Rabu, 15 Februari 2012

Cinta tanpa definisi

Seperti angin membadai. Kau
tak melihatnya. Kau
merasakannya. Merasakan
kerjanya saat ia memindahkan
gunung pasir di tengah gurun.
Atau merangsang amuk
gelombang di laut lepas. Atau
meluluhlantakkan bangunan-bangunan
angkuh di pusat kota metropolitan.
Begitulah cinta. Ia ditakdirkan jadi kata
tanpa benda. Tak terlihat. Hanya terasa.
Tapi dahsyat.
Seperti banjir menderas. Kau tak kuasa
mencegahnya. Kau hanya bisa ternganga
ketika ia meluapi sungai-sungai,
menjamah seluruh permukaan bumi,
menyeret semua benda angkuh yang
bertahan di hadapannya. Dalam sekejap
ia menguasai bumi dan merengkuhnya
dalam kelembutannya. Setelah itu ia
kembali tenang: seperti seekor harimau
kenyang yang terlelap tenang.
Demikianlah cinta. Ia ditakdirkan jadi
makna paling santun yang menyimpan
kekuasaan besar.
Seperti api menyala-nyala. Kau tak kuat
melawannya. Kau hanya bisa menari di
sekitarnya saat ia mengunggun. Atau
berteduh saat matahari membakar kulit
bumi. Atau meraung saat lidahnya
melahap rumah-rumah, kota-kota,
hutan-hutan. Dan seketika semua jadi
abu. Semua jadi tiada. Seperti itulah
cinta. Ia ditakdirkan jadi kekuatan
angkara murka yang mengawal dan
melindungi kebaikan.
Cinta adalah kata tanpa benda, nama
untuk beragam perasaan, muara bagi
ribuan makna, wakil dari kekuatan tak
terkira. Ia jelas, sejelas matahari.
Mungkin sebab itu Eric Fromm ~dalam
The Art of Loving~ tidak tertarik ~atau
juga tidak sanggup~ mendefinisikannya.
Atau memang cinta sendiri yang tidak
perlu definisi bagi dirinya.
Tapi juga terlalu rumit untuk
disederhanakan. Tidak ada definisi
memang. Dalam agama, atau filsafat
atau sastra atau psikologi. Tapi inilah
obrolan manusia sepanjang sejarah
masa. Inilah legenda yang tak pernah
selesai. Maka abadilah Rabiah Al-
Adawiyah, Rumi, Iqbal, Tagore atau
Gibran karena puisi atau prosa cinta
mereka. Abadilah legenda Romeo dan
Juliet, Laela Majenun, Siti Nurbaya atau
Cinderela. Abadilah Taj Mahal karena
kisah cinta di balik kemegahannya.
Cinta adalah lukisan abadi dalam kanvas
kesadaran manusia. Lukisan. Bukan
definisi. Ia disentuh sebagai sebuah
situasi manusiawi, dengan detail-detail
nuansa yang begitu rumit. Tapi dengan
pengaruh yang terlalu dahsyat. Cinta
merajut semua emosi manusia dalam
berbagai peristiwa kehidupannya
menjadi sublim: begitu agung tapi juga
terlalu rumit. Perang berubah menjadi
panorama kemanusiaan begitu cinta
menyentuh para pelakunya. Revolusi
tidak dikenang karena geloranya tapi
karena cinta yang melahirkannya.
Kekuasaan tampak lembut saat cinta
memasuki wilayah-wilayahnya. Bahkan
penderitaan akibat kekecewaan kadang
terasa manis karena cinta yang
melatarinya: seperti Gibran yang kadang
terasa menikmati Sayap-sayap Patah-
nya.
Kerumitan terletak pada antagoni-
antagoninya. Tapi di situ pula daya
tariknya tersembunyi. Kerumitan
tersebar pada detail-detail nuansa
emosinya, berpadu atau berbeda. Tapi
pesonanya menyebar pada kerja dan
pengaruhnya yang teramat dahsyat
dalam kehidupan manusia.
Seperti ketika kita menyaksikan gemuruh
badai, luapan banjir atau nyala api,
seperti itulah cinta bekerja dalam
kehidupan kita. Semua sifat dan cara
kerja udara, api dan air juga terdapat
dalam sifat dan cara kerja cinta. Kuat,
Dahsyat, Lembut, Tak terlihat. Penuh
haru biru. Padatmakna. Sarat gairah.
Dan, anagonis.
Barangkali kita memang tidak perlu
definisi. Toh kita juga tidak butuh
penjelasan untuk dapat merasakan terik
matahari. Kita hanya perlu tahu cara
kerjanya. Cara kerjanya itulah definisi:
karena ~kemudian~ semua keajaiban
terjawab disini. ~ Anis Matta ~

Tidak ada komentar:

Posting Komentar