Jumat, 24 Agustus 2012

Belajar santun dan memaafkan

Laki-laki itu menuntun seekor unta dengan kasar.
Tangannya menarik tali kekang untanya dengan keras,
sementara mulutnya tak pernah berhenti memaki si
unta. Nampaknya si unta menahan sakit, terlihat
sebelah matanya keluar dari kelopaknya sampai
menempel di pipinya. Sebelah wajah si unta telah
basah oleh aliran darah.
Kejadian di siang bolong itu menggemparkan penduduk
Bashrah. Mereka geleng kepala melihat sosok laki-laki
itu dan unta yang diseretnya. Sangat kontras. Betapa
tidak, sedangkan nilai laki-laki yang menyeret unta
dengan unta yang diseret itu jauh tidak sebanding.
Jangan keliru, unta itu adalah unta kesayangan
pemiliknya. Adapun laki-laki yang menyeretnya
bukanlah pemilik unta, tapi seorang budak miliki si
pemilik unta!
Kontan saja masyarakat Basrah satu sama lain saling
berbisik, "Wah, hari ini tamat sudah riwayat budak tak
tahu diri ini."
Kegaduhan di depan sebuah rumah di kota Basrah itu
mengundang si pemilik rumah untuk keluar ke
halaman. Begitu ia keluar rumah, di hadapannya sudah
berkerumun banyak orang. Para tetangga, budak
miliknya dan unta kesayangannya dalam kondisi
mengenaskan. Orang yang baru saja keluar dari dalam
rumah itu memang pemilik si unta dan tuan dari si
budak penyeret unta.
Dalam kondisi seperti itu, seorang tuan tentu wajar
apabila marah dan naik pitam. Tentu biasa apabila
seorang tuan membentak budaknya dan mencercanya
dengan rentetan pertanyaan. Kenapa engkau berteriak-
teriak dan memaki-maki? Kenapa mata unta
kesayanganku sampai keluar dari kelopaknya? Siapa
yang mencederai unta kesayanganku? Bagaimana kamu
menjaga unta kesayanganku? Dan pertanyaan-pert
anyaan dengan nada menyalahkan lainnya.
Di luar dugaan si budak dan para tetangga yang
mengerumuninya, si tuan pemilik unta kesayangan itu
memberikan reaksi yang sangat mengejutkan. Kalimat
yang diucapkannya sungguh luar biasa. Dengan tenang
dan penuh wibawa, tuan si budak sekaligus pemilik
unta kesayangan itu mengatakan:
َﻥﺎَﺤْﺒُﺳ ،ِﻪﻠﻟﺍ َﻼَﻓَﺃ َﺮْﻴَﻏ ،ِﻪْﺟَﻮﻟﺍ َﻙﺭﺎَﺑ ُﻪﻠﻟﺍ ،َﻚْﻴِﻓ ْﺝُﺮْﺧﺍ ،ﻲِّﻨَﻋ
ﺍﻭُﺪَﻬْﺷﺍ ُﻪَّﻧَﺃ ٌّﺮُﺣ .
"Subhanallah (Maha Suci Allah). (Jika engkau memukul)
kenapa tidak pada selain wajah? Semoga Allah
memberkatimu, pergilah engkau dariku dan saksikanlah
oleh kalian semua bahwa ia aku merdekakan!"
Sungguh jawaban yang hebat. Tidak ada caci maki,
bentakan dan emosi sedikit pun dalam kalimat yang
keluar dari mulutnya. Ia juga tidak melayangkan
tangannya untuk memukul budaknya, atau
melayangkan kakinya untuk menendangnya, apalagi
memuntahkan ludahnya ke wajah budaknya.
Kalimat yang pertama keluar dari mulutnya justru
kalimat dzikir yaitu tasbih, subhanallah. Kalimat kedua
adalah sebuah pengajaran: jika terpaksa harus
memukul, hendaknya memukul di daerah selain wajah
dan jangan sampai melukai. Kalau terpaksa harus
memukul, hendaknya pukulan ringan sebagai
peringatan dan nasehat, bukan pukulan pelampiasan
dendam.
Kalimat ketiga adalah sebuah doa bagi si budak yang
telah berbuat salah itu, baarakallahu fiika, semoga
Allah memberkahimu. Kalimat keempat adalah
kedermawanan, ia memerdekakan si budak yang
berbuat salah tersebut secara cuma-cuma, tanpa
tebusan dan syarat apapun, detik itu juga, dan seluruh
tetangga yang berkerumun di depan rumah itu menjadi
saksinya.
Saudaraku seislam dan seiman….
Anda mungkin bertanya-tanya dalam hati, apakah kisah
di atas sebuah cerita fiktif belaka ataukah benar-benar
pernah terjadi? Jika memang kejadian nyata, siapa
sosok si tuan yang penyabar, penyantun, pemaaf dan
dermawan tersebut?
Kisah di atas benar-benar pernah terjadi tiga belas abad
yang lalu di kota Bashrah. Si tuan pemilik budak dalam
kisah di atas adalah seorang ulama dan ahli ibadah
generasi tabi'in yang sangat dibanggakan oleh dunia
Islam pada zamannya. Ia adalah imam Abdullah bin
Aun bin Arthaban Al-Muzani. Beliau dilahirkan pada
tahun 66 H di kota Bashrah dan wafat pada bulan Rajab
151 H. Unta kesayangan itulah yang senantiasa
mengantarkannya ke medan jihad di bumi Syam dan
haji ke baitullah di Makkah.
Ulama hadits dan sejarawan Islam, imam Adz-Dzahabi
menulis tentang sosok imam Abdullah bin Aun, "Al-
imam (sang ulama), al-qudwah (sang teladan), ulama
Bashrah, Abu Aun maula suku Muzani, orang Bashrah,
al-hafizh (ulama hadits yang hafal puluhan ribu
hadits). Ia adalah salah seorang ulama yang
memadukan ilmu dan amal." (Siyar A'lam An-Nubala',
6/365-366)
Kedalaman ilmunya diakui oleh para ulama besar
generasi tabi'in dan tabi'it tabi'in. Imam Al-Awza'i,
Syu'bah bin Hajjaj, Abdurrahman bin Mahdi, Abdullah
bin Mubarak, Yahya bin Ma'in dan lain-lain
mengakuinya sebagai salah satu ulama hadits, tafsir,
qira'ah dan fiqih paling hebat di Irak pada masanya.
Kesungguhan ibadahnya, penjagaan lisannya,
kesantunan, pemaafan dan kedermawanannya juga
diakui oleh semua penduduk Bashrah.
Al-Qa'nabi berkata, "Ibnu Aun tidak pernah marah. Jika
ada seseorang yang membuatnya marah, ia hanya
berkata: "Semoga Allah memberkatimu."
Salam bin Abi Muthi' berkata, "Ibnu Aun adalah orang
yang paling bisa menjaga lisannya."
Kharijah bin Mush'ab berkata, "Aku telah menemani
Ibnu Aun selama 24 tahun. Selama itu aku tidak
pernah melihat malaikat (layak) mencatat satu
kesalahan pun bagi dirinya." (Siyar A'lam An-Nubala',
6/366)
Sifat-sifat mulia itu tidak heran disandang oleh imam
Abdullah bin Aun. Dalam hidupnya ia memegang erat
nasehatnya sendiri, "Menyebut-nyebut manusia itu
adalah penyakit, adapun menyebut-nyebut Allah (dzikir)
itu adalah obat."
Lembaran kehidupannya sungguh penuh dengan
catatan ilmu dan amal. Imam Adz-Dzahabi meringkas
komentarnya tentang imam Abdullah bin Aun dengan
menulis, "Sungguh Ibnu Aun telah dikaruniai sifat
santun dan ilmu dan jiwanya suci membantu dirinya
untuk menjadi orang yang bertakwa. Sungguh
beruntunglah ia." (Siyar A'lam An-Nubala', 6/369)
Saudaraku seislam dan seiman…
Banyak hikmah bisa kita petik dari kehidupan imam
Abdullah bin Aun Al-Muzani, jika saja kita
menyempatkan diri untuk mengkaji secara lengkap
kehidupan beliau dan merenungkannya. Sengaja kita
hanya mencuplik sepenggal kisah nyata dari kehidupan
beliau, agar kita bisa belajar menumbuhkan sifat
santun, pemaaf dan dermawan di bulan suci Ramadhan
yang penuh berkah dan ampunan Allah ini.
Puasa di bulan Ramadhan bukan sarana untuk
membiasakan lapar dan dahaga semata. Ia juga
merupakan sarana untuk mengendalikan emosi dan
hawa nafsu agar sejalan dengan tuntunan wahyu Allah.
Kemarahan, dendam, iri hati, dengki, sombong, dan
penyakit-penyakit hati lainnya harus disucikan. Sifat-
sifat utama seperti pemaaf, penyantun dan dermawan
harus ditumbuhkan dan dibiasakan.
Jika hal itu berhasil dilakukan oleh orang yang berpuasa
Ramadhan, niscaya kehidupan di luar bulan Ramadhan
akan lebih indah dan penuh warna. Sifat-sifat utama
tersebut adalah cirri-ciri utama kaum yang bertakwa,
sementara tujuan finish berpuasa adalah mengantarkan
kepada derajat takwa. Maha Benar Allah dengan
firman-Nya,
ﺍﻮُﻋِﺭﺎَﺳَﻭ ﻰَﻟِﺇ ٍﺓَﺮِﻔْﻐَﻣ ْﻦِﻣ ْﻢُﻜِّﺑَﺭ ٍﺔَّﻨَﺟَﻭ ﺎَﻬُﺿْﺮَﻋ ُﺽْﺭَﺄْﻟﺍَﻭ ُﺕﺍَﻭﺎَﻤَّﺴﻟﺍ
ْﺕَّﺪِﻋُﺃ َﻦﻴِﻘَّﺘُﻤْﻠِﻟ (133) َﻦﻳِﺬَّﻟﺍ َﻥﻮُﻘِﻔْﻨُﻳ ﻲِﻓ ِﺀﺍَّﺮَّﺴﻟﺍ ِﺀﺍَّﺮَّﻀﻟﺍَﻭ
َﻦﻴِﻤِﻇﺎَﻜْﻟﺍَﻭ َﻦﻴِﻓﺎَﻌْﻟﺍَﻭ َﻆْﻴَﻐْﻟﺍ ِﻦَﻋ ِﺱﺎَّﻨﻟﺍ ُﻪَّﻠﻟﺍَﻭ ُّﺐِﺤُﻳ َﻦﻴِﻨِﺴْﺤُﻤْﻟﺍ
134) )
Dan bersegeralah kalian kepada ampunan dari Rabb
kalian dan kepada surga yang luasnya seluas langit dan
bumi yang disediakan untuk orang-orang yang
bertakwa. Yaitu orang-orang yang menafkahkan
(hartanya), baik di waktu lapang maupun sempit, dan
orang-orang yang menahan amarahnya dan
memaafkan (kesalahan) orang lain. Dan Allah menyukai
orang-orang yang berbuat kebajikan. (QS. Ali Imran [3]:
133-134)
Allah Ta'ala juga telah menjanjikan balasan yang sangat
menggiurkan dan janji Allah tidak pernah diingkari-Nya,
َﻚِﺌَﻟﻭُﺃ ْﻢُﻫُﺅﺍَﺰَﺟ ٌﺓَﺮِﻔْﻐَﻣ ْﻦِﻣ ْﻢِﻬِّﺑَﺭ ٌﺕﺎَّﻨَﺟَﻭ ﻱِﺮْﺠَﺗ ْﻦِﻣ ﺎَﻬِﺘْﺤَﺗ
ُﺭﺎَﻬْﻧَﺄْﻟﺍ َﻦﻳِﺪِﻟﺎَﺧ ﺎَﻬﻴِﻓ َﻢْﻌِﻧَﻭ ُﺮْﺟَﺃ َﻦﻴِﻠِﻣﺎَﻌْﻟﺍ
Mereka itu balasannya ialah ampunan dari Rabb
mereka dan surga yang di dalamnya mengalir sungai-
sungai, sedang mereka kekal di dalamnya; dan itulah
sebaik-baik balasan bagi orang-orang yang beramal.
(QS. Ali Imran [3]: 136)
Wallahu a'lam bish-shawab.
Referensi:
Adz-Dzahabi, Siyaru A'lam An-Nubala', 6/364-375,
Beirut: Muassasah Ar-Risalah, cet. 3, 1405 H

Tidak ada komentar:

Posting Komentar