Minggu, 15 April 2012

Hati yang terkunci

“... Sesungguhnya bukanlah mata itu yang
buta, melainkan yang buta ialah hati yang
terdapat di dada .” (QS al-Hajj:46).
Tatkala orang bersumpah di ruang publik dengan penuh
percaya diri, sungguh siapa pun tak akan tahu persis apakah
ia sedang jujur atau berdusta. Hanya dia dan Tuhan yang
tahu. Orang lain sebatas me nafsir dan menerka. Hak dan
batil secara hakiki pasti berbeda, tetapi di tangan manusia
keduanya sering kali menjadi sumir, gelap, dan serbarumit.
Para nabi diberi mukjizat untuk lebih meyakinkan kaumnya
tentang kebenaran risalah Tuhan. Nabi Khidir harus
melakukan tindakan aneh (khariq al-‘adat) untuk
meyakinkan Musa as tentang hakikat sesuatu di balik yang
tampak. Bahkan, Nabi Ibrahim dalam pencarian religiusnya
sempat mengira matahari dan bulan sebagai kekuatan
adikodrati sebelum sampai pada puncak kebenaran tauhid
tentang Tuhan Yang Esa.
Namun, di tangan para penjahat dan pendusta berdasi,
kebenaran itu menjadi kabur dan dimanipulasi. Mereka
memiliki 1.001 akal bulus untuk menutupi kebenaran. Dari
sumpah palsu hingga bermain teatrikal sebagai sosok suci
dan baik hati di hadapan publik. Di panggung politik, bahkan
orang seolah boleh berdusta dan bermuslihat buruk di
bawah adagium “politik adalah seni segala kemungkinan”.
Dan, para mafioso pun sering tampil sebagai sosok-sosok
dermawan untuk menutupi dunia hitamnya.
Senaif itukah perilaku anak cucu Adam? Tentu saja tidak.
Manusia itu multiwajah. Dari sosok yang baik, buruk, hingga
kelabu. Tetapi, ketika kepalsuan sudah menjadi sistem dan
budaya dominan maka banyak mutiara kebenaran, kebaikan,
dan kepatutan menjadi mudah terkubur. Lalu, yang mekar
ialah aneka serbasalah, buruk, dan seronok yang dibalut
pesona indah. Di titik inilah betapa mahalnya harga sebuah
kebenaran di negeri ini, bak mendulang butiran emas di
lumpur pekat.
Salah jalan
Negeri ini menjadi gaduh dengan banyak kerumitan krusial
karena setiap masalah dibiarkan meluas dan termanipulasi.
Uang negara dijarah dan korupsi kelas kakap sulit diberantas
sampai ke akar. Sebab, para pelakunya berjamaah dan
berada di pusat-pusat kuasa, yang piawai saling melindungi
dan menyandera. Pegawai negeri sipil kelas bawah saja
sampai memiliki rekening puluhan miliar.
Publik pun menyoroti sekian banyak elite politik berubah
menjadi hartawan dan bergaya hidup mewah. Hukum tak
bisa dipercaya karena para aparatnya terlibat kepentingan
dan mudah disogok. Akibatnya, banyak masalah menjadi
serbaruwet terjebak ling karan setan, yang menunjukkan
betapa bobrok sistem dan perangai manusia di bumi
tercinta ini. Mereka yang semestinya merawat negeri ini
seperti pagar makan tanaman. Semua terjebak dalam
lingkaran banyak kepentingan yang melibatkan transaksi-
transaksi uang dan perkara-perkara haram. Mereka bukan
berburu kebaikan untuk negeri, malah berlomba
memperkaya diri, kroni, dan dinasti.
Inilah salah jalan para penggawa negeri yang ingin mengejar
puncak hidup serbainderawi yang menggerus idealisme,
yakni hidup melampaui batas kewajaran. Akibatnya, mereka
harus terjerat korupsi dan menggerogoti kekayaan negeri. “
Alhakum at-takatsur , ”demikian sindiran Tuhan. Mereka
berlomba-lomba mengejar hidup tanpa aturan dan tak akan
pernah puas sampai ajal tiba sekalipun. Akibatnya, mereka
menabrak batas-batas kebenaran, kebaikan, dan kepatutan.
Bukankah Tuhan telah mengajarkan manusia batas-batas
dalam mengejar ambisi hidup. (QS al-An’am:32).
Kesenangan-kesenangan duniawi itu hanya sebentar dan
tidak kekal. Janganlah orang terperdaya dengan
kesenangan-kesenangan dunia serta lalai dari
memperhatikan urusan akhirat.
Dunia memang harus digeluti dan manusia bertakwa tidak
boleh antidunia. Hidup jabariah dan uzlah sungguh tak
dianjurkan. Tetapi, tidak berarti atas nama sikap qadariyah
lantas hidup menjadi liar dan terpenjara dunia. Manusia
bukan mengendalikan dunia, melainkan malah diperbudak
dunia.
Buta hati
Generasi bangsa ini setelah 66 tahun merdeka tampaknya
perlu belajar kembali dari nol tentang hakikat hidup berbang
sa dengan nurani yang fitri. Lebih-lebih menjadi pemangku
amanat negeri agar menjadi suri teladan dan tidak salah
jalan. Orang pandai, ahli, dan cerdas otak semakin banyak
jumlahnya. Tetapi, untuk menemukan sebongkah kebenaran
saja sulitnya minta ampun. Kearifan, kebaikan, dan etika
menjadi barang mahal. Apalagi, untuk menegakkan
kebenaran yang sering terasa pahit.
Maka, betapa sedikit atau mungkin banyak tetapi tidak hadir
di permukaan para pemangku negeri yang sadar idealisme
dalam mengemban amanat. Mereka banyak yang perkasa
dalam hal bicara, profesi, intelektualitas, dan kehebatan
segala hal, tetapi buta atau rabun nurani. Lihat QS al-
Hajj:46. Ayat ini berkisah tentang sikap orang-orang yang
ingkar kepada Allah dan mendustakan risalah para nabi
seperti umat Nabi Nuh, Luth, Musa, Saleh, dan Ibrahim yang
bertindak zalim dan akhirnya diazab Tuhan hing ga
negerinya hancur.
“Istafti qalbaka! ” (minta pendapatlah pada hati nuranimu!)
Demikian sabda Nabi seraya menasihati bahwa “Kebaikan
itu adalah sesuatu yang membuat jiwa dan hati tenang, dan
keburukan itu sesuatu yang mem buat jiwa gelisah dan hati
bimbang.” (HR Ahmad dan al-Dari mi). Artinya, hati nurani
itu selalu bersuara emas pada kebaikan, sebaliknya
antidusta dan keburukan.
Hati tidak pernah menipu diri, apalagi menipu orang lain.
Hati yang fitri, yang bersih dari anasir-anasir kepentingan
materi, nafsu, dan godaan inderawi. Hati yang selalu
membimbing kata sejalan tindakan, sumpah, dan kenyataan.
Hati yang takut berdusta di hadapan siapa pun karena yakin
betul Tuhan Mahamengawasi. Hati yang tidak memproduksi
kata-kata indah yang jauh panggang dari api. Itulah hati
yang bersih, al-qalb al-salim.
Namun, mana bisa bertanya pada hati manakala setiap
asupan dalam dirinya setiap hari adalah barang serbabatil.
Akibatnya, suara hati makin lama kian lirih, sunyi, dan mati.
Lalu, yang menguasai diri dan bersuara lantang ialah nafsu.
Imam Al-Ghazali bermutiara hikmah: “Tubuh itu laksana
kerajaan. Tangan, kaki, dan segenap anggota tubuh laksana
pe kerja ahli. Syahwat itu bagaikan pemungut pajak. Amarah
ibarat polisi. Hati nurani adalah raja yang menguasai
singgasana. Akal itu perdana menterinya. Syahwat
senantiasa menarik segala sesuatu pada kepentingan
dirinya. Sedangkan, amarah berwatak keras dan kasar, yang
suka menghukum dan menghancurkan.
Hati sang raja itu harus mengendalikan syahwat, amarah,
juga mengendalikan akal. Hati harus menjafakeseimbangan
semua kekuatan yang dimiliki manusia itu.” Sayangnya, tidak
banyak anak cucu Adam yang tercerahkan hati nuraninya
karena singgasana hidupnya telanjur dihegemoni oleh rezim
nafsu serbaduniawi. Itulah hati yang terkunci.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar