Minggu, 15 Juli 2012

5yg berhalangan puasa

Saudara-saudaraku yang dirahmati Allah,
Islam adalah agama yang sesuai dengan fitrah
manusia. Islam sangat memahami bagaimana kondisi
manusia karena ia adalah Din yang dipilihkan oleh
Allah, sang Pencipta manusia kepada manusia.
َﻡْﻮَﻴْﻟﺍ ُﺖْﻠَﻤْﻛَﺃ ْﻢُﻜَﻟ ْﻢُﻜَﻨﻳِﺩ ُﺖْﻤَﻤْﺗَﺃَﻭ ْﻢُﻜْﻴَﻠَﻋ
ﻲِﺘَﻤْﻌِﻧ ُﺖﻴِﺿَﺭَﻭ ُﻢُﻜَﻟ َﻡﺎَﻠْﺳِﺈْﻟﺍ ﺎًﻨﻳِﺩ
Pada hari ini telah Kusempurnakan untuk kamu
agamamu, dan telah Ku-cukupkan kepadamu nikmat-
Ku, dan telah Ku-ridhai Islam itu jadi agama bagimu.
(QS. Al-Maidah : 3)
Allah SWT yang telah menciptakan manusia adalah
Dzat yang Maha Tahu tentang manusia. Dia Maha
Mengetahui bahwa antara manusia yang satu dan
manusia yang lain berbeda. Tidak semua manusia
memiliki kekuatan fisik yang prima. Karenanya, tidak
semua manusia dikenakan beban dan tanggungjawab
yang sama.
ﺎَﻟ ُﻒِّﻠَﻜُﻳ ُﻪَّﻠﻟﺍ ﺎًﺴْﻔَﻧ ﺎَّﻟِﺇ ﺎَﻬَﻌْﺳُﻭ
Allah tidak membebani seseorang melainkan sesuai
dengan kesanggupannya. (QS. Al-Baqarah : 286)
Demikian pula yang berlaku pada puasa. Meskipun
hukum asalnya wajib, tetapi ada orang-orang
tertentu yang boleh tidak berpuasa. Allah SWT Maha
Tahu tentang kondisi mereka sehingga tidak
mewajibkan mereka untuk tetap berpuasa, melainkan
diberi keringanan untuk berbuka. Bahkan ada juga
yang wajib berbuka, tidak boleh meneruskan
puasanya, tentu dengan konsekuensi yang sudah
ditetapkan oleh syariat.
1. Uzur yang mewajibkan berbuka dan meng-
qadha puasa, yaitu haid dan nifas.
Jika seorang muslimah yang sedang berpuasa
kedatangan haid atau melahirkan sehingga
mengalami nifas, maka ia wajib berbuka/
membatalkan puasanya. Sebagai gantinya, ia wajib
mengqadha' di hari lainnya di luar Ramadhan.
Aisyah pernah ditanya tentang wanita yang haid,
maka ia menjawab:
ُﺮَﻣْﺆُﻨَﻓ ِﺀﺎَﻀَﻘِﺑ ِﻡْﻮَّﺼﻟﺍ َﻻَﻭ ُﺮَﻣْﺆُﻧ ِﺀﺎَﻀَﻘِﺑ ِﺓَﻼَّﺼﻟﺍ
Kami diperintahkan untuk meng-qadha (mengganti)
puasa dan tidak diperintahkan untuk meng-qadha
(mengganti) shalat (HR. Bukhari dan Muslim)
2. Uzur yang membolehkan berbuka dan
mewajibkan meng-qadha, yaitu sakit dan safar.
Bagi orang yang sakit, dan ada harapan sembuh,
yang sekiranya jika ia berpuasa sakitnya makin parah
atau atas rekomendasi dokter ia perlu berbuka, boleh
baginya untuk tidak berpuasa dan wajib atasnya
untuk mengganti puasa Ramadhan yang
ditinggalkannya itu.
َﻥﺎَﻛ ْﻦَﻤَﻓ ْﻢُﻜْﻨِﻣ ﺎًﻀﻳِﺮَﻣ ْﻭَﺃ ٍﺮَﻔَﺳ ﻰَﻠَﻋ ٌﺓَّﺪِﻌَﻓ
ْﻦِﻣ ٍﻡﺎَّﻳَﺃ َﺮَﺧُﺃ
Maka barangsiapa diantara kamu ada yang sakit atau
dalam perjalanan (lalu ia berbuka), maka (wajiblah
baginya berpuasa) sebanyak hari yang ditinggalkan
itu pada hari-hari yang lain. (QS. Al-Baqarah : 184)
Demikian juga musafir yang melakukan safar atau
perjalanan, boleh baginya –sebagaimana ayat
tersebut- untuk berbuka dan mengganti puasanya di
hari lain. Diantara hadits yang menjadi dalil
pendukung atas bolehnya berbuka bagi orang yang
safar adalah hadits dari Abu Said al-Khudri yang
menuturkan :
ﺎَﻧْﺮَﻓﺎَﺳ َﻊَﻣ ِﻝﻮُﺳَﺭ ﻰﻠﺻ- ِﻪَّﻠﻟﺍ ﻪﻠﻟﺍ ﻪﻴﻠﻋ
ﻰَﻟِﺇ -ﻢﻠﺳﻭ ُﻦْﺤَﻧَﻭ َﺔَّﻜَﻣ َﻝﺎَﻗ ٌﻡﺎَﻴِﺻ ﺎَﻨْﻟَﺰَﻨَﻓ
ًﻻِﺰْﻨَﻣ َﻝﺎَﻘَﻓ ُﻝﻮُﺳَﺭ ِﻪَّﻠﻟﺍ ﻰﻠﺻ- ﻪﻠﻟﺍ ﻪﻴﻠﻋ
-ﻢﻠﺳﻭ » ْﻢُﻜَّﻧِﺇ ْﺪَﻗ ْﻢُﺗْﻮَﻧَﺩ ْﻦِﻣ ْﻢُﻛِّﻭُﺪَﻋ
ﻯَﻮْﻗَﺃ ُﺮْﻄِﻔْﻟﺍَﻭ ْﻢُﻜَﻟ .« ْﺖَﻧﺎَﻜَﻓ ًﺔَﺼْﺧُﺭ ﺎَّﻨِﻤَﻓ ْﻦَﻣ
َﻡﺎَﺻ ﺎَّﻨِﻣَﻭ ْﻦَﻣ َّﻢُﺛ َﺮَﻄْﻓَﺃ ﺎَﻨْﻟَﺰَﻧ ًﻻِﺰْﻨَﻣ َﺮَﺧﺁ َﻝﺎَﻘَﻓ
» ْﻢُﻜَّﻧِﺇ ﻮُﺤِّﺒَﺼُﻣ ْﻢُﻛِّﻭُﺪَﻋ ُﺮْﻄِﻔْﻟﺍَﻭ ﻯَﻮْﻗَﺃ ْﻢُﻜَﻟ
ﺍﻭُﺮِﻄْﻓَﺄَﻓ .« ْﺖَﻧﺎَﻛَﻭ ﺎَﻧْﺮَﻄْﻓَﺄَﻓ ًﺔَﻣْﺰَﻋ َّﻢُﺛ َﻝﺎَﻗ
ْﺪَﻘَﻟ ﺎَﻨُﺘْﻳَﺃَﺭ ُﻡﻮُﺼَﻧ َﻊَﻣ ِﻝﻮُﺳَﺭ ﻰﻠﺻ- ِﻪَّﻠﻟﺍ ﻪﻠﻟﺍ
ﻪﻴﻠﻋ -ﻢﻠﺳﻭ َﺪْﻌَﺑ َﻚِﻟَﺫ ﻰِﻓ ِﺮَﻔَّﺴﻟﺍ .
Kami bepergian bersama Rasulullah SAW ke Makkah,
sedangkan waktu itu kami berpuasa.kami berhenti di
suatu tempat, maka sabda Rasulullah SAW:
"Sekarang engkau telah dekat musuhmu, dan
berbuka lebih menguatkan dirimu." Maka hal itu
merupakan keringanan, dan diantara kami ada yang
berpuasa dan ada pula yang tidak. Kemudian kami
berhenti di suatu tempat yang lain, maka Nabi SAW
bersabda, "esok pagi, engkau akan menyergap
musuhmu, dan berbuka lebih menguatkanmu, dari
itu berbukalah kamu." Maka hal itu merupakan
keharusan, hingga kami pun berbuka. Lalu di
belakang itu, engkau lihat kami berpuasa lagi
bersama Rasulullah SAW dalam perjalanan. (HR.
Muslim, Ahmad, dan Abu Dawud)
3. Uzur yang membolehkan berbuka dan
mewajibkan fidyah, yaitu usia tua atau sakit yang
tidak ada harapan sembuh
Orang yang telah lanjut usia, yang susah untuk
berpuasa serta orang yang sakit dan tidak ada
harapan sembuh, maka bagi mereka itu adalah uzur
yang membolehkannya untuk tidak puasa Ramadhan.
Sebagai konsekuensinya, mereka diwajibkan
membayar fidyah.
ﻰَﻠَﻋَﻭ ُﻪَﻧﻮُﻘﻴِﻄُﻳ َﻦﻳِﺬَّﻟﺍ ٌﺔَﻳْﺪِﻓ ُﻡﺎَﻌَﻃ ٍﻦﻴِﻜْﺴِﻣ
Dan wajib bagi orang-orang yang berat
menjalankannya (jika mereka tidak berpuasa)
membayar fidyah, (yaitu): memberi makan seorang
miskin. (QS. Al-Baqarah : 184)
Dalam menafsirkan ayat ini, Ibnu Abbas berkata
dalam hadits yang diriwayatkan Abu Dawud dari
Ikrimah:
ِﻦَﻋ ِﻦْﺑﺍ ٍﺱﺎَّﺒَﻋ ﻰَﻠَﻋَﻭ) ُﻪَﻧﻮُﻘﻴِﻄُﻳ َﻦﻳِﺬَّﻟﺍ ٌﺔَﻳْﺪِﻓ
ُﻡﺎَﻌَﻃ َﻝﺎَﻗ (ٍﻦﻴِﻜْﺴِﻣ ْﺖَﻧﺎَﻛ ِﺦْﻴَّﺸﻠِﻟ ًﺔَﺼْﺧُﺭ
ِﺮﻴِﺒَﻜْﻟﺍ ِﺓَﺃْﺮَﻤْﻟﺍَﻭ ِﺓَﺮﻴِﺒَﻜْﻟﺍ ﺎَﻤُﻫَﻭ ِﻥﺎَﻘﻴِﻄُﻳ َﻡﺎَﻴِّﺼﻟﺍ
ْﻥَﺃ ﺍَﺮِﻄْﻔُﻳ ﺎَﻤِﻌْﻄُﻳَﻭ ِّﻞُﻛ َﻥﺎَﻜَﻣ ٍﻡْﻮَﻳ ﺎًﻨﻴِﻜْﺴِﻣ
ﻰَﻠْﺒُﺤْﻟﺍَﻭ ُﻊِﺿْﺮُﻤْﻟﺍَﻭ ﺎَﺘَﻓﺎَﺧ ﺍَﺫِﺇ َﻝﺎَﻗ - ﻮُﺑَﺃ َﺩُﻭﺍَﺩ
ﻰَﻠَﻋ ﻰِﻨْﻌَﻳ ﺎَﻤِﻫِﺩَﻻْﻭَﺃ - ﺎَﺗَﺮَﻄْﻓَﺃ ﺎَﺘَﻤَﻌْﻃَﺃَﻭ .
Bahwa Ibnu Abbas berkata mengenai firman Allah :
"Dan wajib bagi orang-orang yang berat
menjalankannya (jika mereka tidak berpuasa)
membayar fidyah, (yaitu): memberi makan seorang
miskin" merupakan keringanan bagi orang tua yang
telah lanjut usia, baik laki-laki maupun wanita yang
telah payah untuk berpuasa, agar mereka berbuka,
dan memberi makan untuk setiap hari itu seorang
fakir miskin. Begitu pun wanita hamil dan menyusui
anak, jika mereka khawatir akan keselamatan anak-
anak mereka, mereka boleh berbuka dan memberi
makan. (HR. Abu Dawud)
4. Uzur yang diperselisihkan para ulama, yaitu
hamil dan menyusui
Mereka yang diperselisihkan oleh para ulama' apakah
konsekuensi berbuka puasanya dengan meng-qadha
atau membayar fidyah adalah ibu hamil dan
menyusui. Menurut golongan Hanafi, Abu Ubaid dan
Abu Tsaur, mereka hanya diwajibkan mengqadha dan
tidak membayar fidyah. Sedangkan menurut
pendapat Ahmad dan Syafi'i, jika mereka berbuka
karena kekhawatiran terhadap keselamatan anak saja,
maka mereka wajib mengqadha' dan membayar
fidyah. Tetapi bila yang dikhawatirkan adalah
keselamatan mereka sendiri, atau keselamatan diri
serta keselamatan anak mereka, maka mereka hanya
wajib mengqadha. Sedangkan menurut Ibnu Abbas –
sebagaimana hadits di atas- mereka wajib membayar
fidyah jika khawatir akan keselamatan anaknya.
Begitupun pendapat Ibnu Umar, sama seperti
pendapat Ibnu Abbas di atas.
Wallaahu a’lam bish shawab

Tidak ada komentar:

Posting Komentar