Kamis, 26 April 2012

Hukum zakat untuk membangun masjid

Menyalurkan zakat untuk pembangunan
masjid sehingga dapat digunakan untuk mengagungkan
nama Allah, berdzikir kepada-Nya, menegakkan syiar-syiar-
Nya, menunaikan shalat, serta menyampaikan pelajaran-
pelajaran dan nasihat-nasihat, maka hal ini termasuk yang
diperselisihkan para ulama dahulu maupun sekarang.
Apakah yang demikian itu dapat dianggap sebagai “fi
sabilillah” sehingga termasuk salah satu dari delapan sasaran
zakat sebagaimana yang dinashkan di dalam Al-Qur’anul
Karim dalam surat at-Taubah:
“Sesungguhnya zakat-zakat itu hanyalah untuk orang-orang
fakir, orang-orang miskin, pengurus-pengurus zakat, para
muallaf yang dibujuk hatinya, untuk (memerdekakan) budak,
orang-orang yang berutang, untuk jalan Allah, dan orang-
orang yang sedang dalam perjalanan, sebagai suatu
ketetapan yang diwajibkan Allah; dan Allah Maha
Mengetahui lagi Maha Bijaksana.” (QS. at-Taubah: 60)
Ataukah kata “sabilillah itu artinya terbatas pada “jihad” saja
sebagaimana yang dipahami oleh jumhur?
Saya telah menjelaskan masalah ini secara terinci di dalam
kitab saya Fiqih az-Zakah, dan di sini tidaklah saya uraikan
lagi masalah tersebut.
Dalam buku itu saya memperkuat pendapat jumhur ulama,
dengan memperluas pengertian “jihad” (perjuangan) yang
meliputi perjuangan bersenjata (inilah yang lebih cepat
ditangkap oleh pikiran), jihad ideologi (pemikiran), jihad
tarbawi (pendidikan), jihad da’wi (dakwah), jihad dieni
(perjuangan agama), dan lain-lainnya. Kesemuanya untuk
memelihara eksistensi Islam dan menjaga serta melindungi
kepribadian Islam dari serangan musuh yang hendak
mencabut Islam dari akar-akarnya, baik serangan itu berasal
dari salibisme, misionarisme, marxisme, komunisme, atau
dari Free Masonry dan Zionisme, maupun dari antek dan
agen-agen mereka yang berupa gerakan-gerakan sempalan
Islam semacam Bahaiyah, Qadianiyah, dan Bathiniyah
(Kebatinan), serta kaum sekuler yang terus-menerus
menyerukan sekularisasi di dunia Arab dan dunia Islam.
Berdasarkan hal ini maka saya katakan bahwa negara-
negara kaya yang pemerintahnya dan kementerian wakafnya
mampu mendirikan masjid-masjid yang diperlukan oleh
umat, seperti negara-negara Teluk, maka tidak seyogianya
zakat di sana digunakan untuk membangun masjid. Sebab
negara-negara seperti ini sudah tidak memerlukan zakat
untuk hal ini, selain itu masih ada sasaran-sasaran lain yang
disepakati pendistribusiannya yang tidak ada penyandang
dananya baik dari uang zakat maupun selain zakat.
Membangun sebuah masjid di kawasan Teluk biayanya
cukup digunakan untuk membangun sepuluh atau lebih
masjid di negara-negara muslim yang miskin yang padat
penduduknya, sehingga satu masjid saja dapat menampung
puluhan ribu orang. Dari sini saya merasa mantap
memperbolehkan menggunakan zakat untuk membangun
masjid di negara-negara miskin yang sedang menghadapi
serangan Kristenisasi, komunisme, Zionisme, Qadianiyah,
Bathiniyah, dan lain-lainnya. Bahkan kadang-kadang
mendistribusikan zakat untuk keperluan ini – dalam kondisi
seperti ini – lebih utama daripada didistribusikan untuk yang
lain.
Alasan saya memperbolehkan hal ini ada dua macam:
Pertama , mereka adalah kaum yang fakir, yang harus
dicukupi kebutuhan pokoknya sebagai manusia sehingga
dapat hidup layak dan terhormat sebagai layaknya manusia
muslim. Sedangkan masjid itu merupakan kebutuhan asasi
bagi jamaah muslimah.
Apabila mereka tidak memiliki dana untuk mendirikan
masjid, baik dana dari pemerintah maupun dari sumbangan
pribadi atau dari para dermawan, maka tidak ada larangan di
negara tersebut untuk mendirikan masjid dengan
menggunakan uang zakat. Bahkan masjid itu wajib didirikan
dengannya sehingga tidak ada kaum muslim yang hidup
tanpa mempunyai masjid.
Sebagaimana setiap orang muslim membutuhkan makan
dan minum untuk kelangsungan kehidupan jasmaninya,
maka jamaah muslimah juga membutuhkan masjid untuk
menjaga kelangsungan kehidupan rohani dan iman mereka.
Karena itu, program pertama yang dilaksanakan Nabi SAW
setelah hijrah ke Madinah ialah mendirikan Masjid Nabawi
yang mulia yang menjadi pusat kegiatan Islam pada zaman
itu.
Kedua , masjid di negara-negara yang sedang menghadapi
bahaya perang ideologi (ghazwul fikri) atau yang berada di
bawah pengaruhnya, maka masjid tersebut bukanlah
semata-mata tempat ibadah, melainkan juga sekaligus
sebagai markas perjuangan dan benteng untuk membela
keluhuran Islam dan melindungi syakhshiyah islamiyah.
Adapun dalil yang lebih mendekati hal ini ialah peranan
masjid dalam membangkitkan harakah umat Islam di
Palestina yang diistilahkan dengan intifadhah (menurut
bahasa berarti mengguncang/ menggoyang; Pentj.) yang
pada awal kehadirannya dikenal dengan sebutan “Intifadhah
al masajid.” Kemudian oleh media informasi diubah menjadi
“Intifadhah al-Hijarah” batu-batu karena takut dihubungkan
dengan Islam yang penyebutannya itu dapat menggetarkan
bangsa Yahudi dan orang-orang yang ada di belakangnya.
Kesimpulan
Menyalurkan zakat untuk pembangunan masjid dalam
kondisi seperti itu termasuk infak zakat fi sabilillah demi
menjunjung tinggi kalimat-Nya serta membela agama dan
umat-Nya. Dan setiap infak harta untuk semua kegiatan
demi menjunjung tinggi kalimat (agama) Allah tergolong fi
sabilillah (di jalan Allah).
Wa billahit taufiq.

Maraji’: Yusuf Qaradhawi, Fatwa-Fatwa Kontemporer.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar