Selasa, 14 Agustus 2012

Mendaki sejarah

Di alam batin para
pahlawan, pencinta dan
pembelajar sejati, hidup
selalu dimaknai dengan
pendakian sejarah. Kita
akan sampai ke puncak
kalau kita selamanya
mempunyai energi dan rute
pendakian yang jelas.
Pendakian kita akan terhenti
begitu kita kehabisan nafas
dan kehilangan arah. Energi
dan rute, nafas dan arah, adalah kekuatan
fundamental yang selamanya membuat kita terus
mendaki, selamanya membuat hidup terus
bertumbuh.
Semakin tinggi gunung yang kita daki, semakin
panjang nafas yang kita butuhkan. Begitu kita
kehabisan oksigen, kita mati. Semakin kita berada di
ketinggian semakin kita kekurangan oksigen. Itu
sebabnya kita harus merawat dan mempertahankan
semangat kepahlawanan kita. Karena dari sanalah
kita mendapatkan nafas untuk terus mendaki.
Tapi kita perlu rute yang akurat dan jelas. Sebab
kesadaran tentang jarak memberikan kita kita
kesadaran lain tentang bagaimana mendistribusikan
energi secara seimbang dan proporsional dalam jarak
tempuh yang harus dilalui dan pada lama waktu yang
tersedia.
Rute yang jelas dan akurat akan membuat kita jadi
terarah. Keterarahan, atau perasaan terarah, sense of
direction , memberi kita kepastian dan kemantapan
hati untuk melangkah. Pandangan mata kita jauh
menjangkau masa depan, menembus tabir
ketidaktahuan, keraguan dan ketidakpastian. Kita
tahu ke mana kita melangkah, berapa jauh jarak yang
harus kita tempuh, berapa lama waktu yang kita
perlukan. Ketika kita menengok ke belakang, atau
melihat ke bawah, ke kaki gunung yang telah kita
lalui, ke lembah ngarai yang terhampar di sana, kita
juga tahu jarak yang telah kita lalui. Ilham dari masa
lalu dan mimpi masa depan terajut indah dan cerah
dalam realitas kekinian.
Rute itu membuat kita menjalani kehidupan dengan
penuh kesadaran akan jarak dan waktu. Dalam
kesadaran ini fokus kita tertuju pada semua upaya
untuk menjadi efisien, efektif dan maksimal. Kita
menjadi peserta kehidupan yang sadar, kata
Muhammad Iqbal.
Kesadaran itu manifestasi pembelajaran. Kesadaran
itu melahirkan kekhusyukan. Maka begitulah sejak
dini benar, tepatnya pada tahun keempat periode
Makkah, Allah menegur keras para sahabat
Rasulullah SAW, generasi pertama Islam, untuk tidak
banyak bercanda dan segera menjalani kehidupan
dengan kekhusyukan:
“Belumkah datang saatnya bagi orang-orang yang
beriman untuk mengkhusukkan diri mengingat Allah
dan (melaksanakan) apa yang turun dari kebenaran
itu (Al- Qur’an)” . [ Anis Matta, sumber : Serial
Pembelajaran, Majalah Tarbawi]

Tidak ada komentar:

Posting Komentar