Senin, 09 Juli 2012

memaknai isra mijraj

“Maha Suci Allah, yang telah
memperjalankan hamba-Nya pada suatu
malam dari Masjidil Haram ke Masjidil
Aqsha yang telah Kami berkahi sekelilingnya agar Kami
perlihatkan kepadanya sebagian dari tanda-tanda
(kebesaran) Kami. Sesungguhnya Dia adalah Maha
Mendengar lagi Maha Melihat.” (QS al-Isra’ [17]: 1).
Mahasuci Allah adalah sebuah kalimat tauhid. Allah
Mahasuci dari sifat-sifat yang tidak layak bagi-Nya. Suci dari
meninggalkan hamba yang dikasihi-Nya berada dalam
kesedihan dan kesendirian ketika ditinggal oleh orang-orang
yang dicintai dan menopang dakwahnya. Suci dari tidak
kuasa mengadakan kejadian luar biasa, yang orang-orang
berakal pun tidak bisa menerimanya.
Peristiwa Isra dan Mi’raj yang berlangsung lailan (pada
sepotong, bukan sepanjang malam) adalah salah satu hal
yang luar biasa. Luar biasa, sehingga kita pun perlu
mengucapkan subhanallah seperti ayat di atas agar tidak
terlena dengan keluar-biasaannya (kemahabesaran) dan
kekuasaan Allah SWT.
Mengalami peristiwa ini adalah suatu kemuliaan yang besar.
Dan, kemuliaan hanya diberikan kepada orang yang mulia.
Beliaulah Rasulullah SAW. Karena itu, saat yang paling mulia
bagi Rasulullah SAW adalah ketika sedang menjalani Isra dan
Mi’raj.
Bukan ketika beliau berhijrah ke Madinah atau saat beliau
menaklukkan Kota Mekkah. Karena, saat Isra dan Mi’raj,
sekali-kalinya Allah SWT berfirman kepada beliau tanpa
perantara Malaikat Jibril RA.
Namun, yang membuat kita bertanya-tanya, mengapa ketika
berada dalam kondisi yang paling mulia ini, beliau disebut
dengan hamba-Nya? Seperti tertulis nyata dalam surah al-
Isra [17]: 1. Mengapa beliau tidak disebut dengan rasul-Nya,
nabi-Nya, kekasih-Nya, atau Muhammad saja?
Kesimpulan para ulama, ayat ini menunjukkan bahwa
kondisi paling mulia yang dicapai manusia adalah ketika dia
bisa merealisasikan dirinya sebagai hamba Allah SWT. Saat
itulah Allah SWT rida kepadanya.
Lalu, bagaimana seseorang bisa menjadi hamba Allah SWT
yang sebenarnya? Menjadi hamba Allah SWT adalah
meyakini bahwa Allah adalah penciptanya yang berkuasa
atas segala sesuatu. Sedangkan dia adalah hamba yang
lemah, tiada daya dan upaya, menerima segala keputusan
Allah SWT dengan penuh kerelaan.
Ketika memperjalankan hamba-Nya dengan peristiwa Isra,
Allah SWT membuka kesempatan yang sama kepada
seluruh manusia untuk bisa mencapai derajat kemuliaan.
Karena, seluruh manusia sama-sama bisa menjadi hamba
Allah SWT.
Berbeda seandainya yang diperjalankan adalah seorang
nabi, tidak semua orang bisa menjadi nabi; atau seorang
kaya, tidak semua orang bisa menjadi orang kaya; atau
ulama, tidak semua orang bisa menjadi ulama; atau
keturunan nabi, tidak semua orang lahir sebagai keturunan
nabi.
Demikianlah karakteristik Islam, yang tidak menjadikan
kemuliaan monopoli bagi golongan tertentu. Tidak ada
alasan bagi seseorang untuk membanggakan nasabnya,
karena Allah SWT tidak menilainya berdasar nasab.
Tidak ada alasan bagi seseorang untuk membanggakan ilmu
dan hartanya, karena ilmu dan harta adalah tanggung jawab
yang harus ditunaikan. Hendaknya bersyukur ketika semua
itu membuatnya menjadi hamba Allah SWT yang
sebenarnya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar