Minggu, 19 Februari 2012

juarA satu di otak atw di hati ?

Di kelasnya ada 50 orang murid, setiap kali ujian, anak
perempuanku tetap mendapat ranking ke-23. Lambat laun
membuat dia mendapatkan nama panggilan dengan
nomor ini, dia juga menjadi murid kualitas menengah
yang sesungguhnya. Sebagai orangtua, kami merasa
nama panggilan ini kurang enak didengar, namun anak
kami ternyata menerimanya dengan senang hati.
Suamiku mengeluhkan ke padaku, setiap kali ada kegiatan
di perusahaannya atau pertemuan alumni sekolahnya,
setiap orang selalu memuji-muji "Superman cilik" di
rumah masing-masing, sedangkan dia hanya bisa
menjadi pendengar saja.
Anak keluarga orang, bukan saja memiliki nilai sekolah
yang menonjol, juga memiliki banyak keahlian khusus.
Sedangkan anak nomor 23 di keluarga kami tidak
memiliki sesuatu pun untuk ditonjolkan. Dari itu, setiap
kali suamiku menonton penampilan anak-anak berbakat
luar biasa dalam acara televisi, timbul keirian dalam
hatinya sampai matanya bersinar-sinar. Kemudian ketika
dia membaca sebuah berita tentang seorang anak berusia
9 tahun yang masuk perguruan tinggi, dia bertanya
dengan hati pilu kepada anak kami: Anakku, kenapa kamu
tidak terlahir sebagai anak dengan kepandaian luar biasa?
Anak kami menjawab: Itu karena ayah juga bukan
seorang ayah dengan kepandaian luar biasa. Suamiku
menjadi tidak bisa berkata apa-apa lagi, saya tanpa
tertahankan tertawa sendiri.
Pada pertengahan musim gugur, semua sanak keluarga
berkumpul bersama untuk merayakannya, sehingga
memenuhi satu ruangan besar di restoran. Topik
pembicaraan semua orang perlahan-lahan mulai beralih
kepada anak masing-masing. Dalam kemeriahan suasana,
anak-anak ditanyakan apakah cita-cita mereka di masa
mendatang? Ada yang menjawab akan menjadi pemain
piano, bintang film atau politikus, tiada seorang pun yang
terlihat takut mengutarakannya di depan orang banyak,
bahkan anak perempuan berusia 4½ tahun juga
menyatakan kelak akan menjadi seorang pembawa acara
di televisi, semua orang bertepuk tangan mendengarnya.
Anak perempuan kami yang berusia 15 tahun terlihat
sibuk sekali sedang membantu anak-anak kecil lainnya
makan. Semua orang mendadak teringat kalau hanya dia
yang belum mengutarakan cita-citanya kelak. Di bawah
desakan orang banyak, akhirnya dia menjawab dengan
sungguh-sungguh: Kelak ketika aku dewasa, cita-cita
pertamaku adalah menjadi seorang guru TK, memandu
anak-anak menyanyi, menari dan bermain-main. Demi
menunjukkan kesopanan, semua orang tetap
memberikan pujian, kemudian menanyakan akan cita-cita
keduanya. Dia menjawab dengan besar hati: Saya ingin
menjadi seorang ibu, mengenakan kain celemek
bergambar Doraemon dan memasak di dapur, kemudian
membacakan cerita untuk anak-anakku dan membawa
mereka ke teras rumah untuk melihat bintang-bintang.
Semua sanak keluarga tertegun dibuatnya, saling
pandang tanpa tahu akan berkata apa lagi. Raut muka
suamiku menjadi canggung sekali.
Sepulangnya ke rumah, suamiku mengeluhkan ke padaku,
apakah aku akan membiarkan anak perempuan kami
kelak menjadi guru TK? Apakah kami tetap akan
membiarkannya menjadi murid kualitas menengah?
Sebetulnya, kami juga telah berusaha banyak. Demi
meningkatkan nilai sekolahnya, kami pernah mencarikan
guru les pribadi dan mendaftarkannya di tempat
bimbingan belajar, juga membelikan berbagai materi
belajar untuknya. Anak kami juga sangat penurut, dia
tidak membaca komik lagi, tidak ikut kelas origami lagi,
tidur bermalas-malasan di akhir minggu juga tidak
dilakukan lagi. Bagai seekor burung kecil yang kelelahan,
dia ikut les belajar sambung menyambung, buku
pelajaran dan buku latihan dikerjakan tanpa henti.
Namun biar bagaimana pun dia tetap seorang anak-anak,
tubuhnya tidak bisa bertahan lagi dan terserang flu berat.
Biar sedang diinfus dan terbaring di ranjang, dia tetap
bersikeras mengerjakan tugas pelajaran, akhirnya dia
terserang radang paru-paru. Setelah sembuh, wajahnya
terlihat kurus banyak. Akan tetapi ternyata hasil ujian
semesternya membuat kami tidak tahu mau tertawa atau
menangis, tetap saja nomor 23.
Kemudian, kami juga mencoba untuk memberikan
penambah gizi dan rangsangan hadiah, setelah berulang-
ulang menjalaninya, ternyata wajah anak perempuanku
semakin pucat saja. Apalagi, setiap kali akan ujian, dia
mulai tidak bisa makan dan tidak bisa tidur, terus
mencucurkan keringat dingin, terakhir hasil ujiannya
malah menjadi nomor 33 yang mengejutkan kami. Aku
dan suamiku secara diam-diam melepaskan aksi menarik
bibit ke atas demi membantunya tumbuh ini. Dia kembali
pada jam belajar dan istirahatnya yang normal, kami
mengembalikan haknya untuk membaca komik,
mengijinkannya untuk berlangganan majalah "Humor
anak-anak" dan sejenisnya, sehingga rumah kami menjadi
tenteram kembali. Kami memang sangat sayang pada
anak kami ini, namun kami sungguh tidak mengerti akan
nilai sekolahnya.
Pada akhir minggu, teman-teman sekerja pergi rekreasi
bersama. Semua orang mempersiapkan lauk terbaik dari
masing-masing, dengan membawa serta suami dan anak
untuk piknik. Sepanjang perjalanan penuh dengan tawa
dan guyonan, ada anak yang bernyanyi, ada juga yang
memperagakan karya seni pendek. Anak kami tiada
keahlian khusus, hanya terus bertepuk tangan dengan
gembira. Dia sering kali lari ke belakang untuk menjaga
bahan makanan. Merapikan kembali kotak makanan yang
terlihat agak miring, mengetatkan tutup botol yang
longgar atau mengelap jus sayuran yang bocor ke luar.
Dia sibuk sekali bagaikan seorang pengurus rumah
tangga cilik.
Ketika makan terjadi satu kejadian di luar dugaan. Ada
dua orang anak lelaki, satunya adalah bakat matematika,
satunya lagi adalah ahli bahasa Inggeris. Kedua anak ini
secara bersamaan menjepit sebuah kue beras ketan di
atas piring, tiada seorang pun yang mau melepaskannya,
juga tidak mau membaginya. Walau banyak makanan
enak terus dihidangkan, mereka sama sekali tidak mau
peduli. Orang dewasa terus membujuk mereka, namun
tidak ada hasilnya. Terakhir anak kami yang
menyelesaikan masalah sulit ini dengan cara sederhana
yaitu lempar koin untuk menentukan siapa yang menang.
Ketika pulang, jalanan macat dan anak-anak mulai
terlihat gelisah. Anakku terus membuat guyonan dan
membuat orang-orang semobil tertawa tanpa henti.
Tangannya juga tidak pernah berhenti, dia
mengguntingkan banyak bentuk binatang kecil dari kotak
bekas tempat makanan, membuat anak-anak ini terus
memberi pujian. Sampai ketika turun dari mobil bus,
setiap orang mendapatkan guntingan kertas hewan shio
masing-masing. Ketika mendengar anak-anak terus
berterima kasih, tanpa tertahankan pada wajah suamiku
timbul senyum bangga.
Sehabis ujian semester, aku menerima telpon dari wali
kelas anakku. Pertama-tama mendapatkan kabar kalau
nilai sekolah anakku tetap kualitas menengah. Namun dia
mengatakan ada satu hal aneh yang hendak
diberitahukannya, hal yang pertama kali ditemukannya
selama 30 tahun mengajar. Dalam ujian bahasa ada
sebuah soal tambahan, yaitu siapa teman sekelas yang
paling kamu kagumi dan alasannya. Selain anakku, semua
teman sekelasnya menuliskan nama anakku.
Alasannya sangat banyak: antusias membantu orang,
sangat memegang janji, tidak mudah marah, enak
berteman, dan lain-lain, paling banyak ditulis adalah
optimis dan humoris. Wali kelasnya mengatakan banyak
usul agar dia dijadikan ketua kelas saja. Dia memberi
pujian: Anak anda ini, walau nilai sekolahnya biasa-biasa
saja, namun kalau bertingkah laku terhadap orang, benar-
benar nomor satu.
Saya berguyon pada anakku, kamu sudah mau jadi
pahlawan. Anakku yang sedang merajut selendang leher
terlebih menundukkan kepalanya dan berpikir sebentar,
dia lalu menjawab dengan sungguh-sungguh: “Guru
pernah mengatakan sebuah pepatah, ketika pahlawan
lewat, harus ada orang yang bertepuk tangan di tepi
jalan.” Dia pelan-pelan melanjutkan: “Ibu, aku tidak mau
jadi pahlawan, aku ingin jadi orang yang bertepuk tangan
di tepi jalan.” Aku terkejut mendengarnya dan
mengamatinya dengan seksama.
Dia tetap diam sambil merajut benang wolnya, benang
warna merah muda dipilinnya bolak balik di jarum
bambu, sepertinya waktu yang berjalan di tangannya
mengeluarkan kuncup bunga. Dalam hatiku terasa hangat
seketika. Pada ketika itu, hatiku tergugah oleh anak
perempuan yang tidak ingin menjadi pahlawan ini. Di
dunia ini ada berapa banyak orang yang bercita-cita ingin
menjadi pahlawan, namun akhirnya menjadi seorang
biasa di dunia fana ini. Jika berada dalam kondisi sehat,
jika hidup dengan bahagia, jika tidak ada rasa bersalah
dalam hati, mengapa anak-anak kita tidak boleh menjadi
seorang biasa yang baik hati dan jujur.
Jika anakku besar nanti, dia pasti akan menjadi seorang
isteri yang berbudi luhur, seorang ibu yang lemah lembut,
bahkan menjadi seorang teman kerja yang suka
membantu, tetangga yang ramah dan baik. Apalagi dia
mendapatkan ranking 23 dari 50 orang murid di kelasnya,
kenapa kami masih tidak merasa senang dan tidak
merasa puas? Masih ingin dirinya lebih hebat dari orang
lain dan lebih menonjol lagi? Lalu bagaimana dengan sisa
27 orang anak-anak di belakang anakku? Jika kami adalah
orangtua mereka, bagaimana perasaan kami?
sumber

Tidak ada komentar:

Posting Komentar