Selasa, 14 Agustus 2012

Saat embun menembus batu

Pengetahuan kita memang sedikit. Teramat sedikit.
Hanya seperti setetes embun di lautan pengetahuan
Allah. Itupun tidak bisa dengan sendirinya
menciptakan peristiwa-peristiwa kehidupan kita.
Kesalahan kita, dengan begitu, selalu ada di situ; saat
di mana kita menafsirkan seluruh proses kehidupan
kita dengan pengetahuan sebagai tafsir tunggal. Tapi
setetes embun itu yang sebenarnya memberikan
sedikit kuasa bagi manusia atas peserta alam raya
lainnya, dan karenanya membedakan dari mereka.
Walaupun bukan dalam kerangka hubungan
kausalitas mutlak, Allah tetap saja menyebutnya
sultan; kekuasaan, kekuatan. Pengetahuan menjadi
kekuasaan dan kekuatan karena Allah dengan
kehendak-Nya meniupkan kuasa dan kekuatan itu ke
dalamnya kapan saja Ia menghendakinya. Dan karena
pengetahuan itu adalah input Allah yang
diberikannya kepada akal sebagai infrastruktur
komunikasi manusia dengan-Nya, maka ia menjadi
penting sebagai penuntun bagi kehidupan manusia.
Dalam kerangka itulah Allah mengulangi kata ilmu,
dengan seluruh perubahan morfologisnya, lebih dari
700 kali dalam Al-Qur'an.
Di jalur makna seperti itu pula Rasulullah SAW
mengatakan: "Siapa yang menginginkan dunia
hendaklah ia berilmu. Siapa yang menginginkan
akhirat hendaklah ia berilmu. Siapa yang
menginginkan kedua-duanya hendaklah ia berilmu."
Ada sesuatu yang tampak tidak bertemu di sini;
antara ilmu yang sedikit, dan kuasa yang diberikan
Allah pada ilmu yang sedikit itu. Yang pertama
menyadarkan kita akan ketidakberdayaan kita. Tapi
yang kedua menggoda kita dengan kekuasaan besar
atas dunia kita. Kisah Fir'aun, Haman dan Qarun,
adalah kisah orang-orang yang gagal menemukan
titik temu antara keduanya. Sebaliknya ada kisah
Yusuf dan Sulaiman yang menemukan simpul
perekat antara kedua situasi itu.
Yusuf menguasai perbendaharaan negara karena ia,
seperti yang beliau lukiskan sendiri. Hafiz 'aliim;
penjaga harta yang tahu bagaimana cara
menjaganya. Ilmu tentang bagaimana menjaga harta
kekayaan negara telah memberinya posisi tawar
politik yang kuat dalam kerajaan. Bergitu juga dengan
kerajaan Sulaiman yang disangga oleh para ilmuwan
yang bahkan melampaui kedalaman ilmu pasukan
jinnya. Sebab pasukan Jin hanya mampu
memindahkan singgasana Balqis dari Yaman ke
Palestina dalam waktu antara duduk dan berdirinya
Sulaiman. Sementara para ilmuwannya mampu
memindahkan singgasana itu dalam satu kedipan
mata. Itu bukan pengiriman data dan suara seperti
dalam sms dan hubungan telepon. Tapi pengiriman
barang atau cargo.
Luar biasa. Bukan terutama pengetahuannya yang
luar biasa. Tapi tafsir Sulaiman atas itu semua: "Ini
adalah keutamaan dari Tuhanku, yang dengan itu Ia
hendak mengjui aku, apakah aku akan bersyukur atau
mengingkari (kufur) nikmat itu." Sulaiman
memahami bahwa Allahlah yang meniupkan sedikit
kuasa pada pengetahuan itu. Sedikit kuasa itu
membuatnya percaya diri di depan Balqis dengan
menggunakan diplomasi teknologi dalam
menyampaikan risalah, tapi juga membuatnya
rendah hati dan bersyukur di depan Allah.
Itulah kata kuncinya: kerendahan hati dan
kepercayaan diri. Persis seperti embun; sejuk karena
kerendahan hati, tapi tak pernah berhenti menetes
karena percaya bahwa dengan kelembutannya ia bisa
menembus batu.

Anis Matta Serial Pembelajaran

Tidak ada komentar:

Posting Komentar