Selasa, 14 Agustus 2012

Keangkuhan yg rapuh

Karena dunia, dalam benak
kita sebagai manusia,
adalah lukisan yang tak
selesai, maka selamanya
cara pandang kita tentang
dunia dan hidup kita akan
mengandung kenaifan yang
permanen. Dan itu
selamanya akan menurun
pada sikap-sikap kita yang
juga naif. Sebab sikap-sikap
kita adalah buah dari cara
pandang dan pemahaman kita tentang sesuatu.
Sekarang, walaupun kita hidup di tengah sebuah
peradaban ilmu dan teknologi yang canggih, akses tak
terbatas pada sumber informasi yang juga tak
terbatas, di mana setiap hari kita dicekoki dengan
doktrin bahwa pengetahuan adalah kekuasaan, di
mana apa yang ada di alas bumi, di perut bumi, dan
di angkasa sana semuanya masuk dalam wilayah
penjelajahan ilmu pengetahuan manusia modern;
semua itu tidak bisa menghapus fakta kita bahwa
lukisan kita tentang dunia ini tetaplah tak pernah
selesai, dan karenanya kenaifan kita sebagai manusia
tetap permanen. Begitulah Allah menitahkan: “Dan
tiadalah kamu diberi ilmu kecuali hanya sedikit.”
Tapi doktrin bahwa pengetahuan adalah kekuasaan
adalah doktrin yang sebenarnya benar. Pengetahuan,
dalam sejarah peradaban manusia, selalu berbanding
lurus dengan kekuasaan. Peradaban Yunani, Romawi,
Islam dan sekarang Barat, semuanya menjadi
pemimpin peradaban manusia di eranya karena basis
pengetahuan mereka yang sangat kokoh. Bahkan,
dalam sejarah nabi-nabi, Sulaiman menjadi begitu
berkuasa juga karena pengetahuannya, serta
banyaknya ilmuwan yang menjadi pembantunya.
Pengetahuan adalah landasan bagi sebuah kekuasaan
yang kokoh.
Namun masalah manusia juga muncul dari situ,
pertambahan pengetahuan biasanya memang
membuat manusia makin berkuasa. Tapi semakin
berkuasa, manusia berpeluang menjadi sombong,
angkuh dan melampaui batas. Dan itu ironis. Karena
pengetahuannya sebenarnya tak pernah lengkap, tak
pernah sempurna, jadi alasan untuk sombong dan
angkuh juga tak pernah cukup. Keangkuhan manusia
itu selamanya rapuh.
Masalahnya adalah bahwa kesombongan dan
keangkuhan itu adalah sifat Allah. Berbeda dengan
sifat Allah yang lain, Allah sama sekali tidak
mengizinkan manusia mengambil sifat itu. Maka dosa
manusia yang paling cepat dibalas Allah adalah
kesombongan. Dan Allah punya ribuan cara untuk
memangkas dan bahkan meluluhlantakkan
kesombongan manusia itu. misalnya melalui bencana
alam. Sebagian maksud dari begitu banyak bencana
alam yang terjadi di dunia kita adalah
meluluhlantakkan keangkuhan manusia itu. Seakan-
akan Allah hendak berkata: coba kalau kamu bisa!
Bahkan ketika salah seorang nabi dan Rasul-Nya,
Nabi Musa a.s., suatu saat merasa terlalu tahu, Allah
pun memangkas perasaan itu dalam dirinya. Itulah
latar dari cerita pembelajaran Nabi Musa kepada
Khidir. Itu cara Allah mengajarkan beliau akan makna
keangkuhan manusia yang rapuh, makna kerendahan
hati dan kesadaran yang mendalam bahwa “Dan di
atas setiap orang yang memiliki ilmu, ada Yang Maha
Mengetahui.”
Makna itulah yang diajarkan juga oleh Imam Ghazali,
bahwa “Siapa yang mengatakan dia telah tahu, maka
sesungguhnya dia bodoh.” Makna itu pula yang
diajarkan Imam Ahmad bin Hanbal ketika beliau
mengatakan, bahwa “Siapa yang mengatakan Allaahu
a’lam bish Shawab (Allah lebih tahu apa yang benar),
maka dia telah mendapat setengah pengetahuan.”
Kita takkan pernah bisa menjadi pembelajar sejati
kecuali ketika kita menyadari ketidaktahuan kita,
sekaligus merasakan kebutuhan yang kuat untuk
mengetahui. [ Anis Matta, sumber : Serial
Pembelajaran, Majalah Tarbawi edisi 215 hal.80]

Tidak ada komentar:

Posting Komentar