Minggu, 15 April 2012

Pintu pintu kebaikan

Iman (agama) seperti diterangkan Nabi
SAW dalam hadis sahih, memiliki cabang
yang banyak sekali jumlahnya, mulai dari
komitmen tauhid, “Tidak ada Tuhan selain
Allah,” hingga kepekaan terhadap kebersihan dan kesehatan
lingkungan, seperti memungut dan menyingkirkan
hambatan di jalan. (HR Muslim dari Abu Hurairah).
Hadis ini mengajarkan kepada kita bahwa iman pada
dasarnya bukan hanya kata-kata yang diucapkan (kalimatun
tuqal), melainkan suatu keputusan yang menuntut tugas dan
tanggung jawab multidimensional, berupa kepatuhan
kepada Tuhan (devotional), kepedulian kepada sesama
manusia (sosial), dan keluhuran budi pekerti alias akhlaq al-
karimah (moral).
Menarik disimak pertanyaan Nabi SAW untuk menguji kadar
keimanan para sahabat. Katanya, “Siapa yang pagi ini
puasa?”
“Saya tuan,” jawab Abu Bakar.
“Siapa yang hari ini mengantar jenazah?” tanya Nabi lagi.
“Saya tuan,” jawab Abu Bakar.
Nabi bertanya lagi, “Siapa yang hari ini memberi makan
orang miskin?”
Abu Bakar pun menjawab, “Saya Tuan.”
Lalu, Nabi bertanya lagi, “Siapa yang hari ini menjenguk
orang sakit?”
Lagi-lagi Abu Bakar mengangkat tangan, seraya berkata,
“Saya tuan.”
Lalu, beliau bersabda, “Tak menyatu semua itu pada diri
seorang, kecuali ia masuk surga.” (HR Muslim dari Abu
Hurairah).
Kisah ini menarik dan syarat dengan pelajaran. Abu Bakar,
sahabat Nabi yang satu ini, memang istimewa. Ia selalu
bersama Nabi di kala suka dan duka. Ia adalah sahabat yang
menemani Nabi SAW di Gua Hira, saat orang kafir,
pembunuh bayaran, mengejar hendak membunuhnya. Ia
selalu membenarkan, tanpa ragu sedikit pun, apa-apa yang
dibawa dan disampaikan oleh Nabi. Maka, gelar al-Shiddiq
layak disandangnya. Ia pun pantas menjadi pengganti Nabi
(Khalifah) pertama.
Kisah ini menunjukkan bahwa jalan menuju Allah itu tidaklah
tunggal, melainkan berbilang (muta`ddidah). Setiap
kebaikan sejatinya adalah pintu atau jalan menuju Tuhan.
Setiap orang dapat mengambil pintu atau jalan yang
memungkinkan dirinya “bertemu” Allah, setingkat dengan
ilmu, kemampuan, dan pengalamannya masing-masing.
Kisah ini juga menunjukkan pilar-pilar kebajikan yang
diajarkan Islam. Di antaranya pilar kepatuhan yang tinggi
kepada Allah SWT (ibadah). Dalam kasus ini, kebajikan itu
ditunjukkan dengan ibadah puasa, shalat, dan mengantar
jenazah. Kebajikan ini berdimensi vertikal.
Berikutnya pilar amal saleh, yaitu kebaikan sosial, yang
ditunjukkan melalui kesediaan memberi makan kepada
orang miskin. Kebajikan ini berdimensi sosial dan horizontal.
Lalu berikutnya lagi, adalah pilar akhlak dan keluhuran budi
pekerti, yang ditunjukkan dengan menjenguk orang sakit.
Kebajikan ini berdimensi moral dan sekaligus sosial.
Dalam Alquran, kebajikan yang diajarkan Nabi SAW seperti
diperagakan oleh Abu Bakar al-Shiddiq itu dinamakan al-
Birr, yaitu kebajikan yang lapang dan luas (QS al-Baqarah
[2]: 177).
Kebajikan di sini menunjuk bukan hanya pada aspek-aspek
lahiriah dari agama, melainkan justru aspek batin (inner
aspect) yang menjadi kekuatan penggerak lahirnya kebaikan
sosial (amal saleh) dan kulaitas-kualitas moral (akhlaq al-
karimah). Inilah jalan atau pintu menuju kemulian! Wallahu
a`lam.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar