Jumat, 17 Februari 2012

Ikhtilaf dan I'tilaf

"Mengikuti ijtihad yang salah tapi membawa maslahat
umat lebih afdal daripada mengikuti ijtihad yang benar tapi mengandung madarat (bahaya)“. -Al Bayanuni-
ada bulan-bulan ini di Kuwait, persisnya di Markaz al-
Alami lil al-Wasatiyah, diadakan daurah atau training.
Training selama seminggu itu sedikitnya diikuti oleh 17
kelompok dari Negara yang berbeda-beda. Semula saya,
sebagai peserta, ragu jangan-jangan ini adalah training
untuk menjadi Muslim moderat dalam pengertian liberal.
Dari materi dan traininernya, saya menjadi tahu ini bukan
liberal.
Moderat dalam mensikapi perbedaan diantara umat
Islam. Materinya hampir semuanya tentang syariah,
utamanya adalah Fiqh al-I'tilaf wa al-Ikhtilaf (Fiqih
persatuan dan perbedaan) dan Fiqh al-Aulawiyyat (Fiqih
Prioritas). Trainernya adalah para pakar dalam bidang
syariah pula, dan yang pasti dalam mazhab Ahlusunah
waljamaah.
Untuk memahami peta ikhtilaf dalam Islam Dr. al-
Bayanuni menggambar 3 lapisan lingkaran: kecil-sedang-
dan besar. Lingkaran pertama adalah perbedaan
diseputar masalah ijtihadiyah. Statusnya tidak jauh dari
khata' (salah) dan sawab (betul). Disini yang pertama
masih mendapat pahala satu dan yang benar mendapat
pahala dua.
Lingkaran kedua berkutat pada masalah yang lebih berat
yaitu masalah usul atau halhal yang muhkamat.
Statusnya adalah haqq (benar) dan batil (salah). Disini
bukan masalah ijtihadiyah, karena itu bagi yang salah
tidak mendapat pahala. Hukumnya adalah sesat dan
harus diingatkan.
Lingkaran terakhir lebih berat lagi karena berkaitan
dengan masalah usul yang menyangkut masalah
keimanan. Maka, statusnya sudah bukan haqq dan batil
lagi, tapi sudah Mu'min atau kafir.
Dalam masalah ijtihadiyah, khilafiyah atau perbedaan
meruncing pada masyarakat awam, tapi tidak pada
ulama. Perbedaan masalah jumlah qunut sangat tajam
dikalangan masyarakat bawah. Padahal, konon Imam
Syafii tidak sekeras pengikutnya.
Ketika beliau berkunjung ke Baghdad ia diminta menjadi
Imam oleh tokoh mazhab Hanafi. Pengikut Imam Syafii
sudah tidak sabar untuk menyatakan menang atas
mazhab Hanafi. Pengikut Hanafi pun hatinya menjadi ciut.
Pada rakaat kedua shalat subuh itu ternyata Imam Syafii
tidak qunut. Ketika para pengikutnya protes pada Imam
Syafii, beliau menjawab singkat “ta'adduban“ artinya
untuk menghormati pengikut Hanafi.
Ketika Buya Hamka berkunjung ke Blitar beliau diminta
menjadi Imam shalat subuh. Disana mayoritas adalah
pendukung Nahdhatul Ulama. Mungkin panitia sengaja
menguji Hamka. Tapi Hamka yang ketua MUI dan
Muhammadiyah itu ternyata melakukan qunut.
Saat ini perbedaan masalah khata dan sawab ini masih
saja meruncing. Seorang anggota kelompok pengajian
keluar dari dan pindah kelompok lain hanya karena
ustadhnya tidak pakai baju taqwa. Seorang peserta
sebuah seminar keislaman protes dan keluar ruangan
gara-gara pemakalahnya tidak berjanggut. Seorang Imam
tidak mulai shalatnya kecuali semua jamaah laki-lakinya
mengangkat celana diatas mata kaki.
Padahal dalam masalah ijtihadiyah Nabi sangat toleran.
Dalam suatu perjalanan Nabi memerintahkan “Tidak ada
yang shalat kecuali di Bani Quraidah“ (La shalata illa fi
bani quraidah). Bagi sebagian sahabat ini perintah Nabi
dan wajib ditaati. Bagi sahabat lain karena masyaqqah
(kesulitan) tidak bisa mentaati perintah Nabi. Ternyata
Nabi tidak marah dan tidak menghukum sahabat yang
tidak shalat di Bani Quraidah. Masih banyak kasus yang
lain.
Yang lebih massif lagi ikhtilaf tahunan umat Islam
Indonesia adalah masalah hari raya. Ada yang beda
sehari, ada yang beda tiga hari bahkan ada yang beda
seminggu. Umat Islam yang terpelajar pasti bertanya
mengapa tidak menyatukan ru'yat dengan hisab? Dan
mengapa ru'yat tidak diserahkan kepada para pakar
astronomi atau falak? Mengapa Depag tidak mengambil
otoritas ithbat melalui tim professional dari berbagai
ormas, sehingga tidak ada lagi ormas yang menetapkan
ithbat?
Ketika Dr.al-Bayanuni mendengar hal ini beliau
mengeluarkan dalil maslahatnya. Katanya “mengikuti
ijtihad yang salah tapi membawa maslahat umat lebih
afdal daripada mengikuti ijtihad yang benar tapi
mengandung madarat (bahaya)“.
Artinya terlepas dari masalah keilmuan, nampaknya
maqasid syariah (maslahat) belum masuk dalam
pertimbangan. Maka jika ada ormas yang menetapkan
hari raya “asal beda“ dari kelompok lain itu berarti telah
memilih “madarat“ daripada “maslahat“. Memilih ikhtilaf
(berselisih) daripada i'tilaf (bersatu). Padahal di hampir
seluruh Negara Islam tidak ada perselisihan tentang awal
hari raya Idul Fitri.
Lingkaran kedua tentang haqq dan batil. Al-Bayanuni
tidak banyak memberi contoh. Demikian pula lingkaran
ketiga. Mungkin karena tujuannya adalah meredam
ikhtilaf masalah furu' umat Islam yang berkepanjangan.
Tapi begitu disebut nama Nasr Hamid, Syahrur dan
Arkoun beliau menyimpulkan pemikiran orang-orang ini
banyak yang batil. Bahkan ada yang sudah pada lingkaran
ketiga. Itulah sebabnya di Mesir Nasr Hamid di fatwa
murtad.
Jadi sabda Nabi ikhtilaf umatku adalah rahmat, tidak bisa
diplesetkan menjadi “perselisihan“ umatku adalah
rahmat. Tidak pula di kaburkan dengan “pluralisme
teologis umatku adalah rahmat“. Ikhtilaf disitu
sebenarnya mengandung makna i'itilaf, artinya
perbedaan sudut pandang umatku dalam berbagai
masalah agama adalah rahmat asalkan tetap bersatu
dalam aqidah atau masalah-masalah usul. Maka pengikut
mazhab ahlussunnah wal jamaah harus bersatu
meskipun kelompok-kelompok didalamnya berbeda dalam
masalah furu'iyah.[]
*REPUBLIKA (16/2/12)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar