Rabu, 15 Agustus 2012

Kendala Keangkuhan

Datang kepada teks dengan
pikiran dan jiwa yang
kosong. Itulah syarat untuk
menyatu dengan teks. Tapi
itu juga sumber masalah
manusia dengan teks.
Karena sebagian besar
mereka datang untuk
mendebat teks. Mereka
mempertanyakan
keabsahan teks, atau
mempertanyakan
kebenaran makna teks.
Itulah perdebatan antara Rasulullah SAW dengan
manusia di zamannya. Itu pula yang selamanya akan
menjadi perdebatan antara manusia dengan Tuhan.
Mempertanyakan keabsahan teks adalah sumber
permasalahan yang melahirkan kekufuran dan
kemusyrikan. Sementara mempertanyakan kebenaran
makna teks adalah akar problem kaum munafiqin.
Manusia cenderung mendatangi teks dengan angkuh
sembari mengajukan dua pertanyaan. Pertama,
benarkah ini teks dari Tuhan? Kedua, atas dasar apa
seseorang bisa mengklaim diri sebagai pembawa teks
dari Tuhan? Kedua pertanyaan inilah yang selamanya
merintangi sebagian besar manusia untuk melihat
cahaya kebenaran. Mereka mengingkari keabsahan
teks dan keabsahan pembawa teks.
Itulah, misalnya, yang kita saksikan dalam peristiwa
Isra' Mi'raj. Pada tahun kesepuluh dari masa
nubuwah itu, perdebatan dengan teks mencapai
puncaknya. Pengingkaran pada keabsahan teks dan
pembawa teks menemukan momentumnya pada
peristiwa yang sama sekali tidak masuk akal dalam
ukuran mereka. Keabsahan teks tidak dapat
dipisahkan dari keabsahan pembawa teks. Itu
sebabnya jawaban Abu Bakar menyatukan keduanya
ketka mengatakan: "Saya percaya kepada Muhammad
(sebagai pembawa teks), maka saya percaya kepada
semua yang ia katakan. Saya percaya bahwa ia
membawa teks dari langit, maka saya percaya pada
peristiwa yang ia ceritakan".
Jika dengan rahmat Allah manusia berhasil melewati
rintangan ini, lalu mereka bermigrasi dari kekufuran
menuju keimanan, maka keangkuhan intelektual itu
masih menyisakan satu rintangan besar bagi mereka.
Yaitu kecenderungan untuk mempertanyakan makna
teks. Ini terkait dengan otoritas intelektual untuk
menafsirkan teks. Misalnya debat antara Nabi Musa
dengan Bani Israel tentang sapi. Keangkuhan
intelektual inilah yang kelak menjadi akar dari
kemunafikan seseorang setalah ia beriman.
Mempertanyakan keabsahan tafsir atas teks
sebenarnya hanya merupakan tipuan jiwa untuk
membenarkan mengapa mereka tidak harus
melaksanakan teks itu.
Sikap jiwa yang begitu itulah yang dijelaskan dalam
surat Al-Kahfi ayat 54: "Dan sesungguhnya Kami
telah mengulang-ulangi bagi manusia dalam Al-
Qur'an ini bermacam perumpamaan. Dan manusia
adalah makhluk yang paling banyak membantah" .
[ Anis Matta , sumber : Serial Pembelajaran Majalah
Tarbawi edisi 234]

Tidak ada komentar:

Posting Komentar