Rabu, 15 Agustus 2012

Teks dan konteks

Ketika teks sebagai content
diinsert ke dalam perangkat
ruang dan waktu manusia,
sebenarnya di situ terdapat
sebuah aksioma yang
melekat pada sifat teks itu.
Yaitu kemampuannya untuk
menembus sekat-sekat
ruang dan waktu manusia.
Teks ini adalah narasi yang
abadi. Kemampuan itu
tersimpan rapi pada fakta
bahwa ia menggabungkan
antara keteguhan dan kelenturan. Ia teguh pada
kebenaran dasarnya, tapi lentur pada proses
manusiawinya.
Ruang dari sistem kehidupan yang terangkai dalam
teks ini adalah bumi. Sementara waktunya adalah
waktu manusia sejak mereka menghuni bumi. Jadi
sejarah adalah waktunya. Bumi adalah panggungnya.
Manusia adalah aktornya. Teks ini adalah
skenarionya. Dari situ sebuah cerita kehidupan
dirakit. Itu sebabnya mengapa dua pertiga dari isi
teks ini adalah ceirta kehidupan beragam manusia
tentang bagaimana mereka melakoni hidup. Sisanya
adalah hukum-hukum normatif yang jika diterapkan
akan melahirkan sebuah cerita kehidupan yang
indah.
Karena sebagian besar isi teks ini adalah sejarah,
maka konteks menjadi sangat penting sebagai faktor
penjelas. Sejarah kehidupan Rasulullah SAW adalah
ruang dan waktu di mana teks ini diimplementasikan.
Dengan begitu kita mendapatkan referensi hidup
untuk memahami teks melalui kehidupan Rasulullah
SAW. Jika kehidupan Rasulullah kita peroleh secara
valid melalui narasi beliau atau narasi sahabat-
sahabat beliau tentang beliau, maka sekarang kita
mendapatkan dua teks. Dan kedua teks saling
menafsirkan satu sama lain. Inilah yang dimaksud
oleh para mufassirin dengan metode at tafsir bir
riwayah (menafsir teks dengan teks). Misalnya tafsir
Imam Ath-Thabari, Ibu Katsir dan lainnya.
Sebagian dari kehidupan Rasulullah SAW itu adalah
riwayat atas kata. Sebagiannya lagi adalah riwayat
atas tindakan dan sikap. Tapi keseluruhannya adalah
riwayat kehidupan yang lengkap sekaligus kompleks.
Jika riwayat-riwayat itu tidak dirangkai dalam suatu
konstruksi yang komprehensif maka hasilnya wajah
kehidupan yang boleh jadi bopeng . Misalnya, jika kita
hanya mengangkat riwayat peperangan Rasulullah
SAW, maka yang akan tampak adalah seorang
komandan perang yang seluruh hidupnya hanya
diabadikan untuk peperangan. Sisi lain tentang
kehidupan keluarga dan kemasyarakatan serta
ekonomi mungkin hilang. Lalu lahirlah pemahaman
yang cacat atas teks, dan lahirlah selanjutnya
penerapan atas teks yang juga pincang.
Tapi itu tantangan besarnya. Karena sebuah
rekonstruksi sejarah yang komprehensif pada
dasarnya adalah kerja intelektual dan spiritual yang
disamping berbasis pada fakta-fakta sejarah yang
akurat, juga bertumpu pada kemampuan imajinasi
yang kompleks. Inilah yang menjelaskan mengapa
Sayyd Quthb menggunakan imajinasi sebagai salah
satu tools dalam menafsir teks.
Suatu saat di masa kecilnya Muhammad Iqbal,
penyair abadi dari benua India, membaca Al-Qur'an.
Ayahnya yang kebetulan melihatnya lantas berpesan:
"Anakku, bacalah Al-Qur'an ini sebagaimana ia dulu
diturunkan kepada Muhammad. Bacalah ia seakan-
akan ia diturunkan hanya untukmu". [ Anis Matta,
sumber : Serial Pembelajaran Majalah Tarbawi edisi
236]

Tidak ada komentar:

Posting Komentar