Sabtu, 11 Agustus 2012

Ingat mati tapi lupa diri

Bismillahirr Rahmanirr Rahim ...
Sebuah hadist Qudsi yang cukup, panjang menggelitik
hati kita, Sangat baik kita simak.
“Aku (Allah) heran terhadap orang yang yakin akan
datangnya kematian tetapi ia masih membanggakan
diri?
Aku heran terhadap orang yang yakin dengan hari
perhitungan (hisab), kenapa ia masih sibuk menimbun
harta benda?
Aku heran terhadap orang yang yakin akan masuk pintu
kubur, kenapa mereka masih tertawa terbahak-bahak?
Aku heran terhadap orang yang yakin terhadap hari
akhirat, kenapa mereka masih bersenang-senang dan
lalai tidak beramal?
Aku heran terhadap orang yang yakin akan lenyapnya
dunia ini, kenapa dia masih menambatkan hati
kepadanya?
Aku heran terhadap orang alim yang pintar bicara
tetapi bodoh dalam paham pengertian.
Aku heran terhadap orang yang sibuk menyelidiki aib
orang lain, tetapi lupa cacat/cela dirinya sendiri.
Aku heran terhadap orang yang tahu bahwa Allah
memperhatikan tingkah lakunya, mengapa ia masih
durhaka kepada Allah?
Aku heran terhadap orang yang mengerti bahwa ia akan
mati sendirian dan masuk kubur sendirian, kenapa ia
masih asyik bersenda gurau dengan orang banyak?
Tidak ada Tuhan yang berhak disembah melainkan
Allah, Muhammad itu benar-benar hamba-Ku dan
rasulKu”
Diakui atau tidak, banyak orang yang tidak sempat
mengadakan perenungan. Dengan kesibukan yang
padat, rasanya sulit mencari waktu yang tepat untuk
berpikir mendalam. Hari-hari hanya diisi dengan kerja
dan kerja.
Semua waktu habis sekadar untuk mencari nafkah.
Kesibukan seperti ini sudah menjadi ciri atau malah
menjadi bagian dari kehidupan modern.
Malam hari yang semestinya waktu paling cocok untuk
melakukan perenungan ternyata juga tersita untuk
sekedar urusan dunia.
Malam, utamanya dikota -kota besar tidak lagi ada
bedanya dengan siang, Tetap ramai, tetap sibuk.
Lampu-lampu kota kini telah menjadi `pengganti’
matahari.
Malam pun tetap terang benderang, Itulah sebabnya
kemudian bermunculan manusia `kelelawar’ yang
jadwal hidupnya justru terbalik, Di siang hari mereka
tidur, malam hari mulai menampakkan tanda-tanda
kehidupannya bekerja. Tentu saja hal ini menyalahi
sunnah, menyelisih fitrah.
Firman Allah,”Dialah yang menjadikan untukmu malam
(sebagai) pakaian, dan tidur untuk istirahat, dan Dia
menjadikan siang untuk bangun berusaha.” (QS Al-
Furdan 47).
Karena manusia sudah merasa tidak lagi cukup
waktunya untuk mencari kehidupan di siang hari saja,
maka malam harinya mereka gunakan juga untuk
bekerja. Akibatnya jam istirahat berkurang. Apalagi jam
untuk tafakkur, mengadakan perenungan, muhasabah
(menghitung diri), muroqobah (mendekatkan diri pada
Allah), hampir tiada lagi sama sekali.
Jangankan shalat malam, sedang shalat Isya saja
dikerjakan sambil ngantuk, pikirannya masih tertuju
pada lain yang sifatnya keduniaan. Apalagi disaat
shalat, TV tidak dimatikan, sebab anak istri/suami
sedang menonton, Bagaimana bisa khusyu’ sedang
ingat bacaannya sudah kesulitan.
Terlebih kini semakin banyak saja acara yang menarik,
yang melalaikan manusia dari memikirkan arti
hidupnya sendiri. Semestinya sebelum pergi tidur
diluangkan waktu sejenak untuk berzikir. Kalau bisa,
shalat dua rakaat. Kalau masih bisa, baca Al Qur’an
minimal tiga surat terakhir atau tiga Qul, yaitu Qul
Huwallahu ahad, Qul a’udzubirabbil falaq, dan Qul
a’udzu birabbinnas, lalu ditutup dengan do’a tidur.
Tapi alangkah banyaknya orang yang pergi tidur tanpa
sengaja. Sambil menonton TV keterusan. Lupa berzikir,
lupa shalat, lupa berdo’a ataupun mengadakan
perenungan. Malah mengatur posisi tidurnya saja tidak
sempat untuk bangun tengah malam apalagi.
Kurangnya mengadakan perenungan berakibat sangat
fatal, Manusia tak lagi mengerti untuk apa mereka
bekerja. Mereka bekerja sekedar untuk mencari harta.
Setelah harta didapat digunakan sekenanya. Tidak ada
waktu lagi untuk berfikir, darimana harta didapat.
Tidak ada kesempatan untuk merenung, apakah yang
lain juga mendapat, Tak juga sempat menilai, halal atau
haram pendapatannya dan sebaliknya digunakan untuk
apa saja itu semua. Dalam benaknya hanya ada satu
pikiran, pokoknya saya dapat. Mestinya berfikir,
darimana didapat, dan kemana dibelanjakan. Orang
yang sudah pada taraf seperti ini hidupnya hanyalah
sekedar untuk memenuhi hidup. Mereka bekerja,
berjuang, berkorban, berdamai dan berperang, hanya
untuk hidup, bahkan mereka mempertaruhkan
hidupnya sekedar untuk hidup.
Mereka ini disindir Allah dalam firman-Nya “Dan
sesungguhnya Kami jadikan untuk isi neraka Jahannam
kebanyakan dari jin dan manusia. Mereka mempunyai
hati, tetapi tidak dipergunakannya untuk memahami
ayat – ayat Allah. Mereka mempunyai mata, tetapi tidak
dimanfaatkan untuk melihat tanda-tanda kebesaran
Allah, mereka mempunyai telinga, tapi tidak dipakai
untuk mendengar ayat-ayat Allah. Mereka itu bagai
binatang ternak, bahkan lebih sesat lagi, Mereka itulah
orang-orang yang lalai,” (QS Al A’raaf: 179).
Telinga mereka berlubang dan bisa mendengar, tapi
tidak mau mendengarkan nasehat, anjuran, perintah
dan larangan Dzat yang menciptakan telinga. Inilah
yang disebut telinga pasif oleh Allah. Bukan berarti
telinga ini tak aktif terhadap yang lain. Begitu musik
disetel, nyanyian diperdengarkan, fitnah digunjingkan,
telinga itu menjadi normal kembali, Mata mereka juga
melek, tapi untuk membaca kalimat Allah mata itu
menjadi rabun, malah buta sama sekali, Berbeda bila
melihat lenggak lenggok artis, baik di pentas terbuka
maupun di layar televisi, mata itu tiba-tiba jernih,
sejernih kaca TV.
Mereka juga punya hati, tapi sekedar gumpalan daging
yang terbalut rongga dada, Hati yang berupa qolb tak
lagi mereka punyai, paling tidak sudah lama tak
terpakai. Usang, sulit dicari. Jika harus diaktifkan, masih
perlu dibersihkan, diservis, bahkan mungkin dibongkar
pasang dulu.
“Sesungguhnya pendengaran, penglihatan, dan hati,
semuanya itu akan dimintai pertanggungjawabannya.”
kata Allah dalam surah Al -israa’ 36.
Sebelum hari pertanggungjawaban itu, sebaiknya kita
memanfaatkanya untuk merenung, adakah ketiga-
tiganya sudah berfungsi sebagaimana yang diharapkan
oleh Yang Menciptakan? Atau kita masih beralasan,
belum ada waktu untuk merenungkan?
Hadist Qudsi di atas adalah ajakan kepada kita untuk
merenungkan sejenak arti hidup kita di dunia ini. Jelas
sekali bahwa Allah tidak heran kepada manusia, sebab
Dia sendiri yang menciptakan, Redaksi hadist ini dibuat
sedemikian rupa, agar lebih komunikatif, agar mudah
dicerna dan difahami. Lebih penting lagi, agar mudah
menyentuh hati. Soal sentuh menyentuh hati ini bukan
perkara sederhana, apalagi untuk ukuran sekarang ini.
Bukan Mayat Berjalan orang hidup yang lupa
mempersiapkan untuk hari esok, disindir oleh Nabi
Muhammad Saw seperti mayat hidup yang sedang
berjalan. Artinya, fisiknya hidup, tetapi hatinya telah
mati.
Orang yang hatinya mati, bisa kita lihat dari berbagai
tanda, Misalnya, mereka tidak peduli ada peringatan
Allah atau tidak, Mereka tenang saja melenggang
bahkan berjalan dengan sombong di muka bumi.
Seolah dia akan bisa hidup selamanya, Orang yang
hatinya mati, sering kali tidak bergetar mendengar
nama Allah disebut, dan tidak bergeming meski
dibacakan ayat -ayat Allah. Baginya semua itu seperti
tidak ada kaitan sama sekali dengan masa depan, yaitu
masa depan yang begitu abadi.
Orang yang hatinya mati, tidak pernah merasa bersalah
meski tiap hari melanggar aturan Allah. Dia mengira tak
ada orang lain yang tahu, dan dikiranya Allah tidak
melihatnya. Jika berbuat maksiat, ukurannya hanya
dirinya dan orang lain. Sepanjang dirinya suka, dan
orang lain tidak melihatnya, dengan serta merta
melakukannya.
Dan masih banyak lagi tanda-tanda orang yang hatinya
telah mati. Maka kita hendaknya selalu ingat bahwa diri
kita ini bukan mayat sedang berjalan, kita ini memang
benar-benar hidup sehingga harus mengisi lintasan
kehidupan ini dengan penuh perhitungan matang. Kita
dengan sadar melangkahkan kaki ke tujuan yang baik,
Dengan sadar mengayunkan tangan ke arah yang
benar. Kita buka tutup lisan kita dengan kalimat yang
baik, benar, dan menyenangkan.
Orang yang jiwanya hidup, perilakunya terkontrol.
Hidupnya dinamis, dan dia mempunyai standar dalam
mengukur dirinya, Jika merasa salah, maka segera
minta ampun, dan jika dirasakan benar, tidak
menyombongkan diri.
Tidak ada kata terlambat untuk mengubah arah jarum
jam kehidupan ini, Kalau selama ini dirasakan arahnya
salah, maka segera putar dengan penuh kesadaran ke
arah yang benar. Niat dan tekad mendalam untuk
menjadi manusia baik hendaknya selalu ditumbuhkan
setiap kali bangun tidur. Dan meminta ampun dari
segala salah dan khilaf disaat akan tidur. Bisakah?
Semoga Bermanfaat

Tidak ada komentar:

Posting Komentar