Kamis, 26 Juli 2012

Rukun kebahagiaan

Setelah gelap terbitlah terang. Begitulah
kira-kira perumpamaan kehidupan ini. Bagi
siapa pun, kesusahan atau kebahagiaan selalu datang silih
berganti. Keduanya selalu hadir dalam kehidupan, meski
dengan proporsi yang berbeda.
Ada yang mengalami setengah kesenangan dan kebahagian.
Ada pula yang merasa hidupnya lebih banyak
kebahagiaannya, atau malah sebaliknya, merasa lebih
banyak kesusahannya, sehingga kebahagiaan seperti
menjauhi kehidupannya.
Simak kisah Nabi Ayub yang mendapatkan proporsi kesulitan
yang cukup besar dalam hidupnya. Firman Allah SWT, “Dan
(ingatlah kisah) Ayub, ketika ia menyeru Tuhannya, ‘(Ya
Tuhanku), sesungguhnya aku telah ditimpa penyakit dan
Engkau adalah Tuhan Yang Mahapenyayang di antara semua
penyayang’.” (QS. Al-Anbiyaa’: 83).
Bagaimana ikhtiar supaya proporsi kesenangan lebih banyak
dirasakan daripada kesusahan? Padahal, senang dan susah
tidak dapat tidak, mesti berganti.
Buya Hamka, seorang ulama yang memiliki andil besar
dalam menghadirkan tasawuf modern, menyebutkan empat
rukun agar kebahagian yang bersemayam dalam kehidupan
manusia, lebih banyak terasa dibandingkan kesusahannya.
Pertama, sehat tubuh. Selain menjaga kesehatan fisik,
disebutkan juga bahwa seseorang hendaknya menjauhi sifat
hasad. Karena, dengan sifat hasad, ‘maka susahmu,
miskinmu, dan sakitmu akan berlipat’.
Kedua, sehat akal, ingatan, keteguhan pendapat dan pikiran.
Perjuangan hidup memang senantiasa menghendaki
kepayahan akal. Oleh karena itu, akal yang cepat
mengeluarkan pendapat, merespons realitas, dan selalu
melihat apa yang di belakang yang tampak di mata, harus
selalu diasah, sehingga menghadirkan kemenangan
sekaligus kebahagiaan.
Ketiga, sehat jiwa, yang merupakan derivasi dari keimanan
kepada Allah SWT. Namun, akan tidak berarti apa-apa
sekiranya sehat rohani itu hanya dijadikan jargon, tanpa
memberikan efek nyata dalam kehidupan.
Terakhir ada pepatah yang sangat berharga, yaitu ‘kekayaan
adalah pada perasaan telah kaya’. Bila seseorang telah
merasa kaya, sepeser pun tak berarti kekayaan itu kalau
belum untuk kemaslahatan umum, membela fakir miskin,
dan menyucikannya dengan berzakat, infak, dan sedekah.
Oleh karenanya, perlombaan dalam mengarungi lautan
kehidupan, meniscayakan perlombaan dalam melakukan
penyucian jiwa.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar