Senin, 13 Agustus 2012

Tarawih bukan pada bilangan rakaat

Tarawih merupakan shalat malam (qiyamul
lail) di bulan Ramadhan. Tarawih berasal
dari kata raahah yang berarti bersantai setelah empat
rakaat.
Artinya shalat ini dapat dikerjakan tidak sekaligus dalam satu
rangkaian, namun dapat disela-sela dengan kegiatan lain di
luar shalat setelah menyelesaikan empat rakaat, empat
rakaat.
Rasulullah SAW tercatat tiga kali melakukan shalat tarawih di
masjid yang diikuti oleh para sahabat pada waktu lewat
tengah malam. Khawatir shalat tarawih diwajibkan karena
makin banyaknya sahabat yang turut berjamaah, pada
malam ketiga Rasulullah SAW lalu menarik diri dari shalat
tarawih berjamaah dan melakukannya sendiri di rumah.
Pada saat selesai shalat Subuh beberapa hari kemudian
beliau menyampaikan konfirmasi, “Sesungguhnya aku tidak
khawatir atas yang kalian lakukan pada malam-malam lalu,
aku hanya takut jika kegiatan itu (tarawih) diwajibkan yang
menyebabkan kalian tidak mampu melakukannya.” (HR.
Bukhari).
Pada masa kekhalifahannya, Umar bin Khathab
memerintahkan shalat tarawih berjamaah dengan imam
Ubay bin Ka’ab sebanyak dua puluh tiga rakaat dan bacaan
sekitar 200 ayat, setelah sekian lama para sahabat shalat
sendiri-sendiri.
Kegiatan tersebut didasari oleh kemaslahatan bersama akan
persatuan dan kesatuan kaum Muslim. Menyaksikan
indahnya tarawih berjamaah lewat tengah malam, Umar bin
Khathab berkata, "Ini adalah bid'ah yang paling nikmat."
Pada masa khalifah Umar bin Abdul Aziz, kegiatan shalat
tarawih ditambah hingga 33 rakaat dengan alasan
perbedaan kualitas ibadah kita dengan Rasulullah SAW.
Namun, jumlah rakaat tarawih yang terakhir ini hanya
masyhur pada zaman itu dan tidak popular hingga zaman
kita saat ini.
Perbedaan jumlah rakaat tarawih disebabkan oleh tidak
adanya batasan jumlah rakaat saat Rasulullah SAW
melakukannya dalam tiga malam itu. Imam As-Syuyuthi
menukil pernyataan Imam Al Taj As-Subhi berkata, “Tidak
adanya batasan rakaat karena tarawih adalah shalat sunah.
Yang mau sedikit (rakaatnya) silakan, yang mau banyak juga
dipersilahkan.”
Di banyak negara, kita menjumpai kaum Muslimin
melaksanakan shalat tarawih dengan delapan atau dua
puluh rakaat. Di banyak masjid Maroko, shalat tarawih dua
puluh rakaat dipecah menjadi dua bagian, yaitu setelah
shalat Isya dengan delapan rakaat dan satu jam sebelum
Subuh dengan dua belas rakaat plus tiga witir.
Di Indonesia, sekitar dua puluh tahun lalu, rakaat tarawih
dapat dipakai untuk mengidentifikasi seseorang apakah dia
NU atau Muhammadiyah. Jika shalat tarawihnya dua puluh
rakaat, kita akan menyatakan bahwa dia NU. Sebaliknya jika
delapan rakaat, dengan mudah kita akan mengatakan dia
Muhammadiyah.
Namun saat ini, sejalan dengan pendalaman keagamaan
masyarakat dan kemudahan mendapatkan akses informasi
keagamaan, ukuran tersebut tidak lagi dapat dipakai untuk
menentukan ke-NU-an maupun ke-Muhammadiyah-an.
Pasalnya, sudah banyak orang NU yang berpikir simpel,
praktis dan ekonomis sehingga memilih delapan rakaat
tarawih plus witir. Sebaliknya, banyak orang
Muhammadiyah yang melebihi pemikiran ke-
Muammadiyah-annya yang tidak hanya mencukupkan diri
dengan delapan rakaat, melainkan dua puluh rakaat.
Tarawih adalah shalat sunah yang dapat dilakukan dengan
banyak rakaat dan banyak jeda istirahat. Jangankan dipecah
menjadi dua kali, lebih dari dua pun tidak masalah asalkan
menambah persaudaraan, kebersamaan, kerukunan dan
persatuan umat. Maka sesungguhnya tidak ada ruang bagi
kita untuk mempersoalkan rakaat shalat tarawih karena ia
shalat sunah, apalagi jika dilakukan dengan visi membangun
persatuan umat.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar