Rabu, 22 Februari 2012

Jilbab atau Akhlak

Dalam pandangan masyarakat kita,
bahwa wanita berjilbab, adalah wanita
yang identik memiliki tatakrama baik,
wanita yang santun, yang kalem, rajin
shalat, rajin berderma, sering hadir
majlis pengajian dan berbagai predikat
keshalihahan lainnya.
Oke, boleh jadi sebagian besar wanita
berkerudung seperti itu. Sebaliknya,
muslimah yang tak berke...rudung, meski akhlaknya baik,
tentu saja dipandang tak sebaik muslimah berkerudung,
hal yang lumrah dan spontanitas terlintas dalam benak.
Akibatnya, jika ada kebetulan wanita berjilbab melakukan
sesuatu yang kontradiktif dengan jilbabnya itu, seketika
penilaian masyarakat menjadi njomplang sangat negatif
sekali. Dan tentu saja jilbabnya seketika menjadi objek
atas tindakan yang tak sesuai dengan moral pemakai
jilbab. "Jilbaban tapi kok gitu".
Akhirnya, sebagian muslimah yang tidak berjilbab pun,
memilih tetap bertahan pada pilihannya, dengan pikiran
sangat sederhana sekali, daripada aku tidak bisa menjaga
sikapku saat mengenakan jilbab, lebih baik aku tidak
mengenakannya sekalian, biarlah aku menjilbabi hatiku
terlebih dahulu. Ntar aja jilbaban kalau udah mau wafat.
Menjilbabi hati, kalimat yang mendadak populer setelah
boomingnya film ayat-ayat cinta, kalimat yang bisa jadi
sudah lama berdengung tetapi dipopulerkan oleh Rianti
Cartwright, ini setahuku.
Sebenarnya, fenomena di atas (pengidentikan jilbab
dengan keshalihahan) adalah kesalahan pemahaman
umum (salah kaprah) dalam masyarakat kita soal
hubungan jilbab dengan akhlak. Oke, memang wanita
yang shalihah, yang menjalankan agamanya dengan baik,
tentu saja mengaplikasikan segenap perintah agamanya
terhadap dirinya semampu dia, salah satunya adalah
berjilbab ini.
Tetapi aku berani mengatakan, bahwa sebenarnya tak ada
hubungan sama sekali antara jilbab dan berakhlak baik.
Lhoh kok bisa?
Berjilbab, adalah murni perintah agama yang
berhubungan dengan pribadi muslimah itu. Yakni, jilbab
adalah kewajiban baginya dengan tanpa melihat apakah
moralnya baik ataupun buruk. Jadi selama dia muslimah,
maka berjilbab adalah kewajiban.
Tentu saja, jika ada muslimah tak berjilbab, itu pilihan dia,
tetapi tentu sebuah konsekwensi dan merupakan
kebijakan, apabila seseorang tidak menjalankan perintah,
maka resikonya adalah sanksi. Dan sanksi syariat tentu
saja adalah dosa.
Memang, bermoral baik adalah tuntutan sosial, di
samping tentu ajaran agama. Akan tetapi semua
kewajiban dalam agama, sekaligus larangan-larangannya,
adalah tidak berhubungan dengan akhlak itu. Salah
satunya ya masalah jilbab ini.
So, okelah seorang muslimah bilang, cukup aku jilbabi
hati. Tetapi dia tetap harus mengakui bahwa berjilbab
adalah wajib baginya. Siap tidak siap, baik tidak baik,
kewajiban muslimah adalah berjilbab (dalam konteks
bahasa umum, menutup aurat)
Catatan ini tidak menyoroti dan tidak mengangkat soal
pendapat lucu yang menyatakan bahwa jilbab itu tidak
wajib sebab hanya budaya arab. Komentar pendek saja, orang yang bilang seperti ini, tidak memahami sejarah
dan tidak memahami teks syariat itu dengan baik.
Argumen bertele-telenya dengan berusaha melogikakan ayat melalui permainan nahwu, ushul fiqh, mantiq, hanya membuat bahan tertawaan saja.
Kan ada tuh profesor besar lulusan timur tengah yang
juga berpendapat gitu sehingga anak perempuannya tidak berjilbab. Catat, agama ini tidak melihat sosok, tidak mlihat label seseorang. Meski besarnya pangkat
seseorang itu seperti apa, kalau salah dalam tata cara
memandang, maka tetaplah salah.
Karena sekali lagi, moralitas tak ada hubungan dengan
jilbab, meski tentu saja dituntut dari gadis berjilbab untuk bermoral sesuai dengan jilbabnya.
Jadi, kesimpulannya, jilbab adalah wajib dikenakan tiap muslimah yang telah memasuki usia baligh, tanpa
melihat apakah moralnya baik atau jelek. Dan moral
adalah sesuatu yang dituntut dalam kehidupan sosial.
Maka, itu yang harus diketahui setiap muslimah terlebih dahulu. Adapun setelahnya jika dia tidak mengenakan, maka tentu saja berkonsekwensi dosa dan ada keharusan dari yang lain mengingatkannya untuk mengenakan, kalaupun tidak mau, yang menasehati bebas tugas.
tentu saja sebaliknya, jika dia mengenakan, maka pahala akan terus mengalir padanya selama jilbab itu bertengger di kepalanya, sebagai bentuk balasan atas ketaatan mnjalankan perintah.
Tapi ingat, jangan punya pikiran "wah kalau gitu, aku
urakan saja deh, kan dosaku pasti dikurangi pahala
jilbab", Kalau yang jenis seperti ini, sudah tahu begini,
justru dosanya berlipat sebab menyalah gunakan syariat.
Akhir catatan, semoga kita selalu diberi taufiq untuk
kebaikan, dan menjalankan kewajiban agama kita sebaik-baiknya. Aamiin...
DI KUTIF DARI : ctatatan sebuah seminar.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar