Rabu, 15 Agustus 2012

Pengosongan Jiwa

Datanglah kepada teks
dengan pikiran dan jiwa
yang kosong. Itulah
jalannya. Jika keangkuhan
adalah kendalanya, maka
jauh sebelum manusia
mendatangi teks mereka
harus terlebih dahulu
belajar tentang kerendahan
hati. Hanya dengan begitu
teks akan menemukan
tempatnya yang terhormat
dalam jiwa kita. Dan hanya
ketika ia terhormat maka ia akan dipandang secara
utuh dan apa adanya.
Kerendahan hati sejatinya merupakan penampakan
akhir dari iman. Sebab iman melahirkan pengakuan.
Pengakuan membuahkan kepasrahan. Kepasrahan
menampak dalam ketundukan. Ketundukan
mengejawantah dalam kerendahan hati. Jadi begitu
kita menerima keabsahan teks dan keabsahan
pembawa teks, kita menyiapkan jiwa kita untuk
menerima semua makna yang mencerahkan
kebenaran di balik teks tersebut.
Kerendahan hati itu dimanifestasikan dengan
melepaskan teks berbicara apa adanya, membiarkan
teks menampakkan diri dan maknanya tanpa
berusaha membuat plot pada makna tertentu yang
kita inginkan. Kita harus belajar melepaskan teks
mengalir dalam akal dan jiwa kita seperti air
mengaliri sungai, mengikuti arusnya, merasakan
derasnya, mendengarkan bunyinya, menikmati
gelombangnya, menatap beningnya, melepaskan
pandang pada riaknya yang mungkin
menyembunyikan gelora dari permukaan.
Kerendahan hati itu dimanifestasikan dengan
membebaskan diri dari apa yang oleh Sayyid Quthb
disebut sebagai muqarrarat fikriyah saabiqah atau
pikiran-pikiran lama yang sebelumnya kita yakini
secara aksiomatik. Karena pikiran-pikiran terlalu
sering menjadi preferensi kita dalam memaknai teks.
Padahal belum tentu teks tersebut terhubung ke
sana. Itu membuat teks masuk dalam perangkap
pemaknaan kita yang sempit dan menghilangkan
begitu banyak kemungkinan makna yang terkandung
dalam teks tersebut.
Walaupun makna teks yang kita pahami kemudian
tetap merupakan kebenaran subjektif, adalah penting
untuk menyadari sejak awal bahwa subjektif itu juga
merupakan bagian dari proses penyatuan kita dengan
teks yang tidak perlu dipertentangkan dengan
keharusan menyisakan ruang bagi pemaknaan yang
lain atas teks.
Masalahnya tidaklah terletak pada kemungkinan
pemaknaan yang beragam. Sebab teksnya sendiri
membuka ruang itu. Intinya adalah pada kerendahan
hati yang membebaskan kita dar semua pretensi
pemaknaan yang memungkinkan teks lebih bebas
dan lepas menampakkan diri bersama makna-
maknanya secara apa adanya. [ Anis Matta, sumber :
Serial Pembelajaran Majalah Tarbawi edisi 235]

Tidak ada komentar:

Posting Komentar