Rabu, 15 Agustus 2012

Mengenang masa

Empat tahun lamanya Ibnu
Khaldun (732-808
H/1332-1406) mengurung
diri di pedalaman Afrika
Utara untuk menuntaskan
buku sejarah
monumentalnya, Al ‘Ibar .
Lima bulan diantaranya
digunakan khusus untuk
menulis kata pengantarnya,
yang kelak dikenal dengan
sebagai Al Muqaddimah .
Empat tahun lagi
sesudahnya ia gunakan untuk membaca ulang,
mengedit dan memperbaiki buku itu hingga terbit. Di
antara tahun 776-784 H, Ibnu Khaldun
‘menempatkan’ maqomnya dalam sejarah literatur
Islam dan dunia sebagai filosof sejarah dan sosial,
bahkan disebut sebagai pendiri ilmu sosiologi
modern.
Seperti dalam dunia pengembaraan dan penulisan
geografi, ilmu sejarah merupakan salah satu cabang
ilmu yang paling banyak berkembang dalam sejarah
pemikiran Islam. Ia juga merupakan buah dari
perintah Qur’an untuk mengenal ruang dan waktu
yang menjadi konteks di mana teks-teksnya akan
diturunkan menjadi realitas. “Ketahuilah”, kata Ibnu
Khaldun dalam Muqaddimahnya, “bahwa sejarah
adalah ilmu sangat berharga, sangat bermanfaat dan
sangat mulia dalam tujuannya. Ia menjelaskan
kepada kita tentang perilaku-perilaku umat terdahulu,
jalan hidup nabi-nabi serta cara raja-raja mengatur
negara-negara mereka. Dengan itu kita dapat
meneladani mereka dalam urusan agama dan dunia.”
Belajar sejarah adalah belajar tentang kehidupan dan
seluruh aspeknya. “Sejarah”, lanjut Ibnu Khaldun,
“membutuhkan banyak sudut pandang dan beragam
pengetahuan serta kemampuan analisa untuk sampai
pada kebenaran dan terbebas dari kesalahan.”
Sejarah menyadarkan kita akan efek akumulasi dari
makna waktu. Kebahagiaan dan keruntuhan dalam
sejarah perdaban manusia sebenarnya merupakan
efek akumulasi dari perilaku dan budaya tertentu
yang berkembang dalam masyarakat. Efek dari
perilaku tidak akan tampak sekaligus. Ia muncul
secara bertahap melalui deret waktu tertentu hingga
mencapai limitnya lalu meledakkan efeknya.
Sehingga di tahap-tahap awal efek dan gejalanya
tidak terlihat. Itu yang membuat masyarakat terlena
dan tidak menyadari bahwa mereka sedang berada di
ambang bahaya besar. Itu terjadi saat sebuah
peradaban menuju keruntuhannya. Begitu juga
sebaliknya ketika ia merangkak naik menuju
kejayaannya. Semua terjadi secara sekuensial melalui
time series sebagai efek akumulasi.
Efek akumulasi dari waktu itulah yang membuahkan
kemampuan berpikir sekuensial (sequential mind)
yang juga merupakan faktor penting yang
membentuk kemampuan berpikir strategis seseorang.
Karena itu, sebagaimana geografi, sejaran dari dulu
selalu melekat di dalam struktur pengetahuan raja-
raja dan para pemimpin politik. Para Khulafa Rasyidi,
khususnya Abu Bakar dan Utsman bin Affan, dikenal
luas di kalangan masyarakat jazirah Arab sebagai
orang yang paling tahu tentang sejarah nasab suku-
suku di masanya.
Setiap kali Nabi Muhammad SAW menghadapi
masalah besar dan bersedih, Allah selalu
menghiburnya dengan sejaran Nabi-nabi
sebelumnya. Itu seperti pesan, bahwa beliau tidak
sendiri perjuangannya. Ini adalah mata rantai
kenabian yang panjang yang menghaadapi tantangan
yang sama. [ Anis Matta, sumber : Serial
Pembelajaran Majalah Tarbawi edisi 246]

Tidak ada komentar:

Posting Komentar