Rabu, 15 Agustus 2012

Pintu pintu kebenaran

Apa bedanya menyembah
patung dengan mencium
batu seperti hajar aswad?
Keduanya adalah benda
mati yang disembah atau
dicium sebagai bentuk
ibadah. Mencium hajar
aswad – dalam konteks ini –
jelas tidak masuk akal. Tapi
Umar bin Khattab yang
sangat rasional akhirnya
menciumnya juga. Telah
hilangkah rasionalitasnya?
Tidak! Akalnyalah yang telah mengantarnya kepada
hakikat kebenaran yang lebih besar. Yaitu hakikat
tentang Allah dan Muhammad. Ia menerima
kebenaran itu. Ia meyakini kebenaran itu. Ia tunduk
dan pasrah pada kebenaran itu. Maka mencium hajar
aswad hanya penampakan kecil dari penerimaan,
keyakinan, ketundukan dan kepasrahan kepada kedua
hakikat besar itu.
Begitulah Umar bin Khattab menemukan hidayah
dan jalan akalnya. Ia mendengarkan adik
perempuannya membaca teks ini: “Thaha. Tiadalah
Kami menurunkan Al-Qur’an ini kepadamu supaya
kamu menderita.” Ayat itu menyentak akalnya. Lalu
membuka hatinya. Maka ketika akhirnya ia harus
mencium hajar aswad, ia hanya mengatakan: “Saya
tahu wahai batu bahwa kamu tidak memberi
manfaat tidak juga membawa bahaya. Kalau bukan
karena melihat Muhammad menciummu niscaya aku
tidak akan menciummu.”
Abu Bakar beda lagi. Ia menemukan kebenaran dari
jalan lain. Ia menemukannya dari jalan hatinya. Sejak
awal ia bersahabat dengan Muhammad. Sejak awal ia
mengetahui kejujuran Muhammad. Maka sejak awal
pula ia mempercayai Muhammad dan mencintainya
sepenuh hati. Jadi ketika Muhammad datang
kepadanya membawa berita dari langit, ia sama
sekali tidak menemukan sedikitpun keraguan dalam
dirinya. Ia segera mempercayainya dan menerima
semua berita yang ia sampaikan. Bahkan dalam
peristiwa Isra Mi’raj ia menunjukkan puncak
kepercayaannya kepada Muhammad. Maka ia digelari
Al-Shiddiq.
Jika kebenaran bisa menampakkan diri dalam banyak
wajah, maka jalan menuju kebenaran dapat
ditempuh dari pintu hati dan akal. Dari pintu hati
ada cinta. Dari pintu akal ada logika. Cinta
mengantar Abu Bakar kepada iman. Logika
mengantar Umar kepada hidayah. Logika membuat
Umar mencintai teks. Cinta memudahkan Abu Bakar
memahami logika teks. Cinta membuka mata hati.
Logika membuka mata akal. Logika menuntun cinta.
Cinta mengayomi logika.
Jika kita datang kepada teks dari pintu-pintu itu,
hampir dapat dipastikan bahwa kita akan bertemu
dengan kebenaran dalam banyak ragam wajahnya.
Sebab teks ini berbicara kepada manusia dengan
menggunakan seluruh instrumen pembelajaran yang
ada dalam diri manusia. Sekali waktu ia menyentuh
akalnya. Lain waktu ia menggugah hatinya. Tapi
ketika ia bercerita tentang panorama kehidupan
beragam manusia di masa silam, lalu mengajak
mereka membayangkan hari-hari yang akan datang,
teks ini serta merta menggoda imajinasi kita. Maka
kita mengembara dalam ruang waktu yang begitu
luas, menyusun sebuah sketsa kehidupan baru, atau
menemukan keyakinan-keyakinan baru. Pemahaman
baru itu mencerahkan akal. Keyakinan baru itu
menenangkan hati.
Di masa kecilnya Sayyid Quthub sering
mendengarkan beberapa qori membaca Al-Qur’an di
rumahnya. Lantunan suara sang qori menghadirkan
teks dalam bunyi yang indah. Akalnya terhentak.
Hatinya tergugah. Imajinasinya tergoda. Kelak
pergumulan yang lama dengan teks itu ia narasikan
kembali sebagai sebuah pengalaman batin tentang
bagaimana ia hidup di bawah naungan Qur’an. “Itu
karunia. Dan takkan ada yang tahu karunia itu kecuali
mereka yang pernah merasakannya,” katanya. [ Anis
Matta, sumber : Serial Pembelajaran Majalah
Tarbawi edisi 238]

Tidak ada komentar:

Posting Komentar