Senin, 23 April 2012

Sang Presiden

Akhir Juni 2029 Ahmad Jaelani, Presiden Indonesia,
menatap satu persatu teman halaqahnya. Mereka ada 10
orang, sedang duduk melingkar di atas ambal lembut made
in Iran di sebuah ruang keluarga di Istana Kepresidenan
Cikeas Bogor.
Dalam halaqah ini, keterikatan antar personil sudah begitu
dekat, layaknya bagaikan saudara sekandung. Sehingga tak
ada lagi yang dirahasiakan serta dalam menghadapi
persoalan saling memikul dan membahu. Halaqah adalah
semacam bentuk pertemuan pengajian pekanan yang di
dalamnya membahas masalah-masalah keagamaan,
kemasyarakatan, pekerjaan masing-masing personil halaqah
dan bagaimana mengimplementasikannya ke dalam
kehidupan sehari-hari.
Ahmad Jaelani menarik nafas pelan dan berkata, “Sepuluh
tahun saya telah menjadi Presiden RI. Saat ini adalah bulan-
bulan terakhir saya memimpin bangsa ini. Periode kedua
telah berakhir. Tidak ada periode yang ketiga. Inilah titik-titik
kesempatan terakhir bagi saya dalam menyumbangkan
seluruh potensi yang saya miliki guna kemaslahatan bagi
bangsa ini. Saya mau bertanya kepada kalian sahabat-
sahabatku seperjuangan dalam dakwah dan dalam
membenahi bangsa ini. Apakah setelah sepuluh tahun
kepemimpinanku, saat ini masih adakah rakyatku yang tidak
makan? Masih adakah yang buta huruf atau tidak sekolah
karena kemiskinan? Masih adakah anak-anak yang
dipekerjakan di usia sekolah? Dieksploitasikan? Masih adakah
yang tidur di bawah kolong jembatan? Di taman-taman
kota? Di emperan-emperan toko? Masih adakah yang
tergolek sakit tanpa sentuhan seorang dokter karena
kemiskinan? Masih adakah yang menadahkan tangannya di
tengah jalanan dan di keramaian kota? Masih adakah warga
Negara kita yang bekerja sebagai TKW di Negara orang dan
mengalami penyiksaan dan pelecehan? Kalaulah masih ada,
maka sangat beratlah pertanggungjawabanku kepada Allah”.
Mata sang Presiden mulai berkaca-kaca, membentuk
genangan air bagai butiran mutiara yang menghiasi
sepasang bola matanya yang teduh. Dia mencoba menahan
sedunya. Namun tangisan hatinya lebih membuncah dalam
isakan tertahan.
Berharap sebongkah jawaban pasti dan realistis dari para
sahabatnya, dia pandangi mereka satu persatu, dengan
pandangan kasih sayang dan cinta. Para sahabatnya
menunduk, tak mampu menatap ke kedalaman mata yang
beriak laksana lautan biru yang meluas dan tenang itu.
“Apakah kediaman kalian, sahabatku, menandakan
keberatan hati kalian menyampaikan sesuatu yang buruk
padaku? Janganlah kalian takut, aku tidak akan memarahi
ataupun memecat kalian. Bahkan bagi siapa di antara kalian
yang menyampaikan berita keburukan akibat
kepemimpinanku yang menimpa masyarakat, aku akan
memberikan hadiah kepadanya sebagai rasa terima kasihku
atas kejujurannya. Sampaikanlah kepadaku, sepahit apa
pun!” Salah seorang dari sahabatnya, “zero one, ZO” ,
menatap dalam dan penuh kasih kepada Sang Presiden,
untuk kemudian dia berkata pelan dan hati-hati, “ Dalam
pengamatan dan peninjauan yang saya lakukan ke beberapa
daerah di Indonesia ini sebagai seorang Menteri
Kesejahteraan dan Kemakmuran Rakyat pada pemerintahan
ini, hal-hal yang Saudara Presiden tanyakan tadi, beberapa di
antaranya sudah terlaksana dengan baik dan ada yang masih
belum tuntas benar penyelesaiannya dan diharapkan dapat
dilanjutkan oleh pemerintahan yang baru nantinya”. Sang
Presiden menatap Menteri Kesejahteraan dan Kemakmuran
Rakyat itu dengan serius, “Apa-apa sajakah yang telah
terlaksana dengan baik dan apakah yang belum tuntas itu
Sahabatku?” “ZO” menarik nafas pelan kemudian berkata,
“Saat ini rakyat Indonesia sudah tidak ada lagi yang tidak
makan karena kemiskinan. Sudah tidak ada lagi yang buta
huruf atau tidak sekolah karena kemiskinan. Sudah tidak ada
lagi anak-anak yang dipekerjakan di usia sekolah maupun
dieksploitasikan karena kemiskinan. Sudah tidak ada lagi
yang tidur di bawah kolong jembatan, di taman-taman kota
dan di emperan-emperan toko. Mereka telah dikumpulkan
pada satu Yayasan Penampungan dan Pembinaan Rakyat –
YPPR yang akan membekali mereka dengan ilmu
pengetahuan dan keterampilan-keterampilan agar mereka
menjadi anak-anak yang mandiri, kreatif dan berdaya guna.
Juga rakyat Indonesia sudah tidak ada lagi yang tergolek sakit
tanpa sentuhan dan bantuan medis karena kemiskinan.
Sudah tidak ada lagi yang menadahkan tangannya di tengah
jalanan dan di keramaian kota, karena mereka telah
diserahkan kepada yayasan penampungan dan pembinaan
masyarakat Indonesia seperti anak-anak tadi. Hanya saja
Saudaraku Presiden, hal yang belum tuntas itu adalah masih
adanya warga negara kita yang bekerja di negara orang
sebagai pembantu rumah tangga dan mengalami
penyiksaan dan pelecehan. Hal ini karena Program dari
Kementerian Kesejahteraan dan Kemakmuran Rakyat
tentang penarikan para TKI dari Negara lain belum
memasuki tahap akhir. Saat ini kita masih memasuki tahap
ketiga dari lima tahap yang diprogramkan agar semua TKI
kita dapat ditarik dari Negara lain untuk kemudian
ditampung dan dibina pada yayasan penampungan dan
pembinaan rakyat. Dua tahap terakhir ini diperhitungkan
akan mampu menarik seluruhnya TKI kita.” “Berapa
tahunkah dua tahap itu?” Tanya Sang Presiden penuh
perhatian. “ZO” berpikir sejenak, “Dalam satu tahap
diprogram tiga tahun berarti dua tahap ada enam tahun”.
Mendengar itu Sang Presiden menghela nafas panjang dan
berpikir keras. Dimainkannya jari jemarinya saling bertemu
dan bertaut, mencoba merilekskan pikirannya. Para sahabat
lainnya, tekun menyimak pembicaraan itu dan belum hendak
memberikan pendapat. “Kira-kira berapa dana yang
dibutuhkan untuk dua tahap itu?” Gumam Sang Presiden.
“ZO” mengambil HP-nya dari sakunya, kemudian membuka-
buka catatan kerjanya yang sudah diprogramnya di HP
tersebut. Dia menatap Sang Presiden dan berkata:
“Saudaraku Presiden, kita membutuhkan dana sekitar dua
belas trilyun untuk dua tahap itu”. Sang Presiden menoleh
ke samping kanannya dan berucap: “Saudaraku “Zero Two,
ZT”, berapakah utang kita kepada Negara lain?” “ZT”, Menteri
Keuangan RI menatap Sang Presiden penuh arti seraya
berkata dengan lembut, “Saudaraku Presiden, tahun 2028
lalu kita telah melunaskan seluruh utang-utang kita kepada
Negara lain, dan saat ini ada beberapa Negara miskin yang
berutang kepada Indonesia. Jumlahnya semua memang
tidak banyak. Hanya 10 trilyun rupiah”. Wajah Sang Presiden
kelihatan segar dan cerah mendengar laporan dari
sahabatnya Menteri Keuangan RI. Dengan tersenyum Sang
Presiden berkata, “Alhamdulillah, inilah yang aku cita-citakan
sejak remaja dulu. Indonesia tanpa utang dan Indonesia
yang memiliki piutang. Subhanallah, bersyukurnya hamba ya
Allah, Engkau berikan kesempatan dan pertolongan
mewujudkan impian hamba itu. Alhamdulillah ya Rabbul
‘alamin!” Mata Sang Presiden berkaca kembali, dia sangat
bahagia dan merasakan kelapangan yang luar biasa dalam
hidupnya. Dia berpaling ke sahabatnya di posisi kiri ujung
dan berkata, “Saudaraku “Zero Three, ZT1”, engkau telah
bekerja keras dalam menjalankan tugasmu sebagai Menteri
Energi, Mineral dan Sumber Daya Negara. Aku
berterimakasih padamu sekaligus memohon maaf karena
selama pemerintahanku aku bertindak begitu keras dan
disiplin kepada program kerjamu. Semoga engkau
memaafkan aku, Saudaraku …!” ZT1, Menteri Energi, Mineral
dan Sumber Daya Negara RI merasa sangat terharu sehingga
tanpa disadarinya seguliran air putih bening menetes dari
sudut kelopak matanya. Dengan penuh bahagia di tatapnya
mata Sang Presiden dan berucap pelan, “Saudaraku
Presiden, tak ada yang perlu dimaafkan. Keras dan
disiplinnya Saudara Presiden kepadaku memberikan hasil
yang luar biasa bagi rakyat dan bangsa ini. Aku bersyukur
kepada Allah Yang Maha Esa yang telah menciptakanmu dan
memberikan seorang presiden sepertimu kepada bangsa ini.
Aku berterimakasih kepadamu, Saudara Presiden”. Dia
menyeka air mata ketulusan dan kebahagiaannya. Para
sahabat yang lain dalam halaqah itu terharu dan masing-
masing menyeka air mata yang tak terasa mengalir dengan
sendirinya membasahi pipi. Ucapan kesyukuran mendesah
dari celah-celah bibir mereka. Sang Presiden menangis
bahagia dan tak putus-putusnya bibirnya mengucapkan puji-
pujian dan kesyukuran kepada Allah Yang Maha Esa. Situasi
yang mengharukan dan membahagiakan itu berlangsung
beberapa menit, tapi kemudian Sang Presiden mencoba
menguasai dirinya agar tidak larut terlalu lama karena
mengingat harus ada hal-hal terbaik yang dikerjakannya di
bulan-bulan terakhir dirinya sebagai Presiden.
Diambilnya selembar tissue dari sebuah kotak tissue di
depannya. Disekanya air matanya. Di pandanginya bergilir
sahabat-sahabatnya satu per satu. Dengan nada perlahan
dia menyampaikan apa yang terpikir olehnya beberapa hari
ini. “Sahabatku seperjuangan dalam dakwah dan
kenegaraan, ada satu hal yang ingin kusampaikan kepada
kalian yang hal ini telah aku pikirkan beberapa hari ini. Untuk
itulah aku menggunakan kesempatan pertemuan ini untuk
menyampaikannya kepada kalian, dengan harapan kalian
memberikan pertimbangan dan tata cara yang berarti dalam
mewujudkannya”. Para sahabatnya, memandang Sang
Presiden dengan penuh tanya dan serius. “Apakah itu
Saudaraku Presiden?” Pertanyaan itu tercetus bersamaan di
antara mereka secara spontan dan tidak janjian. Tersadar
kompak, mereka saling menatap dengan bola mata yang
sedikit membesar dan akhirnya menurunkan nafas pelan
seraya tersenyum malu. Sang Presiden pun ikut tersenyum
melihat antusiasme spontan yang direfleksikan oleh para
sahabatnya itu. Dia menatap lembut dan dalam kepada para
sahabatnya. Kemudian Sang Presiden berucap, “Saya ingin
melelang secara patungan kebutuhan 12 trilyun untuk
penarikan TKI kita dari Negara lain itu kepada seluruh
menteri dan pejabat Negara yang ada di Republik Indonesia
ini. Juga kepada para pengusaha dan masyarakat Indonesia
yang ingin turut ambil bagian dalam pelelangan ini. Dan
“pelelangan patungan” kebutuhan 12 trilyun ini adalah
dengan cara mengumpulkan tawaran-tawaran sumbangan
yang mereka ajukan”. Sang Presiden diam sejenak dan
melanjutkan kembali, “Tawaran pertama dari saya,
sumbangan sebesar 1 trilyun ru….pi ….ah …” Kalimat Sang
Presiden terbata-bata pada kata terakhir “rupiah” karena
terganggu oleh bunyi alarm darurat dari HP Sang Presiden.
Alarm darurat itu adalah atas perintah Sang Presiden kepada
Ajudannya bila ada kejadian-kejadian penting dan darurat
yang terjadi pada saat Sang Presiden lagi mengadakan
pertemuan namun harus segera diambil tindakan penting.
Sang Presiden meraih HP-nya yang terletak di depannya.
“Assalamu’alaikum, ada apa “Zero Eleven, ZE?” Tanya Sang
Presiden kepada Ajudannya melalui HPnya. Para sahabat
yang hadir, saling bertanya dalam pandangan. “Apa
tuntutan mereka?” Tanya Sang Presiden lagi kepada
Ajudannya. Para sahabat makin gelisah mendengar kata
“tuntutan” dalam pembicaraan itu. Dalam hati mereka
bertanya-tanya, siapakah yang menuntut dan apa yang
dituntut? Terlihat Sang Presiden menyimak tekun suara
Ajudannya dari HP-nya. Kemudian Sang Presiden berkata,
“Tolong dijaga keamanan mereka, sebentar lagi saya akan
keluar menghadapi mereka. Terima kasih, assalamu’alaikum
….” Sang Presiden menutup HP-nya, seraya menatap ke arah
sahabat-sahabatnya, “Ada demonstrasi di luar. Keluarlah
kalian lebih dulu, nanti saya menyusul. Kita tutup pertemuan
kita ini dengan membaca doa Penutup Majelis dan Doa
Rabithah!” Dengan khusyu’ Sang Presiden dan par a sahabat
membaca do’a penutup majelis dan do’a rabithah.
Kemudian para sahabat ke luar menuju ke tempat para
demonstran, dengan pertanyaan yang berkecamuk di hati,
apakah gerangan tuntutan para demonstran itu? Dan
kenapa Sang Presiden tidak memberitahukan kepada
mereka?
Sementara para sahabat yang juga menjabat sebagai menteri
di kabinet pemerintahan menuju ke tempat di mana para
demonstran, Sang Presiden memasuki sebuah ruangan
khusus yang terletak di balik toilet ruangan itu. Ruangan
Rahasia. Agak tersembunyi memang dan ukurannya juga
tidak begitu besar. Hanya ada sebuah meja kerja dan
kursinya serta sebuah lemari buku berwarna merah marun
kecoklatan berdiri eksklusif di belakang meja kerja itu. Sang
Presiden menarik 1 buah buku teks book dari lemari
tersebut. Tanpa diduga secara otomatis lemari itu bergerak
memutar ke kiri seratus delapan puluh derajat. Terlihat
sebuah ruangan rahasia di belakangnya. Sang presiden
memasukinya dan berjalan berbelok ke kanan. Mengangkat
sebuah lukisan gurun pasir yang indah pada dinding ruangan
itu. Ternyata ada sebuah kunci putar rahasia di situ. Sang
Presiden memutar kode rahasia. Terbukalah secara otomatis
pintu lemari penyimpanan rahasia itu. Ukurannya sebesar
30 cm x 30 cm. Di dalamnya terdapat sebuah kaca mata
hitam yang mengambang di tengahnya. Mengapung di atas
“sesuatu yang tak kelihatan” pada apa dia berjejak. Sang
Presiden mengeluarkan kaca mata hitam itu. Kemudian
mengangkat “sesuatu yang tak kelihatan” yang berada di
bawah kaca mata tadi. Kemudian dengan bergegas Sang
Presiden menggerak-gerakkan kedua tangannya, layaknya
gerakan seseorang yang memakai pakaian. Dimasukkannya
kembali kaca mata ke dalam lemari penyimpanan tadi.
Ditutup dan dikunci. Meletakkan lukisan kembali pada
tempatnya. Bergegas menuju balik lemari buku.
Memasukkan buku teks book kembali ke tempatnya. Seperti
tadi, secara otomatis pula lemari buku memutar ke kanan
seratus delapan puluh derajat. Menutup, kembali ke posisi
semula. Dan seperti tak ada apa-apa di balik sana selain
sekumpulan buku-buku tebal eksklusif. Sang Presiden
bergegas menuju ke tempat para demonstran di luar
gedung.
***
Sementara itu, di tempat para demonstran menunjukkan
aksi. Para sahabat Sang Presiden yang telah lebih dulu ke
luar, melihat poster-poster dan spanduk yang dibawa oleh
para demonstran. Di sana tertuliskan kata – kata: “Jangan
Ganti Presiden!” “Tolak Presiden Baru!” “Kami Cinta Presiden
Penolong Rakyat!” “Pertahankan Presiden Pemihak Rakyat!”
“Tak perlu ada pilpres lagi, pertahankan!”. Para sahabat Sang
Presiden terharu dan memahami mengapa Sang Presiden
tidak memberitahukan kepada mereka tadi tentang tuntutan
apa yang diminta oleh para demonstran. Ternyata
kerendahan hati beliau dan kesantunannya, menyebabkan
beliau tak sanggup mengutarakan hal sebenarnya. Kristal-
kristal mutiara mengambang jernih dan indah di pelupuk
mata para sahabat. Begitulah Sang Presiden. Tak
mengherankan, bila semua rakyat mencintainya.
***
Sorak sorai para demonstran gegap gempita penuh riuh
menyambut lambaian tangan Sang Presiden yang menuju
arena demonstran didampingi oleh ajudan dan para
pengawal kepresidenan. Sang Presiden langsung menuju
podium. Menatap para demonstran dengan pandangan
penuh kasih dan berwibawa, kemudian mengucapkan kata:
“Assalamu’alaikum Saudara-saudaraku, Rakyat Indonesia
yang saya cintai. Langsung saja. Saya sangat terharu atas
permintaan dan keinginan Saudara-saudara sekalian.
Namun, hukum dan peraturan yang berlaku di Negara kita
adalah bahwa masa jabatan seorang Presiden paling lama
adalah dua periode. Dan itu berarti dalam kurun waktu 10
tahun. Dan tahun ini, secara hukum masa jabatan saya akan
berakhir.” Gemuruh suara para demonstran menanggapi
pidato Sang Presiden, di susul teriakan-teriakan lantang
mereka yang susul menyusul memenuhi arena: “Teruskan!”
“Jangan Ganti, kami tidak mau!” “Kami cinta Presiden!”
Sang Presiden menghela nafas panjang. Mencoba
menentramkan para demonstran, dengan mengangkat
kedua tangannya ke atas dan ke bawah. “Saudara-saudara
rakyat Indonesia yang saya cintai. Saya dan Saudara harus
bersikap kesatria. Seorang kesatria itu, memiliki jiwa
pemberani. Gagah berani. Artinya dalam posisi saya, berani
maju berani mundur. Dalam posisi Saudara-saudara rakyat
Indonesia yang saya cintai, berani menerima berani
melepas. Itulah sifat kesatria yang dimiliki oleh seorang
prajurit dan perwira. Dan kita ini semua adalah prajurit-
prajurit dan perwira-perwira bangsa ini. Prajurit-prajurit dan
perwira-perwira bangsa ini, haruslah kesatria! Oleh karena
itu, Saudara-saudaraku rakyat Indonesia yang saya cintai,
berani menerima saya, maka beranilah melepas saya! Inilah
sikap kesatria-kesatria Indonesia!” Sang Presiden berkata
penuh wibawa dan kharisma. Begitulah Sang Presiden di
mata para sahabatnya. Halus dan lembut, tapi tegas dan
berwibawa. Tak tergoda dengan tawaran menggiurkan
keduniaan. Hidupnya dan gelombang pemikirannya dia
persembahkan dan pertanggungjawabkan kepada Sang
Pencipta Yang Maha Agung. Betapa para sahabat sangat
memahami watak Sang Presiden dan itulah yang
menyebabkan mereka sangat mencintai beliau. Sang
Presiden selalu bisa memegang kendali situasi dengan
untaian pita kata sutra keemasan. Membuat semua orang
yang mendengar merasakan kemilau kekaguman, patuh dan
tunduk. Contohnya saja, para demonstran yang tadinya
begitu gegap gempita, kini terdiam dan terpana. Seolah
tersadar mendengar untaian kata-kata didikan yang
disampaikan Sang Presiden. Tak seuntai katapun terucap
dari celah bibir mereka. Seolah mereka tersadar dan merasa
tersalah dengan tuntutan yang mereka gaungkan.
Sang Presiden menatap mereka dengan tatapan luas dan
melebar. Matanya memancarkan bias-bias cahaya
pemahaman dan memaklumi watak dan jiwa manusia.
Gelombang kasih dan cinta menyelip indah dalam pancaran
matanya. Berbinar dan menari bahagia, menyadari
rakyatnya masih bisa disentuh dengan kata-kata bijak. Inilah
yang membahagiakannya. Tak percuma dia membuat
sebuah program “Sentuhan Mingguan Sang Presiden” di
seluruh siaran televisi menjelang waktu shalat Maghrib pada
setiap hari Minggu. Acara tersebut dapat diliput di seluruh
wilayah tanah air. Pada kesempatan itulah beliau selalu
menyampaikan kata-kata didikan yang penuh bijak kepada
seluruh rakyat Indonesia. Sang Presiden yang sempurna!
Selalu memikirkan apa yang terbaik bagi bangsa ini.
Berbahagianya rakyat ini, memiliki seorang Presiden yang
seperti beliau.
Sang Presiden ingin mengucapkan kata-kata lagi. Bibirnya
mulai bergerak, “Sauda…” Tapi tiba-tiba sebuah benda kecil
hitam melesat cepat kearah Sang Presiden dan terpental
keras dari pijakan pipi kiri Sang Presiden. Membalik ke arah
para demonstran. Di susul dengan sebuah teriakan histeris
dari seorang demonstran putri disusul histeris-histeris yang
lain dari putri-putri yang berdiri barisan terdepan
demonstrasi tersebut. Begitu cepatnya kejadian itu. Sang
Presiden, ajudan dan para pengawal kepresidenan serta para
sahabat terkejut dan tak sempat berpikir. Dari kejauhan Sang
Presiden melihat seorang demonstran putri berjilbab putih
telah bermandikan darah yang mengucur dari pelipis
kanannya. Sejenak dia berpikir keras dan serta merta beliau
berbisik kepada ajudannya. Kemudian sang ajudan berbisik
kepada Kepala Pengawal Kepresidenan. Secepat kilat Kepala
Pengawal berbisik kepada bawahannya. Estafet. Kelihatan
mereka bergerak cepat. Selanjutnya, Sang Presiden, Ajudan
dan Kepala Pengawal meninggalkan podium, bergegas
menuju gedung Istana Kepresidenan. Mereka memasuki
ruang rapat mini. Sang Presiden duduk di ujung kursi utama
dari sebuah meja ellips, yang biasa dipakai untuk
pertemuan. Disusul ajudan di sebelah kanannya dan Kepala
Pengawal Kepresidenan di sebelah kiri. “Dari pengamatan
kalian tadi, apa yang telah terjadi ketika saya memberikan
pidato yang hanya beberapa menit dan terputus tadi?” Sang
Presiden langsung membuka pertemuan darurat itu dengan
pertanyaan. “Bapak Presiden yang kami hormati, ada sebuah
benda kecil hitam melesat cepat ke arah pipi kiri Bapak
Presiden –dan diduga itu adalah sebuah peluru- kemudian
memantul kembali dan nyasar menuju sasaran tak terduga.
Kesimpulannya, ada yang ingin membunuh Bapak Presiden!”
Jawab Kepala Pengawal Kepresidenan singkat dan padat.
Sang presiden mengangguk-angguk karena memang itulah
yang diduganya sedari awal saat kejadian itu terjadi.
Kemudian beliau menatap ke arah ajudannya, me nanti
jawaban. “Bapak Presiden yang kami hormati, pengamatan
saya sama dengan yang disampaikan oleh Saudara Kepala
Pengawal Kepresidenan!” Jawab sang ajudan. Sang Presiden
mengangguk-angguk lagi. Terlihat dia berpikir keras. Lalu
menatap serius ke arah Kepala Pengawal Kepresidenan.
“Saya ingin, pelakunya dapat segera ditangkap dan diselidiki
apa motif dia melakukan semua ini? Apakah strategi gerak
cepat yang saya perintahkan tadi sudah dilaksanakan dengan
baik?” Tanya Sang Presiden. “Seperti yang Bapak Presiden
perintahkan sudah kami laksanakan, seluruh Pasukan
Keamanan telah saya perintahkan untuk menutup seluruh
lokasi dengan pagar betis, jangan ada yang boleh keluar dari
lokasi sebelum ada pemeriksaan dan kemudian menangkap
siapa pun orang yang menimbulkan gerak-gerik yang
mencurigakan. Dan secepatnya melapor. Demikian Bapak
Presiden.” Jawab Kepala Pengawal Kepresidenan. “Baiklah
kalau begitu, saya tunggu kabar dalam tempo 2 jam
terhitung dari sekarang. Lebih cepat lebih baik. Pertemuan
ini kita tutup. Laksanakan tugas kalian masing-masing!”
Perintah Sang Presiden seraya berdiri dan mempersilakan
mereka meninggalkan tempat. Sang Ajudan dan Kepala
Pengawal Kepresidenan membungkuk sedikit ke arah Sang
Presiden untuk meninggalkan ruangan pertemuan. Dalam
hati mereka berkecamuk tanya dan jawab. Siapakah yang
ingin membunuh Sang Presiden yang mulia ini? Dari pihak
manakah? Kenapa peluru itu terpental kembali? Apakah
karena hakikat kemuliaan akhlaq dan ibadahnya yang
melindungi dirinya? Seperti cerita-cerita para sufi yang
menyimpan karomah? Sejuta tanya dan jawab bermain-
main petak umpet di pikiran kedua staff Sang Presiden.
Mereka bergegas menuju ke arena tugas masing-masing.
Sang ajudan menunggu di ruang tamu istana. Dan Kepala
Pengawal menuju arena dimana para demonstran sedang
histeris ketakutan penuh hirup pikuk dan berantakan. Angin
sore yang biasanya lembut dan bersahabat di halaman
Istana Kepresidenan di Cikeas Bogor ini, kini tak nyaman lagi.
Tugas berat sedang diembannya. Di sinilah diuji ketangkasan
dan kecerdikannya dalam menangani masalah darurat dan
tak terduga. Dia harus bergerak cepat dan berpikir
cemerlang. Dan harus berhasil memecahkan persoalan ini.
Harus!
***
Sementara itu, di kelompok para demonstran terjadi
kegaduhan disertai jeritan histeris karena melihat temannya
bersimbah darah dan digotong oleh beberapa orang menuju
ke arah mobil Ambulance yang terletak di ujung kanan arena
untuk mendapatkan pertolongan pertama demi keselamatan
jiwanya. Selain itu, hal yang lebih mencekam dan memporak
porandakan barisan adalah ratusan satuan pengamanan
khusus memblokade di sekeliling barisan dengan
membentuk pagar betis yang tak tertembuskan. Juga Tim
Pengamanan Terbuka dan Tertutup, menyisir barisan para
demonstran dan menangkapi personil-personil yang
mencurigakan. Tahulah mereka bahwa telah ada penyusup.
Mengantisipasi hal tersebut, Korlap Demonstran
memberikan aba-aba kepada massanya untuk saling
bergandengan tangan dengan teman di sebelahnya dan
menanyakan siapa nama dan dari kelompok mana. Bila ada
identitas yang tak dikenal dan tak terdaftar, harus segera
dilaporkan kepada petugas. Itulah yang diingat oleh Sang
Korlap. Strategi pengamanan kelompok dari penyusup dari
pihak musuh. Strategi ini pernah dilaksanakan oleh pihak
musuh pada peperangan di zaman Rasulullah SAW, ketika
Yang Mulia Rasulullah mengutus seorang Sahabat di malam
gelap gulita yang dinginnya sampai menusuk ke tulang sum-
sum, namun Sahabat tersebut berhasil mengelabui pihak
musuh dan dia tidak tertangkap. Langkah strategi inilah yang
ditiru oleh Sang Korlap. Menggunakan strategi musuh
Rasulullah SAW. Hal ini berhasil membantu aparat
keamanan dalam penyisiran karena para demonstran cepat
tanggap membaca situasi dan mengambil tindakan sesuai
komando dan aba-aba dari Sang Korlap.
***
Di ruang pertemuan Istana Kepresidenan, setelah Ajudan
dan Kepala Pengawal Kepresidenan berangkat melaksanakan
tugas yang diperintahkan, Sang Presiden bergegas cepat
menuju ke Ruangan Rahasia. Mengambil sebuah teks book
dari lemari buku. Mengangkat lukisan. Memutar kunci
rahasia. Terbukalah lemari penyimpanan. Sang Presiden
mengambil kaca mata hitam yang terletak di dalamnya. Dan
sejenak dia menggerak-gerakkan kedua tangannya, seolah-
olah sedang melepaskan pakaiannya. Diletakkannya “sesuatu
yang tak kelihatan” di atas lantai yang dilapisi ambal indah
buatan Iran. Digantungkannya tangkai kaca mata hitam tadi
di atas kedua daun telinganya dan bertengger indah di atas
hidungnya. Diamatinya “sesuatu yang tak kelihatan” yang
diletakkannya di atas lantai berlapis ambal tadi. Terlihatlah
sebuah baju mantel silver yang seolah terbuat dari bahan
halus dan mahal. Sang Presiden tahu bahwa bahan halus
dan mahal itu terdiri dari campuran baja dan pelindung anti
peluru sekaliber apa pun. Ini adalah sebuah hadiah yang
diberikan seorang sahabat seperguruan spiritualnya di Timur
Tengah, “Akh X”. Persahabatan mereka sangat dekat. Dialah
orang yang pertama sekali diberitahukannya ketika dia
berniat memimpin negeri ini. Dan “Akh X” inilah yang terus
menyemangatinya agar berani maju dan bersaing dengan
rival-rival yang berkompeten. Keinginannya semata-mata
adalah demi perbaikan negeri ini dan tegaknya kalimah Sang
Pencipta di muka bumi ini. Yang rahmatnya akan menjamah
seluruh dimensi suku, ras dan agama. Yang akan
memberikan pencerahan dan keadilan bagi seluruh rakyat
Indonesia. Itulah cita-citanya sebagai seorang Presiden.
Tidak muluk-muluk, namun dia telah mempersiapkan
program kerjanya jauh-jauh hari sebelum dia menjadi Sang
Presiden.
Enam bulan setelah pelantikannya -pertama kali sepuluh
tahun yang lalu- “Akh X” mengirimkan sebuah hadiah
kepadanya. Dikirim jauh dari Timur Tengah. Beberapa hari
sebelum dikirimkannya hadiah itu, dia telah menerima sms
dari sahabat lintas negaranya itu yang berisi pesan: “Jangan
dibuka, kecuali sendiri”. Dia mengerti isi pesan sahabatnya
itu. Makanya dia membuka sendiri bingkisan itu di ruang
kerjanya. Ketika membuka bungkusan itu, dia hanya melihat
sebuah kaca mata hitam yang mengambang di atas “sesuatu
yang tak kelihatan”. Dalam hatinya, mengapa hanya karena
sebuah kaca mata hitam ini dia harus membukanya
sendirian. Apa rahasianya? Dia tak mengerti. Tapi di atas
selembar kertas yang terlampir di situ tertulis dalam sebuah
tulisan bahasa Arab yang artinya: ”Pakailah kaca mata hitam
itu, Saudaraku”. Dengan patuh dia memakainya. Tahulah dia
akhirnya bahwa “sesuatu yang tak kelihatan” itu adalah
sebuah baju mantel hujan bertopi, berwarna silver, halus
dan mahal. Lembut sekali bahannya. Dia kembangkan
dengan kedua tangannya. Diperiksanya kedua saku baju
mantel itu satu persatu. Pada saku sebelah kanan dia
mendapati sepucuk surat dari bahan yang sama. Yang kalau
dilihat dengan mata telanjang, tidak akan kelihatan.
Dibacanya. “Saudaraku yang kucintai karena Allah. Selamat
atas dilantiknya engkau menjadi Presiden. Aku tahu tugasmu
berat dan mulia karena cita-citamu sangat agung. Dalam
dunia ini, dimana ada Muhammad, di situ akan ada Abu
Jahal. Artinya, ada yang baik, yang akan mendukungmu. Ada
yang jahat, yang tidak mendukungmu. Yang akan
membencimu sampai ke sum-sum tulangnya. Oleh karena
itu, sejak kau bercita-cita menjadi seorang Presiden, aku
telah merancang baju mantel ini untuk perlindunganmu. Ini
terbuat dari bahan baja dan anti peluru. Baik peluru
tercanggih sekalipun, tak akan mampu menembusnya. Dan
takkan terdeteksi oleh alat apa pun di dunia ini. Karena aku
telah melindunginya dengan bahan umum biasa dan tak
mencurigakan. Alhamdulillah, Allah memberiku ilmu tentang
hal ini dan harta yang banyak kepadaku, Saudaraku.
Simpanlah baju mantel ini di sebuah tempat yang
tersembunyi. Dan jangan beritahu siapa pun. Sekalipun
orang kepercayaanmu. Pakailah setiap kali kau mengadakan
acara-acara di muka umum, yang di situ segala macam
watak dan karakter manusia hadir di sana. Itulah untuk
pengamananmu. Selamat berjuang, Saudaraku. Ttd. Akh X”.
Itulah surat rahasia dari “Akh X”, yang akhirnya dirancanglah
Ruangan Rahasia ini untuk tempat penyimpanannya. Yang
tak seorang pun mengetahuinya karena seluruh rancangan
dan pekerjanya didatangkan oleh “Akh X” dari Timur Tengah.
Dari seorang sahabat, untuk Sang Presiden. Karena dia
punya cita-cita mulia dan rahmatan lil’alamin. Sehingga tak
seorang pun mengetahui hal ini, kecuali Sang Presiden
sendiri. Betapa matangnya perencanaan sahabatnya itu.
Dan hari ini, apa yang dikhawatirkan sahabatnya itu telah
terjadi. Dipandangnya tajam bagian atas baju mantel silver
itu. Bentuk topi ninja yang menyatu dengan baju mantelnya.
Pada bagian pipi sebelah kiri topi itu ada sedikit goresan tipis
retak-retak. Hantaman keras sebuah peluru, tapi tak sampai
menembus topi.
Dia harus segera memberitahukan kejadian ini kepada “Akh
X”. Hal yang dikhawatirkan sahabatnya itu telah menimpa
dirinya. Namun, saat ini juga dia sedang menunggu berita
dari Kepala Pengawalnya yang telah menggerakkan seluruh
komponen Pengamanan Terbuka dan Tertutup yang terdiri
dari pihak Polri, TNI AD, TNI AL, TNI AU dan BIN untuk
bergerak cepat menangkap siapa pelaku dan otak dari
“penembakan gagal” dirinya.
***
Di ruang keluarga Istana Kepresidenan, tujuh hari kemudian
setelah insiden “penembakan gagal” Sang Presiden tersebut.
Sang Presiden dan keluarga sedang berkumpul menyaksikan
berita televisi. Semua stasiun siaran televisi Indonesia,
meliput berita tentang pelaku “penembakan gagal” Sang
Presiden dan latar belakang terjadinya penembakan
tersebut. Laporan seorang penyiar televisi “Zero-zero Seven”
yang saat itu sedang ditonton keluarga Sang Presiden,
menyampaikan: ”Saudara-saudara pemirsa televisi “Zero-
zero Seven” yang setia, berikut kami sampaikan secara
singkat hasil inti dari penelusuran dan penyidikan kru televisi
kami dalam kasus “penembakan gagal” Sang Presiden.
Antara lain, dua jam setelah terjadinya insiden “penembakan
gagal” Sang Presiden, telah ditangkap pelaku-pelaku yang
mencurigakan. Para pelaku ini berhasil ditangkap setelah
dilakukan penyisiran pada barisan para demonstran. Juga
adanya kerjasama yang baik antara Aparat Keamanan
Terbuka dan Tertutup dengan Korlap demonstran.
Selanjutnya, dalam tempo tujuh kali dua puluh empat jam,
hasil kerja keras seluruh aparat keamanan yang terdiri dari
Satuan Pengawal Presiden, Polri, TNI AD, TNI AL, TNI AU dan
BIN berhasil mengungkapkan siapa otak dari “penembakan
gagal” ini. Ada dua orang sebagai otak dari penembakan ini,
yaitu : Satu, Mantan Menteri Pengurusan dan Kesejahteraan
Tenaga Kerja dengan motif sakit hati telah dipecat pada
tahun ketiga pertama pemerintahan Sang Presiden karena
tidak menjalankan tugas dengan baik dan menimbulkan
korban nyawa pada TKI. Saudara pasti ingat pada kasus
tujuh tahun yang lalu. Menteri ini dipecat karena lalai dan
tidak menolong puluhan TKI yang berada di Negara “Eksis”
yang terkena wabah penyakit menular. Padahal, program
Jamsostek untuk TKI kita waktu itu telah disyahkan untuk
dijalankan pada tahun kedua pemerintahan Sang Presiden.
Jadi Menteri yang bersangkutan tidak menjalankan tugasnya
dengan baik, sehingga memakan korban jiwa puluhan TKI.
Padahal, para TKI telah melapor dan memohon bantuan
kepadanya, namun tak segera diambil tindakan. Kedua,
Menteri Kekayaan Bumi yang dipecat pada tahun keempat
pertama dari pemerintahan Sang Presiden. Menteri ini
dipecat karena terkait kasus penjualan Kekayaan material
Bumi Indonesia secara illegal untuk memperkaya diri sendiri
kepada Negara lain. Sehingga rakyat Indonesia sendiri yang
memerlukan material tersebut mengalami kekurangan
pasokan yang besar sehingga hampir menimbulkan revolusi
rakyat. Hal ini menyebabkan kerugian yang besar bagi
Negara. Demikianlah kami sampaikan otak pelaku
“penembakan gagal” Sang Presiden. Saya, Aisyah Quthb
serta kru teknisi lainnya undur diri dari hadapan Saudara.
Terima kasih!”

Tidak ada komentar:

Posting Komentar