Kamis, 26 Juli 2012

Mampir ke Taman surga

Dalam satu perjalanan, Nabi SAW
mengingatkan para sahabat agar berhenti
atau mampir apabila melewati taman surga (riyadh al-
jannah). Mereka bertanya, “Apakah taman surga itu?” Jawab
Nabi, “ Majalis al-Dzikr” (majelis-majelis zikir). (HR Tirmidzi
dan Ahmad dari Anas ibn Malik).
Majelis zikir itu, dalam riwayat lain, disebut majelis ilmu.
Riwayat lainnya menyebut masjid. Masjid atau majelis zikir
disebut taman surga dalam kisah di atas, dapat dipahami
dalam beberapa makna.
Pertama, bagi kaum beriman, masjid tak ubahnya taman,
yaitu tempat yang indah dan nyaman. Kita harus rajin ke
masjid agar kita memperoleh kesegaran dan kebugaran,
tidak saja fisik, tetapi terutama mental dan spiritual.
Kedua, Nabi SAW wanti-wanti agar dalam melakukan
perjalanan (al-safar), kaum beriman tidak lupa berhenti dan
mampir di masjid, untuk shalat dan zikir kepada Allah. Pada
masa kita sekarang, peringatan Nabi ini sungguh penting,
karena banyak orang dalam perjalanan hanya berhenti di
rest area untuk makan dan minum. Sebagian besar mereka
lupa untuk berhenti di taman surga atau masjid.
Ketiga, orang yang rajin ke masjid dan berzikir,
sesungguhnya ia sedang membangun rumah dan tamannya
sendiri yang indah di surga. Maka, kaum beriman diseru
agar banyak berzikir. “Hai orang-orang yang beriman,
berzikirlah (dengan menyebut nama) Allah, zikir yang
sebanyak-banyaknya." (QS. Al-Ahzab: 41).
Zikir itu bermakna mengingat Allah atau menyadari
kehadiran-Nya. Orang menyadari kehadiran Allah akan
terbebas dari penyakit kehampaan spiritual yang
membuatnya terjaga dan terpelihara dari dosa dan maksiat.
Di sinilah makna paling penting dari zikir, sampai-sampai
Imam Al-Qusyairi dalam Risalat Al-Qusyairiyah
menyebutnya sebagai jalan paling prinsip menuju Tuhan.
Bahkan, bagi Qusyairi, tak bisa dibayangkan seseorang bisa
sampai (ma`rifah) kepada Allah tanpa zikir secara terus-
menerus (wa la yashil ahadun ila Allah illa bi dawam al-
dzikr).
Zikir sebagai proses mempertinggi kesadaran tentang
kehadiran Allah, bisa dilakukan secara lisan (al-dzikr bi al-
Lisan) dan secara rohani atau spiritual (al-dzikr bi al-Qalb).
Para sufi, termasuk Qusyairi, memahami zikir secara lisan
hanya sebagai alat untuk menggugah agar mampu berzikir
lahir dan batin sepanjang waktu.
Kemampuan zikir lahir dan batin tanpa putus ini (istidamat
al-dzikr) disebut oleh Nabi SAW sebagai perbuatan paling
utama, yaitu tatkala seorang hamba terus berzikir sampai
mengembuskan napasnya yang terakhir, sedangkan lidahnya
basah (komat-kamit) karena zikir dan mengingat Allah. (HR
Thabrani dari Mu`adz ibn Jabal).
Kesadaran spiritual (zikir) itu, menurut Ghazali, berpusat di
hati (kalbu). Bagi Ghazali, hati menjadi alat untuk mengenal
Allah (al-`alim bi Allah), yang mendekatkan diri (al-
mutaqarrib), yang bekerja (al-`amil), yang berjalan (al-sa`i),
dan yang menyaksikan rahasia kebesaran Allah melalui
terbukanya tirai kegaiban (al-mukasyif bi-ma `inda Allah

Tidak ada komentar:

Posting Komentar