Rabu, 22 Februari 2012

Aku menangis untuk adikku 6x

ku dilahirkan di sebuah dusun
pegunungan yang sangat terpencil. Hari
demihari, orang tuaku membajak tanah
kering kuning, dan punggung
merekamenghadap ke langit.Aku
mempunyai seorang adik, tiga tahun
lebih muda dariku.
Suatu ketika, untuk membeli sebuah
sapu tangan yang mana semua gadis
disekelilingku kelihatannya
membawanya, Aku mencuri lima puluh
sen dari laciayahku. Ayah segera
menyadarinya. Beliau membuat adikku
dan aku berlutut didepan tembok,
dengan sebuah tongkat bambu di
tangannya.:
"Siapa yang mencuri uang itu?" Beliau
bertanya.
Aku terpaku, terlalu takut untuk
berbicara. Ayah tidak mendengar siapa
punmengaku, jadi Beliau mengatakan :
"Baiklah, kalau begitu, kalian berdua
layak dipukul!".
Dia mengangkat tongkat bambu itu
tingi-tinggi. Tiba-tiba,
adikkumencengkeram tangannya dan
berkata :
"Ayah, aku yang melakukannya! ".
Tongkat panjang itu menghantam
punggung adikku bertubi-tubi. Ayah
begitumarahnya sehingga ia terus
menerus mencambukinya sampai Beliau
kehabisannafas. Sesudahnya, Beliau
duduk di atas ranjang batu bata kami
danmemarahi,:
"Kamu sudah belajar mencuri dari
rumah sekarang, hal memalukan apa
lagi yangakan kamu lakukan di masa
mendatang? ... Kamu layak dipukul
sampai mati!Kamu pencuri tidak tahu
malu!".
Malam itu, ibu dan aku memeluk adikku
dalam pelukan kami. Tubuhnya
penuhdengan luka, tetapi ia tidak
menitikkan air mata setetes pun. Di
pertengahanmalam itu, saya tiba-tiba
mulai menangis meraung-raung. Adikku
menutupmulutku dengan tangan
kecilnya dan berkata :
"Kak, jangan menangis lagi sekarang.
Semuanya sudah terjadi."
Aku masih selalu membenci diriku
karena tidak memiliki cukup
keberanianuntuk maju mengaku.
Bertahun-tahun telah lewat, tapi insiden
tersebut masihkelihatan seperti baru
kemarin. Aku tidak pernah akan lupa
tampang adikkuketika ia melindungiku.
Waktu itu, adikku berusia 8 tahun. Aku
berusia 11.Ketika adikku berada pada
tahun terakhirnya di SMP, ia lulus untuk
masuk keSMA di pusat kabupaten. Pada
saat yang sama, saya diterima untuk
masuk kesebuah universitas propinsi.
Malam itu, ayah berjongkok di
halaman,menghisap rokok
tembakaunya, bungkus demi bungkus.
Saya
mendengarnyamemberengut :"Kedua
anak kita memberikan hasil yang begitu
baik...hasil yang begitubaik..."
Ibu mengusap air matanya yang
mengalir dan menghela nafas. Sambil
berkata :
"Apa gunanya? Bagaimana mungkin kita
bisa membiayai keduanya sekaligus?".
Saat itu juga, adikku berjalan keluar ke
hadapan ayah dan berkata :
"Ayah, saya tidak mau melanjutkan
sekolah lagi, telah cukup membaca
banyakbuku."
Ayah mengayunkan tangannya dan
memukul adikku pada wajahnya sambil
berkata :
"Mengapa kau mempunyai jiwa yang
begitu keparat lemahnya?. Bahkan
jikaberarti saya mesti mengemis di
jalanan saya akan menyekolahkan kamu
berduasampai selesai!".
Dan begitu kemudian ia mengetuk setiap
rumah di dusun itu untuk
meminjamuang. Aku menjulurkan
tanganku selembut yang aku bisa ke
muka adikku yangmembengkak, dan
berkata :
"Seorang anak laki-laki harus
meneruskan sekolahnya; kalau tidak ia
tidakakan pernah meninggalkan jurang
kemiskinan ini.".
Aku, sebaliknya, telah memutuskan
untuk tidak lagi meneruskan
keuniversitas. Siapa sangka keesokan
harinya, sebelum subuh datang,
adikkumeninggalkan rumah dengan
beberapa helai pakaian lusuh dan sedikit
kacangyang sudah mengering. Dia
menyelinap ke samping ranjangku dan
meninggalkansecarik kertas di atas
bantalku:
"Kak, masuk ke universitas tidaklah
mudah. Saya akan pergi mencari kerja
danmengirimu uang.".
Aku memegang kertas tersebut di atas
tempat tidurku, dan menangis dengan
airmata bercucuran sampai suaraku
hilang. Tahun itu, adikku berusia 17
tahun.Aku 20. Dengan uang yang ayahku
pinjam dari seluruh dusun, dan uang
yangadikku hasilkan dari mengangkut
semen pada punggungnya di lokasi
konstruksi,aku akhirnya sampai ke tahun
ketiga (di universitas) . Suatu hari,
akusedang belajar di kamarku, ketika
teman sekamarku masuk dan
memberitahukan :
" Ada seorang penduduk dusun
menunggumu di luar sana !".
Mengapa ada seorang penduduk dusun
mencariku? Aku berjalan keluar,
danmelihat adikku dari jauh, seluruh
badannya kotor tertutup debu semen
danpasir. Aku menanyakannya, :
"Mengapa kamu tidak bilang pada teman
sekamarku kamu adalah adikku?"
Dia menjawab, tersenyum, "Lihat
bagaimana penampilanku. Apa yang
akan merekapikir jika mereka tahu saya
adalah adikmu? Apa mereka tidak
akanmenertawakanmu? "
Aku merasa terenyuh, dan air mata
memenuhi mataku. Aku menyapu debu-
debudari adikku semuanya, dan tersekat-
sekat dalam kata-kataku :
"Aku tidak perduli omongan siapa pun!
Kamu adalah adikku apa pun juga!
Kamuadalah adikku bagaimana pun
penampilanmu. ..".
Dari sakunya, ia mengeluarkan sebuah
jepit rambut berbentuk kupu-kupu.
Iamemakaikannya kepadaku, dan terus
menjelaskan :
"Saya melihat semua gadis kota
memakainya. Jadi saya pikir kamu juga
harusmemiliki satu."
Aku tidak dapat menahan diri lebih lama
lagi. Aku menarik adikku ke
dalampelukanku dan menangis dan
menangis. Tahun itu, ia berusia 20. Aku
23.
Kali pertama aku membawa pacarku ke
rumah, kaca jendela yang pecah
telahdiganti, dan kelihatan bersih di
mana-mana. Setelah pacarku pulang,
akumenari seperti gadis kecil di depan
ibuku. "Bu, ibu tidak perlu
menghabiskanbegitu banyak waktu
untuk membersihkan rumah kita!" Tetapi
katanya, sambiltersenyum :
"Itu adalah adikmu yang pulang awal
untuk membersihkan rumah ini.
Tidakkahkamu melihat luka pada
tangannya? Ia terluka ketika memasang
kaca jendelabaru itu..".
Aku masuk ke dalam ruangan kecil
adikku. Melihat mukanya yang kurus,
seratusjarum terasa menusukku. Aku
mengoleskan sedikit saleb pada lukanya
danmebalut lukanya.aku bertanya :
"Apakah itu sakit?".
"Tidak, tidak sakit. Kamu tahu, ketika
saya bekerja di lokasi konstruksi,batu-
batu berjatuhan pada kakiku setiap
waktu. Bahkan itu tidakmenghentikanku
bekerja dan..." Ditengah kalimat itu ia
berhenti.
Aku membalikkan tubuhku
memunggunginya, dan air mata
mengalir deras turun kewajahku. Tahun
itu, adikku 23. Aku berusia 26.
Ketika aku menikah, aku tinggal di kota .
Banyak kali suamiku dan
akumengundang orang tuaku untuk
datang dan tinggal bersama kami, tetapi
merekatidak pernah mau. Mereka
mengatakan, sekali meninggalkan
dusun, mereka tidakakan tahu harus
mengerjakan apa. Adikku tidak setuju
juga, mengatakan :
"Kak, jagalah mertuamu aja. Saya akan
menjaga ibu dan ayah di sini."
Suamiku menjadi direktur pabriknya.
Kami menginginkan adikku
mendapatkanpekerjaan sebagai manajer
pada departemen pemeliharaan. Tetapi
adikkumenolak tawaran tersebut. Ia
bersikeras memulai bekerja sebagai
pekerjareparasi.
Suatu hari, adikku diatas sebuah tangga
untuk memperbaiki sebuah kabel,ketika
ia mendapat sengatan listrik, dan masuk
rumah sakit. Suamiku dan akupergi
menjenguknya. Melihat gips putih pada
kakinya, saya menggerutu :
"Mengapa kamu menolak menjadi
manajer? Manajer tidak akan pernah
harusmelakukan sesuatu yang
berbahaya seperti ini. Lihat kamu
sekarang, luka yangbegitu serius.
Mengapa kamu tidak mau mendengar
kami sebelumnya?"
Dengan tampang yang serius pada
wajahnya, ia membela keputusannya. :
"Pikirkan kakak ipar...ia baru saja jadi
direktur, dan saya hampir
tidakberpendidikan. Jika saya menjadi
manajer seperti itu, berita seperti
apayang akan dikirimkan?"
Mata suamiku dipenuhi air mata, dan
kemudian keluar kata-kataku
yangsepatah-sepatah:
"Tapi kamu kurang pendidikan juga
karena aku!"
"Mengapa membicarakan masa lalu?"
Adikku menggenggam tanganku. Tahun
itu,ia berusia 26 dan aku 29.
Adikku kemudian berusia 30 ketika ia
menikahi seorang gadis petani
daridusun itu. Dalam acara
pernikahannya, pembawa acara
perayaan itu bertanyakepadanya :
"Siapa yang paling kamu hormati dan
kasihi?".
Tanpa bahkan berpikir ia menjawab :
"Kakakku."
Ia melanjutkan dengan menceritakan
kembali sebuah kisah yang bahkan
tidakdapat kuingat :
"Ketika saya pergi sekolah SD, ia berada
pada dusun yang berbeda. Setiaphari
kakakku dan saya berjalan selama dua
jam untuk pergi ke sekolah danpulang ke
rumah. Suatu hari, Saya kehilangan satu
dari sarung tanganku.Kakakku
memberikan satu dari kepunyaannya. Ia
hanya memakai satu saja danberjalan
sejauh itu. Ketika kami tiba di rumah,
tangannya begitu gemetarankarena
cuaca yang begitu dingin sampai ia tidak
dapat memegang sumpitnya.Sejak hari
itu, saya bersumpah, selama saya masih
hidup, saya akan menjagakakakku dan
baik kepadanya."
Tepuk tangan membanjiri ruangan itu.
Semua tamu memalingkan
perhatiannyakepadaku.
Kata-kata begitu susah kuucapkan keluar
bibirku akhirnya keluar juga :
"Dalam hidupku, orang yang paling aku
berterima kasih adalah adikku."
Dan dalam kesempatan yang paling
berbahagia ini, di depan kerumunan
perayaanini, air mata bercucuran turun
dari wajahku seperti sungai.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar