Minggu, 15 Juli 2012

Masyarakat Madani

Untuk memahami akar pengertian masyarakat madani ada
baiknya, kita tengok secara sepintas beberapa paradigma
besar yang menjadi dasar perdebatan mengenai masyarakat
madani.
Masyarakat madani merupakan konsep yang berwayuh
wajah: memiliki banyak arti atau sering diartikan dengan
makna yang beda-beda. Bila merujuk kepada Bahasa
Inggris, ia berasal dari kata civil society atau masyarakat sipil,
sebuah kontraposisi dari masyarakat militer. Menurut
Blakeley dan Suggate (1997), masyarakat madani sering
digunakan untuk menjelaskan “the sphere of voluntary
activity which takes place outside of government and the
market.” Merujuk pada Bahmueller (1997), ada beberapa
karakteristik masyarakat madani, diantaranya:
1. Terintegrasinya individu-individu dan kelompok-
kelompok ekslusif kedalam masyarakat melalui
kontrak sosial dan aliansi sosial.
2. Menyebarnya kekuasaan sehingga kepentingan-
kepentingan yang mendominasi dalam masyarakat
dapat dikurangi oleh kekuatan-kekuatan alternatif.
3. Dilengkapinya program-program pembangunan yang
didominasi oleh negara dengan program-program
pembangunan yang berbasis masyarakat.
4. Terjembataninya kepentingan-kepentingan individu
dan negara karena keanggotaan organisasi-organisasi
volunter mampu memberikan masukan-masukan
terhadap keputusan-keputusan pemerintah.
5. Tumbuhkembangnya kreatifitas yang pada mulanya
terhambat oleh rejim-rejim totaliter.
6. Meluasnya kesetiaan (loyalty) dan kepercayaan (trust)
sehingga individu-individu mengakui keterkaitannya
dengan orang lain dan tidak mementingkan diri
sendiri.
7. Adanya pembebasan masyarakat melalui kegiatan
lembaga-lembaga sosial dengan berbagai ragam
perspektif.
Dari beberapa ciri tersebut, kiranya dapat dikatakan bahwa
masyarakat madani adalah sebuah masyarakat demokratis
dimana para anggotanya menyadari akan hak-hak dan
kewajibannya dalam menyuarakan pendapat dan
mewujudkan kepentingan-kepentingannya; dimana
pemerintahannya memberikan peluang yang seluas-luasnya
bagi kreatifitas warga negara untuk mewujudkan program-
program pembangunan di wilayahnya. Namun demikian,
masyarakat madani bukanlah masyarakat yang sekali jadi,
yang hampa udara, taken for granted. Masyarakat madani
adalah konsep yang cair yang dibentuk dari poses sejarah
yang panjang dan perjuangan yang terus menerus. Bila kita
kaji, masyarakat di negara-negara maju yang sudah dapat
dikatakan sebagai masyarakat madani, maka ada beberapa
prasyarat yang harus dipenuhi untuk menjadi masyarakat
madani, yakni adanya democratic governance
(pemerintahan demokratis yang dipilih dan berkuasa secara
demokratis dan democratic civilian (masyarakat sipil yang
sanggup menjunjung nilai-nilai civil security; civil
responsibility dan civil resilience). Apabila diurai, dua kriteria
tersebut menjadi tujuh prasyarat masyarakat madani
sebagai berikut:
1. Terpenuhinya kebutuhan dasar individu, keluarga, dan
kelompok dalam masyarakat.
2. Berkembangnya modal manusia (human capital) dan
modal sosial (social capital) yang kondusif bagi
terbentuknya kemampuan melaksanakan tugas-tugas
kehidupan dan terjalinnya kepercayaan dan relasi
sosial antar kelompok.
3. Tidak adanya diskriminasi dalam berbagai bidang
pembangunan; dengan kata lain terbukanya akses
terhadap berbagai pelayanan sosial.
4. Adanya hak, kemampuan dan kesempatan bagi
masyarakat dan lembaga-lembaga swadayauntuk
terlibat dalam berbagai forum dimana isu-isu
kepentingan bersama dan kebijakan publik dapat
dikembangkan.
5. Adanya kohesifitas antar kelompok dalam masyarakat
serta tumbuhnya sikap saling menghargai perbedaan
antar budaya dan kepercayaan.
6. Terselenggaranya sistem pemerintahan yang
memungkinkan lembaga-lembaga ekonomi, hukum,
dan sosial berjalan secara produktif dan berkeadilan
sosial.
7. Adanya jaminan, kepastian dan kepercayaan antara
jaringan-jaringan kemasyarakatan yang
memungkinkan terjalinnya hubungan dan komunikasi
antar mereka secara teratur, terbuka dan terpercaya.
Tanpa prasyarat tesebut maka masyarakat madani hanya
akan berhenti pada jargon. Masyarakat madani akan
terjerumus pada masyarakat “sipilisme” yang sempit yang
tidak ubahnya dengan faham militerisme yang anti
demokrasi dan sering melanggar hak azasi manusia.
Sejak digulirkannya istilah masyarakat madani pada tahun
1995 oleh Datuk Anwar Ibrahim, yang kemudian diikuti oleh
Nurcholis Madjid (Mahasin, 1995: ix), sejak itu pula upaya
untuk mewujudkan masyarakat madani telah “menggoda”
dan memotivasi para pakar pendidikan untuk menata dan
mencari masukan guna mewujudkan masyarakat madani
yang dimaksud. Namun, pihak-pihak yang skeptis
meragukan keberhasilan bangsa Indonesia mewujudkan
masyarakat madani. Dalam hal ini, masyarakat madani
adalah sebuah impian ( dream) suatu komunitas tertentu.
Oleh karena itu, banyak pihak meragukan upaya bangsa
Indonesia dalam mewujudkan masyarakat madani yang
diharapkannya, karena formatnya pun belum jelas. Banyak
pihak memberikan dugaan bahwa Indonesia masih akan
jauh dari pembentukan masyarakat madani karena
demokratisasi pendidikan belum berjalan lancar, sistem
pendidikannya masih menerapkan faham kekuasaan, masih
terlalu berbau feodal, dan belum memperhatikan aspirasi
kemajemukan peserta didik secara memadai. Jika reformasi
dan inovasi pendidikan memang mendesak untuk dilakukan
dan agar kita memiliki andil dalam membentuk dan
menghadapi masyarakat madani, maka permasalahannya
antara lain adalah, “sampai sejauh mana pemahaman kita
tentang makna masyarakat madani (ontologinya)?, nilai-nilai
manfaat apa yang diperoleh dengan terbentuknya
masyarakat madani (aksiologinya)?, dan bagaimana
pemecahan masalahnya atau bagaimana cara melaksanakan
demokratisasi pendidikan untuk mewujudkan masyarakat
madani (epistemologinya)?, bagaimanakah arah reformasi
dan inovasi pendidikan harus dilakukan?, bagaimanakah agar
demokratisasi pendidikan itu berjalan mulus tanpa
hambatan dan penyimpangan?, bagaimana kekuasaan dan
kepentingan pribadi atau golongan tidak menggoda untuk
menunda demokratisasi pendidikan?. Mengingat banyaknya
masalah yang dihadapi dalam mewujudkan masyarakat
madani, maka pada kesempatan ini pembahasan dibatasi
pada apakah makna masyarakat madani itu, apakah
manfaat mewujudkan masyarakat madani itu?, dan
bagaimana cara mewujudkan masyarakat madani melalui
pendidikan demokratisasi pendidikan?
Definisi dari istilah civil society adalah sebagai seperangkat
gagasan etis yang mengejawantah dalam berbagai tatanan
sosial, dan yang paling penting dari gagasan ini adalah
usahanya untuk menyelaraskan berbagai konflik kepentingan
antarindividu, masyarakat, dan negara. Sedangkan civil
society menurut Havel seperti yang dikutip Hikam (1994: 6)
ialah rakyat sebagai warga negara yang mampu belajar
tentang aturan-aturan main melalui dialog demokratis dan
penciptaan bersama batang tubuh politik partisipatoris yang
murni. Gerakan penguatan civil society merupakan gerakan
untuk merekonstruksi ikatan solidaritas dalam masyarakat
yang telah hancur akibat kekuasaan yang monolitik. Secara
normatif-politis, inti strategi ini adalah usaha untuk
memulihkan kembali pemahaman asasi bahwa rakyat
sebagai warga negara memiliki hak untuk meminta
pertanggungjawaban kepada para penguasa atas segala
yang mereka lakukan atas nama pemerintah.
Gellner (1995:2) menyatakan bahwa masyarakat madani
akan terwujud manakala terjadi tatanan masyarakat yang
harmonis, yang bebas dari eksploitasi dan penindasan.
Pendek kata, masyarakat madani ialah kondisi suatu
komunitas yang jauh dari monopoli kebenaran dan
kekuasaan. Kebenaran dan kekuasaan adalah milik bersama.
Setiap anggota masyarakat madani tidak bisa ditekan,
ditakut-takuti, dicecal, diganggu kebebasannya, semakin
dijauhkan dari demokrasi, dan sejenisnya. Oleh karena itu,
perjuangan menuju masyarakat madani pada hakikatnya
merupakan proses panjang dan produk sejarah yang abadi
dan perjuangan melawan kezaliman dan dominasi para
penguasa menjadi ciri utama masyarakat madani.
Perjuangan masyarakat madani di Indonesia pada awal
pergerakan kebangsaan dipelopori oleh Syarikat Islam (1912)
dan dilanjutkan oleh Soeltan Syahrir pada awal
kemerdekaan. Jiwa demokrasi Soeltan Syahrir ternyata harus
menghadapi kekuatan represif baik dari rezim Orde Lama di
bawah pimpinan Soekarno maupun rezim Orde Baru di
bawah pimpinan Soeharto, tuntutan perjuangan
transformasi menuju masyarakat madani pada era reformasi
ini tampaknya sudah tak terbendungkan lagi dengan tokoh
utamanya adalah Amien Rais dari Yogyakarta.
Gellner seperti yang dikutip Mahasin (1995: ix) menyatakan
bahwa masyarakat madani sebagai terjemahan bahasa
Inggris, civil society . Kata civil society sebenarnya berasal
dari bahasa Latin yaitu civitas dei yang artinya kota Illahi dan
society yang berarti masyarakat. Dari kata civil akhirnya
membentuk kata civilization yang berarti peradaban. Oleh
sebab itu, kata civil society dapat diartikan sebagai
komunitas masyarakat kota yakni masyarakat yang telah
berperadaban maju. Konsepsi seperti ini menurut Madjid
seperti yang dikutip Mahasin (1995: x) pada awalnya lebih
merujuk pada dunia Islam yang ditunjukan oleh masyarakat
kota Arab. Sebaliknya, lawan dari kata atau istilah
masyarakat nonmadani adalah kaum pengembara, badawah,
yang masih membawa citranya yang kasar, berwawasan
pengetahuan yang sempit, masyarakat puritan, tradisional
penuh mitos dan takhayul, banyak memainkan kekuasaan
dan kekuatan, sering dan suka menindas, dan sifat-sifat
negatif lainnya. Keadaan masyarakat nonmadani ini menurut
Suwardi (1999:67) seperti yang ditunjukan oleh perilaku
manusia Orde Baru yakni pada saat itu ada mitos bahwa
hanya Soeharto saja yang mampu memimpin bangsa dengan
menggunakan kekuatan ABRI untuk mempertahankan staus
quo. Lebih lanjut ditambahkan oleh Suwardi (1999:67)
bahwa ada satu hal yang perlu dipahami yaitu masyarakat
madani bukanlah masyarakat yang bebas dari senjata atau
ABRI (sekarang TNI); civil society tidak berkebalikan dengan
masyarakat pimpinan TNI seperti yang banyak diasumsikan
orang awam.
Rahardjo (1997: 17-24) menyatakan bahwa masyarakat
madani merupakan terjemahan dari bahasa Inggris, civil
society. Istilah civil society sudah ada sejak Sebelum Masehi.
Orang yang pertama kali mencetuskan istilah civil society
ialah Cicero (106-43 SM), sebagai orator Yunani Kuno. Civil
society menurut Cicero ialah suatu komunitas politik yang
beradab seperti yang dicontohkan oleh masyarakat kota
yang memiliki kode hukum sendiri. Dengan konsep civility
(kewargaan) dan urbanity (budaya kota), maka kota difahami
bukan hanya sekedar konsentrasi penduduk, melainkan juga
sebagai pusat peradaban dan kebudayaan
Istilah madani sebenarnya berasal dari bahasa Arab,
madaniy. Kata madaniy berakar dari kata kerja madana yang
berarti mendiami, tinggal, atau membangun. Kemudian
berubah istilah menjadi madaniy yang artinya beradab,
orang kota, orang sipil, dan yang bersifat sipil atau perdata.
Dengan demikian, istilah madaniy dalam bahasa Arabnya
mempunyai banyak arti. Konsep masyarakat madani
menurut Madjid (1997: 294) kerapkali dipandang telah
berjasa dalam menghadapi rancangan kekuasaan otoriter
dan menentang pemerintahan yang sewenang-wenang di
Amerika Latin, Eropa Selatan, dan Eropa Timur.
Masyarakat madani identik dengan civil society, a rtinya suatu
gagasan, angan-angan, bayangan, cita-cita suatu komunitas
yang dapat terejawantahkan ke dalam kehidupan sosial.
Dalam masyarakat madani, pelaku sosial akan berpegang
teguh pada peradaban dan kemanusiaan. Masyarakat
madani merupakan masyarakat modern yang bercirikan
kebebasan dan demokratisasi dalam berinteraksi di
masyarakat yang semakin plural dan heterogen. Dalam
keadaan seperti ini, masyarakat diharapkan mampu
mengorganisasikan dirinya dan tumbuh kesadaran diri
dalam mewujudkan peradaban. Mereka akhirnya mampu
mengatasi dan berpartisipasi dalam kondisi global, kompleks,
penuh persaingan dan perbedaan.

Masyarakat madani menurut Rahardjo ialah masyarakat yang
beradab. Istilah masyarakat madani selain mengacu pada
konsep civil society juga berdasarkan pada konsep negara-
kota Madinah yang dibangun Nabi Muhammad SAW pada
tahun 622M. Masyarakat madani juga mengacu pada
konsep tamadhun (masyarakat yang berperadaban) yang
diperkenalkan oleh Ibn Khaldun dan konsep Al Madinah al
fadhilah (Madinah sebagai Negara Utama) yang diungkapkan
oleh filsuf Al Farabi pada abad pertengahan.
Dalam memasuki milenium III, tuntutan masyarakat madani
di dalam negeri oleh kaum reformis yang anti status quo
menjadi semakin besar. Masyarakat madani yang mereka
harapkan adalah masyarakat yang lebih terbuka, pluralistik,
dan desentralistik dengan partisipasi politik yang lebih besar,
jujur, adil, mandiri, harmonis, memihak yang lemah,
menjamin kebebasan beragama, berbicara, berserikat dan
berekspresi, menjamin hak kepemilikan dan menghormati
hak-hak asasi manusia.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar