Rabu, 15 Agustus 2012

Lembah Ibrohim

Enam milyar manusia yang
menghuni bumi hari ini
adalah turunan dari sekitar
12 pasang manusia yang
tersisa dan selamat dalam
perahu Nuh. Itu sedikit
kuasa ilmu yang memberi
Nuh kemampuan antisipasi
atas musibah yang sedang
mengancam. Dengan kuasa
ilmu yang sama, kita
membaca cerita tentang
lembah Ibrahim.
Nama itu tak pernah ada. Sebab memang Qur'an
tidak memberinya nama. Qur'an hanya menyebut
sebuah ciri: lembah yang tak ditumbuhi sedikit pun
tumbuhan. Jadi anggap saja itu lembah Ibrahim. Itu
lembah atau tanah datar yang kering dan gersang. Ke
sanalah Ibrahim membawa istrinya, Hajar dan
bayinya, Ismail. Lebih dari 80 tahun lelaki itu
menantikan kehadiran anak ini, tapi ketika ia hadir di
pangkuannya saat keputusasaan memenuhi rongga
dadanya, ia justru membawa anaknya ke lembah itu.
Seakan-akan ia hanya datang menitip mereka kepada
alam.
Kita sering mendengar cerita ini sebagai latar
pengorbanan tanpa batas dari sebuah keluarga
kenabian. Tapi tidak pernah menanyakan apa
rencana Allah di balik itu semua. Itu jelas bukan
rencana Ibrahim. Ia bahkan tak bisa menjawab ke
mana ketika Hajar bertanya padanya saat akan
meninggalkan mereka. Tapi ketika Hajar bertanya,
apakah ini perintah Allah yang diwahyukan padamu,
Ibrahim mengiyakan.
Lembah itu seperti hilang dari memori sejarah
sampai lebih dari 2500 tahun kemudian ketika
Muhammad diangkat menjadi nabi. Lembah itu yang
kemudian dikenal dengan jazirah Arab. Dalam isolasi
peradaban itulah Ismail beranak pinak dengan
sebuah kabilah bernama Jurhum, darimana
kemudian bangsa Arab berasal. Sebuah disain
demografi baru, bangsa dan bahasa baru, terbentuk
secara perlahan dalam kurun waktu itu, dan kelak
bukan hanya menjadi mata rantai terakhir dari
silsilah kenabian, tapi juga menjadi cikal bakal
peradaban baru yang mewarnai langit sejarah
manusia sampai hari ini.
Kalau perahu Nuh adalah cerita tentang antisipasi,
maka lembah Ibrahim adalah cerita tentang disain,
tentang sebuah rencana besar yang skala waktunya
ribuan tahun. Tapi kedua cerita itu bertemu pada
fakta yang sama: bahwa pengetahuan, dari semua
sumber termasuk wahyu dalam kedua cerita ini,
membuat Nuh dan Ibrahim melakukan tindakan yang
tak terpahami dengan nalar kaum dan zamannya.
Sebuah rencana besar, yang berskala waktu panjang,
selalu dimulai dari tindakan-tindakan awal yang
tampak absurd, tak jelas dan tak terpahami. Tapi
pengetahuan tentang akhir dari sebuah cerita atau
hilir dari sebuah sungai, membuat kita yakin melalui
era penolakan itu. Terus bekerja, terus mendayung,
karena ujungnya adalah penerimaan.
Manusia berpengetahuan selalu melihat lebih jauh
dari apa yang dapat dilihat dengan kasat mata oleh
manusia tak berpengetahuan. Maka Allah
mengatakan: “Apakah sama orang yang mengetahui
dengan orang yang tidak mengetahui?” [ Anis Matta,
sumber : Serial Pembelajaran Majalah Tarbawi edisi
219]

Tidak ada komentar:

Posting Komentar