Benar-benar berjiwa
Qur’ani, ya?
Selain hafalan hadits-hadits pendek, Bahasa Arab,
praktik shalat, wudhu, fiqih , gharib , aqidah, akhlaq,
tajwid, tarikh, dan Bahasa Inggris menjadi menu
wajib bagi kami. Tiap harinya kami tetap mengaji
dengan membaca Al-Qur’an atau Qiro’ati (sejenis
Iqro’) sesuai jilid atau level yang masih dijalani.
Namun, usai itu kami diberi suplemen materi-materi
tadi secara bergantian. Hafalan hadits menjadi salah
satu momen favorit kami. Biasanya beliau menuliskan
sebuah hadits di papan tulis dengan kapur. Lalu,
kami membaca hadits tersebut bersama-sama beliau
dengan suara keras beberapa kali. Usai itu, giliran
kami diberi waktu untuk menghafalnya dalam waktu
5-10 menit. Maka, mulailah mulut kami berkomat-
kamit menghafal. Ada pula yang kemudian pindah
tempat duduk di pojok ruangan. Agar lebih
konsentrasi, katanya. Setelah batas waktu selesai,
kami dipanggil satu persatu untuk melafalkan hadits
tersebut di depan beliau. Yang belum hafal, biasanya
diminta untuk menghafal lagi di rumah. Alangkah
senangnya jika kami berhasil menghafalnya. Hampir
tiap pertemuan kami diminta bersama-sama
melafalkan hadits-hadits terdahulu yang pernah
dihafal sebelumnya. Inilah salah satu strategi beliau
agar kami tidak barlen (Jawa: bubar klalen) alias
langsung dilupakan setelah selesai TPQ. Saking
semangatnya, hadits yang kami hafal sering jadi
penghias bibir tatkala bermain dengan santri lain di
waktu istirahat atau sebelum belajar di TPQ mulai.
Senangnya mengenang masa itu.
Penyabar
Ustadzahku memang top. Tak hanya mengajari kami
banyak hal, sikapnya dalam menghadapi kami pun
jempolan. Beliau tak mudah marah meskipun tingkah
laku kami terkadang menyulut emosi. Ketika sudah
keterlaluan, aksi diam menjadi pilihannya. Dan
terbukti itu cukup ampuh mengalahkan kenakalan
kami. Kesabarannya juga bisa kulihat dari
kegigihannya untuk berusaha hadir on time tiap
pertemuan. Padahal, beliau tinggal di Kel. Purwoharjo
yang masuk wilayah Kec. Comal. Artinya, beliau harus
melewati jalan raya pantura yang menjadi akses
utama jalur Jakarta-Semarang. Tahukah kau,
bagaimana beliau berangkat mengajar kami? Sepeda
mini warna biru lah yang menjadi pilihannya.
Subhanallah. Betapa sabarnya beliau mengayuh
sepedanya hampir tiap hari untuk berbagi ilmu
dengan kami. Aku pun yakin beliau tak terlalu
mempedulikan gaji. Apa pasal? Sebab kami pun
mengaji di sana secara cuma-cuma. Anggaran PR
‘Aisyiyah selaku penyelenggara kukira juga tak banyak.
Do’aku Untukmu, Ustadzahku!
Sekarang beliau tinggal di Pekalongan bersama
suaminya. Aku yakin suaminya bukan orang biasa,
sebagaimana Bu Nining yang luar biasa menurutku.
Kuingat selalu pesanmu untuk tak berhenti belajar Al-
Qur’an sampai ajal menjemput. Tak kulupa pula
wejanganmu bahwa mengaji itu bukan urusan anak-
anak. Bertambahnya usia justru harus diimbangi
dengan semakin dekatnya dengan kitabullah.
Sungguh kupercaya bahwa nasihatmu adalah wujud
kasih sayangmu kepada kami. Jika diri ini ditanya,
“Siapa guru terbaikmu?” Tanpa ragu akan kusebut
namamu sebagai salah satunya. Hingga kini, belum
ada yang bisa kuberikan kepadamu sebagai bukti
terima kasihku. Namun, Allah SWT Mahaadil. Dia akan
membalas setiap apa yang hamba-Nya lakukan di
dunia ini. Mungkin baru sedikit do’a ini yang bisa
kuhadiahkan untukmu, ustdzahku: “Ya Allah,
muliakanlah Bu Nining di dunia dan akhirat lantaran
beliau lah salah satu perantara bagiku dalam
mengenal-Mu. Bahagiakan diri dan keluarganya dan
berkahi setiap langkah kebaikan yang beliau tempuh.
Karuniai beliau dengan anak-anak yang shalih dan
shalihah. Sesungguhnya Engkau Maha Mengabulkan
Do’a. Aamiin”.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar