Selasa, 14 Agustus 2012

Para pencipta kemakmuran

Lelaki kaya raya itu
menangis tersedu-sedu,
selama berhari-hari,
menjelang kematiannya.
Bukan karena ia takut mati.
Atau sedih karena harus
meninggalkan kekayaanya
yang melimpah ruah. Ia
justru sedih karena tak
mengerti bagaimana
menafsirkan kekayaan dan
kemakmurannya
Begini ia bertanya pada dirinya sendiri: ”Ada sahabat
Rasulullah SAW yang jauh lebih baik dariku, yaitu
Mus’ab bin Umair, yang ketika wafat tidak
meninggalkan harta sedikitpun juga. Ia bahkan tidak
punya cukup kain kafan untuk menutupi jasadnya,
hingga jika kepalanya ditutup maka kakinya terbuka,
jika kakinya ditutup maka kepalanya terbuka. Lalu apa
artinya bahwa mendapatkan kekayaan yang
melimpah ruah ini sementara mereka tidak??
Tidakkah kekayaan ini malah akan mengantarkan aku
ke neraka??"
Lelaki kaya itu, Abdurrahman bin Auf, mengulang-
ulang pertanyaan itu, sembari menangis, sampai ia
menghembuskan nafasnya yang terakhir
Kebanyakan kita belajar makna zuhud dari cerita itu.
Tapi begitu kita menarik konteks di mana
Abdurrahman bin Auf hidup dan bekerja, segera saja
kita temukan nama beliau di deretan para sahabat
Nabi yang ikut berjihad di semua medan tempur
sepanjang hidupnya, ahli ibadah yang tidak kenal
lelah, penderma yang tidak pernah berhenti
berderma, yang pertama kali mengundurkan diri dari
pencalonannya sebagai khalifah setelah Umar bin
Khattab terbunuh. Semua makna zuhud ada di situ,
persis di jantung kepribadiannya. Ia seharusnya tidak
perlu menangis seperti itu jika semua makna zuhud
itu kita nisbatkan kepada dirinya
Tapi begitulah mereka. Mereka mewariskan pelajaran
lain yang belum kita pahami. Abdurrahman bin Auf,
satu diantara sekian nama besar pengusaha dari
kalangan sahabat Rasulullah SAW, yang bekerja keras
menciptakan kemakmuran dan kekayaan di tengah
masyarakat Muslim yang baru berkembang menjadi
pemimpin peradaban baru. Pembebasan-
pembebasan yang terjadi sejak masa Abu Bakar
hingga tujuh tahun pertama masa pemerintahan
Usman bin Affan telah memberikan kemelimpahan
bagi kaum Muslimin. Mereka mendapatkan wilayah-
wilayah baru dengan segala isinya, yang salah satu
artinya adalah pertambahan dan penggandaan pada
pendapatan pemerintah, baik pada sumber yang
sebelumnya sudah ada seperti zakat dan ghanimah,
atau dari sumber yang baru seperti jizyah, kharaj dan
usyur
Itu menjelaskan tafsir utama atas kemakmuran di era
itu: bahwa pada mulanya kemakmuran itu diciptakan
oleh pembebasan-pembebasan besar. Kelak sejarah
mencatat kebenaran fakta ini: bahwa bangsa-bangsa
yang makmur selalu mencatat sejarah
kemakmurannya dari kemenangan-kemenangan
besar dalam perang-perang besar. Kemakmuran
Eropa dan Amerika, misalnya, adalah hasil
kemenangan dalam perang dunia pertama dan kedua
serta perang dingin.
Tapi itu bukan tafsir tunggal atas kemakmuran.
Pembebasan-pembebasan besar memberikan
kemelimpahan pada sumber daya untuk menciptakan
kemakmuran. Tapi hanya bangsa yang memiliki
pengusaha-pengusaha besar yang bisa
memanfaatkan dan mengkapitalisasi sumber daya
baru itu menjadi kekayaan yang melimpah. Begitulah
kemakmuran terjadi di era itu: pembebasan-
pembebasan besar memberi tambahan sumber daya,
tapi di tangan dingin para pengusaha tangguh,
seperti Abdurrahman bin Auf dan Usman bin Affan,
sumber daya itu menjadi kekayaan yang melimpah.
Lihatlah misalnya, bagaimana Usman bin Affan
menghilangkan dominasi pengusaha Yahudi di
Madinah. Mereka tidaklah lebih besar dari para
pengusaha lain. Tapi mereka adalah pengusaha
pembelajar. Dan diantara yang mereka pelajari
adalah bagaimana mengimbangi ketangguhan para
mujahidin yang terus-menerus membebaskan
wilayah-wilayah baru sembari mengimbangi
pengusaha-pengusaha setempat yang sebelumnya
mendominasi wilayah itu. Amerika mungkin punya
jenderal Mc Arthur yang menaklukkan kawasan
pasifik dalam perang dunia kedua, tapi juga punya
Bill Gate yang mengisi komputer-komputer kita
dengan softwarenya atau Warren Buffet yang mengisi
lantai bursa kita dengan investasi-investasinya.
Begitu juga era itu: ada pembebas sekaliber Khalid
bin Walid, tapi juga ada pengusaha tangguh seperti
Abdurrahman bin Auf dan Usman bin Affan
Jadi tangis Abdurrahman bin Auf itu adalah
pertanyaan yang rendah hati: bisakah perannya
sebagai pengusaha mengimbangi peran para
mujahidin di mata Allah?? [ Anis Matta, sumber :
Serial Pembelajaran , Majalah Tarbawi edisi 212
hal.78-79]

Tidak ada komentar:

Posting Komentar