Senin, 09 Juli 2012

Mengapresiasi arah kiblat. . isra mi'raj

Tafsir peristiwa Isra Mi’raj hingga kini masih
menyisakan banyak warna. Pada zamannya, di mata orang-
orang yang tak beriman, peristiwa ini dipandang aneh,
bahkan mustahil. Karena tak masuk akal, mereka menuduh
Muhammad telah berdusta. Sulit dipercaya memang.
Rasulullah melakukan perjalanan antara Masjidil Haram di
Makkah dan Masjidil Aqsha di Palestina hanya dalam sekejap
waktu. Ketika kembali ke rumahnya, menurut banyak
riwayat, tempat tidurnya masih terasa hangat.
Lalu mengapa harus berangkat dulu ke Masjidil Aqsha
sebelum mi’raj (naik) ke Sidratul Muntaha? Bukankah dari
Masjidil Haram pun Nabi Muhammad bisa saja naik menuju
Sidratul Muntaha? Apalagi, menurut pendekatan
kebahasaan, Nabi Muhammad tidak berangkat, tapi
diberangkatkan. Karena itu Allah dan para Malaikat
sesungguhnya dapat memi’rajkan Rasulullah dari manapun.
Tapi begitulah Allah menyisipkan hikmah lain dalam sebuah
peristiwa.
Isyarat sejarah ini tidak mudah dipahami. Tapi di antara
fakta yang relatif mudah dibaca adalah bahwa Masjidil
Aqsha saat itu masih merupakan kiblat. Nabi beserta para
sahabatnya melaksanakan shalat dengan menghadap ke
Masjidil Aqsha di Palestina.
Bahkan karena proses ritual ini pula, orang-orang kafir
Makkah memperolok-olokan Nabi. “Jika masih menghadap
ke Palestina, mengapa harus membawa-bawa agama baru,
wahai Muhammad; kembalilah ke agama nenek moyang
kami,” ujar mereka mengejek.
Nabi pun berdoa agar kiblat itu dipindahkan ke Masjidil
Haram di Makkah. Berkali-kali Rasul berdoa. Tapi Allah
belum mengabulkannya juga. Begitu kuatnya keinginan Nabi
menjadikan Ka’bah sebagai kiblat, ketika masih di Makkah,
sering dalam shalatnya Nabi memilih tempat di posisi arah
yang dapat menghadap ke Masjidil Aqsha tapi juga sekaligus
menghadap ke Ka’bah. Ketika hijrah ke Madinah, kiblat itu
masih juga belum berpindah ke Makkah. Di Madinah, Nabi
bersama para sahabatnya masih menghadap ke Palestina
dalam shalatnya.
Sampai suatu ketika, seperti dikisahkan dalam sejumlah
riwayat, pada saat Nabi tengah melaksanakan shalat Zhuhur
berjamaah, tiba-tiba Nabi berbalik arah, memutar posisi
shalat menghadap arah berlawanan. Seusai shalat, para
sahabat bertanya. Lalu Nabi menjelaskan, bahwa telah
diterima wahyu (QS, 2: 144) yang memerintahkan untuk
mengubah arah kiblat dari Masjidil Aqsha di Palestina ke
Ka’bah di Masjidil Haram di Makkah. Allah mengabulkan
permohonan Rasulullah.
Hingga saat ini, dikenal dan berdiri megah Masjid Qiblatain
(masjid dua kiblat) di Madinah sebagai saksi sejarah
diturunkannya perintah itu. Sejak saat itu, seperti juga kita
lakukan saat ini, setiap kali shalat, kita menghadap kiblat,
Ka’bah al-Mukarramah yang terletak di Masjidil Haram di
Makkah.
Jadi, seperti dilakukan jutaan orang saat ini, mengunjungi
Ka’bah di kota Makkah, salah satunya, merupakan upaya
memelihara tradisi seperti pernah dilakukan Rasulullah.
Tradisi mengunjungi kiblat telah dimulai sejak zaman Nabi
Muhammad, ketika kiblat masih terpusat ke Masjidil Aqsha
di Palestina. Jika dalam perjalanan (isra) menjelang naik
(mi’raj) Nabi sempat berkunjung ke kiblat (Masjidil Aqsha),
maka kita saat ini dianjurkan berkunjung ke kiblat (Ka’bah) di
Kota Makkah sebelum mengunjungi kota-kota lainnya di
dunia.
“Jika kalian berkesempatan, berkunjunglah ke tiga masjid:
Masjidku di Madinah, Masjidil Haram di Makkah, dan Masjidil
Aqsha di Palestina,” demikian sabda Rasul SAW.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar