Minggu, 15 April 2012

Dewasa dlm ibadah ato mendewasakan ibadah

Dewasa dalam beribadah atau
mendewasakan ibadah, dua kalimat yang hampir sama
tetapi memiliki makna yang sangat bertentangan
(pandangan penulis). Banyak orang-orang sekarang salah
mengambil sikap tentang permasalahan amalan-amalan
ibadah sehari-hari, padahal jika tidak disikapi secara serius,
maka sesungguhnya sebaik-baik tempatnya adalah yang
serendah-rendahnya.
Dewasa dalam beribadah, diuraikan sebagai sikap yang
mulai berfikir kritis tentangan semua amalan-amalan ibadah
yang dilakukan. Sedangkan mendewasakan ibadah adalah
sikap yang berusaha untuk beribadah seperti kebanyakan
orang-orang dewasa ini. Di sini terdapat perbedaan yang
sangat signifikan yaitu berfikir dan mengikuti, berfikir tentang
apa yang dikerjakan dan mengikuti apa yang orang-orang
kerjakan.
Menanggapi hal ini, maka sikap manakah yang sebaiknya
diambil? Allah SWT berfirman tentang ini,
“Dan janganlah kamu mengikuti apa yang kamu tidak
mempunyai pengetahuan tentangnya.” (QS. Al Israa’: 36)
Seperti itu jawaban dari Allah SWT, manusia disuruh berfikir
atau mencari tahu terlebih dahulu dalil-dalil dalam
melakukan suatu ibadah sehingga kita beribadah bukan
hanya sekedar ikut-ikutan tetapi memang benar-benar
mengerti dalil atau alas an, tujuan, dan prosedur ibadah itu.
Lalu pasti ada yang protes, “kalau Cuma berfikir dan tidak
dilaksanakan, kan percuma?” Di sini diperlukan sikap yang
cerdas dan dewasa dalam menjawabnya. Sebelum
mengetahui dalil dari suatu perkara ibadah, maka hendaklah
ikutilah dulu apa-apa yang sudah diketahui, sambil mencari
tahu kebenaran dari perkara itu. Seorang manusia tidak akan
dibebankan dosa selagi ia belum mengetahui kebenarannya,
lalu setelah tahu, maka ikutilah yang benar. Akan tetapi
ketika seseorang sudah tahu atau diberitahu akan kebenaran
suatu perkara, lantas ia tidak mau mengikutinya, maka di
sinilah letak bias yang terjadi.
“Allah akan meninggikan orang-orang yang beriman di
antaramu dan orang-orang yang diberi ilmu pengetahuan
beberapa derajat (lebih tinggi).” (QS. Al Mujaadilah: 11)
Sedih bukan ketika diri kita pribadi ditanyakan tentang dalil
suatu ibadah yang kita lakukan, lalu kita menjawab, ya,
karena orang tua saya bilang seperti itu, atau karena dulu
guru saya pernah bilang seperti itu, atau ya, orang-orang di
lingkungan saya melakukan itu atau saya pernah melihat
orang melakukannya, atau jawaban-jawaban lain yang tidak
berdasarkan Al Qur’an atau As sunnah sedikit pun (Semoga
kita bukan termasuk orang-orang di dalamnya).
Memang tidak salah dengan jawaban yang seperti itu,
karena waktu kecil memang itu yang terjadi pada diri kita.
Tetapi, sekarang pemikiran kita sudah mulai dewasa, lalu
hendaknya kita mulai berfikir secara dewasa pula dan
mencari dalil-dalil dari Al Qur’an ataupun As Sunnah tentang
amalan-amalan ibadah yang kita lakukan setiap hari. Sangat
berbahaya ketika ternyata amalan-amalan ibadah yang kita
lakukan itu tidak memiliki dalil sedikit pun, atau tidak pernah
dicontohkan oleh nabi ataupun para khulafaur rasyidin,
karena nabi bersabda:
“Barangsiapa melakukan suatu amal yang tidak sesuai
urusan kami, maka dia tertolak” (Shahih Bukhari no. 2697,
Shahih Muslim no. 1718)
Amalan yang tidak sesuai dengan contoh dari nabi dan para
sahabat, maka amalan itu tertolak atau sia-sia. Dalam
riwayat lain disebutkan bahwa amalan yang tidak sesuai akan
membawa kita ke neraka karena itu adalah suatu yang baru
dan diada-adakan.
Mengapa Nabi Muhammad menganjurkan kepada umatnya
untuk menjauhi perkara baru dalam beribadah? Karena hal
itu akan mengotori kemurnian agama Islam ini. Agama ini
akan berubah dan tidak sesuai dengan tuntunan Allah dan
rasul-Nya lagi ketika kita terus menciptakan perkara-perkara
baru dalam hal ibadah. Apakah meminta tolong atau berdoa
dengan kuburan seseorang itu ajaran agama Islam? Apakah
membuat sesajian untuk penunggu suatu tempat adalah
ajaran Islam? Ketika hal – hal itu terus dibudidayakan maka
jangan heran jika suatu hari nanti orang-orang akan
mengatakan bahwa hal itu adalah ajaran Islam. Apakah kita
sebagai umat Islam bisa terima dengan sebutan itu semua?
Prinsip hidup tentang ibadah dan muamalah (dunia) yang
harus kita pegang adalah seperti ini, semua ibadah
hukumnya haram kecuali apa-apa saja yang diperintahkan
oleh Allah dan Rasul-Nya, sedangkan seluruh hal muamalah
(duniawi) itu hukumnya mubah (boleh) kecuali yang dilarang
oleh Allah dan Rasul-Nya. Lantas pertanyaannya sekarang
adalah, mengapa kita melakukan suatu ibadah sedangkan
Allah dan Rasul-Nya tidak menyuruh kita melakukannya?
Kita tidak boleh kreatif dalam hal ibadah.
Lalu pasti ada lagi yang protes, “kalau niatnya baik, ya tidak
apa-apa kan? Toh tidak bertentangan dengan syar’i?” Di sini,
orang yang bertanya seperti itu akan mendapatkan
pertanyaan balik, Apakah nabi dan para sahabat melakukan
amalan itu? Tidak kan? Apakah Anda (yang mengatakan
seperti itu) lebih beriman dari nabi dan para sahabatnya?
Apakah kalian orang-orang yang pasti masuk surga? Tentu
tidak bukan? Lalu apa landasan kalian membuat suatu
amalan baru yang nabi dan para sahabat (yang sudah ada
jaminan surga) tidak melakukan amalan itu? Apakah kalian
mau melebihi mereka? Bertobatlah wahai saudara ku,
sungguh Allah maha pengampun, maha penyayang.
Seperti itulah dewasa dalam beribadah, terkadang suatu
ilmu pengetahuan yang baru itu sulit diterima dengan akal
dan pikiran tetapi itu semua sesuai dengan Tuntunan Allah
dan Rasul-Nya. Imam Ahmad bi Hanbal pun meletakkan
ijtihad (berdalil yang berdasarkan logika atau pemikiran) itu
pada urutan kelima setelah Firman Allah (Al Qur’an), Hadits
Shahih (tepercaya), fatwa sahabat nabi, dan hadits dhaif
(lemah). Yang lebih ekstrim lagi adalah imam Syafi’i yang
menolak secara terang-terangan hal-hal ibadah yang
berdasarkan logika. Dan juga ulama mazhab lainnya.
Lalu bagaimanakah seharusnya kita bersikap? Dalam hal
mencari tahu, mulailah untuk membaca-baca kitab-kitab
hadits terutama Shahih Bukhari, Shahih Muslim, Fathul Bari’,
Bulughul mahram, dan kitab-kitab hadits lainnya. Membaca
fatwa-fatwa ulama saat ini, seperti syeikh Muhammad
Nasaruddin Albani, syeikh Abdul Aziz bin Abdullah bin Baz,
syeikh Yusuf Qaradhawi, dan ulama-ulama ahlus sunnah
lainnya. Lalu bertanya kepada para ahli ilmu, dalam konteks
ini bisa guru atau ustadz. Berdiskusi dengan teman yang
memiliki pengetahuan lebih dari pada kita. Di sini yang ingin
didapatkan adalah penjelasan tentang perkara yang mereka
ketahui berdasarkan al Qur’an dan hadits. Kalau hanya
menurut pendapat mereka, maka, semua nya itu
dipertanyakan.
Pernyataan terakhir penutup catatan ini adalah: ketika kita
tidak mau mencari tahu kebenaran dari suatu perkara
ibadah, maka yang menjadi pertanyaan adalah ke manakah
kita berafiliasi? Atau mazhab apakah yang kita anut?

Tidak ada komentar:

Posting Komentar