Jumat, 20 Juli 2012

Riwayat shoum dalam peradaban Islam

Secara bahasa, puasa
berasal dari bahasa Arab, Shaum (jamaknya
Shiyam) yang bermakna al-Imsak
(menahan), sedangkan menurut istilah,
puasa itu menahan makan dan minum serta semua yang
membatalkannya dari terbit fajar hingga terbenam
matahari.
Ulama terkemuka Syekh Wahbah az-Zuhaili mendefinisikan
puasa sebagai menahan diri dari segala keinginan syahwat,
perut serta faraj (kemaluan), dan dari segala sesuatu yang
masuk ke kerongkongan, baik berupa makanan, minuman,
obat, dan semacamnya pada waktu tertentu-mulai terbit
fajar hingga terbenam matahari.
Menurut Syekh az-Zuhaili, puasa dilakukan oleh Muslim yang
berakal, tidak haid, dan juga tidak nifas dengan
melakukannya secara yakin. Setiap Muslim yang beriman
diwajibkan berpuasa selama satu bulan penuh pada bulan
Ramadhan. Perintah berpuasa telah ditegaskan dalam surah
al-Baqarah [2] ayat 183:
"Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu
berpuasa sebagaimana telah diwajibkan atas orang-orang
sebelum kamu agar kamu menjadi orang-orang yang
bertakwa."
Perintah berpuasa Ramadhan bagi umat Nabi Muhammad
SAW mulai turun pada 10 Sya'ban, satu setengah tahun
setelah umat Islam hijrah ke Madinah. "Ketika itu, Nabi
Muhammad baru saja diperintahkan untuk mengalihkan
arah kiblat dari Baitulmakdis (Yerusalem) ke Ka'bah di
Masjidil Haram, Makkah, Arab Saudi," tulis Ensiklopedi Islam.
Puasa Ramadhan dimulai ketika melihat atau menyaksikan
bulan pada awal bulan tersebut. Apabila langit dalam
keadaan berawan yang mengakibatkan bulan tak dapat
dilihat dan disaksikan, bulan Sya'ban disempurnakan
menjadi 30 hari. Kewajiban puasa sebulan penuh pada
Ramadhan baru dimulai pada tahun kedua Hijriah.
Menurut riwayat lain,
sebelum turunnya perintah puasa
Ramadhan, Rasulullah bersama sahabat-
sahabatnya serta kaum Muslimin
melaksanakan puasa pada setiap tanggal 13, 14, dan 15
bulan-bulan Qomariyah. Selain itu, mereka juga biasa
berpuasa tanggal 10 Muharam, sampai datang perintah
puasa wajib di bulan Ramadhan.
Berdasarkan penjelasan di atas, tampaklah bahwa puasa
Asyura tak ada hubungannya dengan peringatan wafatnya
Husain bin Ali bin Abi Thalib yang biasa diperingati oleh
penganut Syiah. Namun demikian, sebagian umat Islam,
termasuk di Indonesia, ada yang rutin melaksanakan puasa
Asyura.
Rasulullah pun terbiasa berpuasa pada hari Asyura. Bahkan,
Rasul SAW memerintahkan kaum Muslimin untuk juga
berpuasa pada hari itu. Menurut Ibnu Umar RA, Rasulullah
pernah berpuasa pada hari Asyura dan menyuruh dia (Ibnu
Umar) untuk berpuasa juga. Namun, saat datang perintah
puasa Ramadhan, puasa Asyura itu ditinggalkan oleh
Rasulullah SAW.
Tentang perintah Rasulullah untuk berpuasa Asyura,
menurut Bukhari, Ahmad dan Muslim adalah sesudah beliau
tiba di Yatsrib (Madinah). Tepatnya, sekitar setahun setelah
Rasul SAW dan sahabat-sahabatnya tinggal di Madinah.
Menurut riwayat, Rasul SAW tiba di kota itu pada Rabiul
Awal, sedangkan perintah puasa Asyura itu disampaikan
pada awal tahun kedua. Kemudian, pada tahun kedua hijrah
saat memasuki bulan Ramadhan, turunlah wahyu yang berisi
perintah kepada umat Islam akan diwajibkannya puasa pada
bulan Ramadhan. Dan puasa Asyura hanya satu kali
dilaksanakan sebagai puasa wajib.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar