Jumat, 06 April 2012

Bila dakwah berlabel negara

Alhamdulillah, puji syukur
kehadirat Allah… Negaraku adalah lahan subur,
tempat tumbuh dan pesatnya gerakan dakwah Islam.
Gelombang kebaikan itu muncul membersamai
situasi kondusif Indonesia, tempat berkumpulnya elit
kebenaran dan elit kebathilan. Saya kemudian
berpikir, mungkin ini pula di antara keberkahan
demokrasi yang semua orang rasakan, semua ingin
tampil laksana ingin dikenal walaupun tanpa esensi
apapun yang menjadi landasan paradigma.
Saya lihat ini peluang dan sekaligus jembatan dakwah
menjelma dalam bentuk negara. Dakwah harus
mengalami metamorfosa tanpa meninggalkan
orisinalitasnya, paradigma ini harus tertancap di
nurani dan tekad setiap Du’at, Da’i harus punya
obsesi kekuasaan, obsesi politik dan obsesi
peradaban. Ketiga hal tersebut harus menjelma
dalam suatu bentuk yang dinamakan NEGARA,
dakwah seperti ini yang dahulu kita lihat para Aktor
Rasulullah dan para sahabat, lihat bagaimana
Rasulullah mengirim surat-suratnya ke Persia,
Romawi, Yaman Dll, serta spirit nabawi yang terlihat
ketika Rasulullah dan para sahabat menggali parit
sebagai pertahanan menghadapi musuh dalam
perang khandaq, Romawi akan ditaklukkan, sebaik-
baik panglima dan tentara yang menaklukkannya. Dan
terbukti impian Nubuwwah itupun diejawantahkan
oleh pemuda yang berumur 17 tahun yang bernama
Muhammad Al-fatih.
Pada hari ini, adalah era kemandirian dakwah, (bukan
berarti tanpa ada pertolongan dari Allah), era
dakwahnya Nabi Sulaiman ‘alaihissalam, era di mana
dakwah menjelma dalam bentuk negara,
Sesungguhnya (surat itu) dari Sulaiman yang isinya
“dengan nama Allah yang maha pengasih lagi maha
penyayang. Janganlah engkau berlaku sombong
datanglah kepadaku sebagai orang yang berserah diri.
(QS. An-Naml: 30-31), ini adalah tarbiyah Al Qur’an
kepada kita bahwa, dakwah itu harus berorientasi
kekuasaan, karena fungsi esensial negara dalam Islam
adalah sebagai hirosatud din (menjaga Agama) dan
siyasatud dunya (mengelola Bumi).
Kita pada hari ini harus mengubah atau
mentransformasikan mind-set kita agar jangan
berlama-lama berdakwah, pada fase Nabi Musa
‘alaihissalam dengan Fir’aun, “Pergilah kamu berdua
(Musa dan Harun) kepada Fir’aun karena dia benar-
benar telah melampaui batas. Maka bicaralah kamu
berdua kepadanya (Fir’aun) dengan kata-kata yang
lemah lembut, mudah-mudahan dia sadar atau
takut” (QS. Thaha: 43-44), hal demikian adalah
gambaran dakwahnya orang tertindas karena
kezhaliman nyata para penguasa, kita hari ini bukan
dalam kondisi tertindas, kita adalah orang yang
merdeka berpendapat, demokrasi menjanjikan itu.
Maka hal yang paling mungkin kita lakukan adalah
membersamai era demokrasi ini sebagai langkah awal
dakwah menjelma sebagai sebuah negara.
Maka negara adalah manifestasi dari doktrin agama
atau ideologi yang berkembang, kita melihat tidak
satu pun dari negara adi daya berideologi sosialis
seperti Rusia dan kapitalis seperti Amerika melainkan
telah mengalami kanker yang mematikan dalam
tubuh negara itu, maka tidak ada lagi alternatif yang
paling mungkin untuk menggantikannya yaitu Al-
Islam, tinggal bagaimana kita sebagai salah satu dari
sekian batu bata kebangkitan itu untuk melakukan
reformasi paradigma agar dakwah tampil lebih elegan
dan diminati oleh semua golongan yang bukan hanya
Muslim akan tetapi orang-orang non Muslin pun
merasakan keberkahan di bawah panji pemerintah
Islam. Suatu hari kita akan melihat para pemimpin-
pemimpin Islam akan menuliskan surat-surat dakwah
kepada seluruh pemimpin Dunia sekalipun kepada
negara adi daya, “dengan nama Allah yang maha
pengasih lagi maha penyayang, janganlah berlaku
sombong, datanglah kepadaku dalam keadaan
berserah diri (Muslim)” . Wallahu A’lam bish Shawab.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar