Rabu, 22 Februari 2012

Kisah sedih suami istri


Jangan “ngambek”
berkepanjangan terhadap
orang yang kamu kasihi
Ini adalah cerita nyata
(diceritakan oleh Lu Di dan di
edit oleh Lian Shu Xiang) .
Sebuah salah pengertian yang
mengakibatkan kehancuran
sebuah rumah tangga.
Tatkala nilai akhir sebuah kehidupan sudah terbuka,
tetapi segalanya sudah terlambat.
Membawa nenek untuk tinggal bersama menghabiskan
masa tuanya bersama kami, malah telah menghianati
ikrar cinta yang telah kami buat selama ini.
Setelah 2 tahun menikah, saya dan suami setuju
menjemput nenek di kampung untuk tinggal bersama.
Sejak kecil suami saya telah kehilangan ayahnya, dia
adalah satu-satunya harapan nenek, nenek pula yang
membesarkannya dan menyekolahkan dia hingga tamat
kuliah.
Saya terus mengangguk tanda setuju, kami segera
menyiapkan sebuah kamar yang menghadap taman
untuk nenek, agar dia dapat berjemur, menanam bunga
dan sebagainya.
Suamiku berdiri di depan kamar yang sangat kaya dengan
sinar matahari, tidak sepatah katapun yang terucap tiba-
tiba saja dia mengangkat saya dan memutar-mutar saya
seperti adegan dalam film India dan berkata, “Mari,kita
jemput nenek di kampung”.
Suamiku berbadan tinggi besar, aku suka sekali
menyandarkan kepalaku ke dadanya yang bidang, ada
suatu perasaan nyaman dan aman di sana.
Aku seperti sebuah boneka kecil yang kapan saja bisa
diangkat dan dimasukan ke dalam kantongnya.
Kalau terjadi selisih paham di antara kami, dia suka tiba-
tiba mengangkatku tinggi-tinggi di atas kepalanya dan
diputar-putar sampai aku berteriak ketakutan baru
diturunkan. Aku sungguh menikmati saat-saat seperti itu.
Kebiasaan nenek di kampung tidak berubah.
Aku suka sekali menghias rumah dengan bunga
segar,sampai akhirnya nenek tidak tahan lagi dan berkata
kepada suamiku, “Istri kamu hidup foya-foya, buat apa
beli bunga? Kan bunga tidak bisa dimakan?”
Aku menjelaskannya kepada nenek, “Ibu, rumah dengan
bunga segar membuat rumah terasa lebih nyaman dan
suasana hati lebih gembira.”
Nenek berlalu sambil mendumel, suamiku berkata sambil
tertawa, “Ibu, ini kebiasaan orang kota, lambat laun ibu
akan terbiasa juga.”
Nenek tidak protes lagi, tetapi setiap kali melihatku
pulang sambil membawa bunga, dia tidak bisa menahan
diri untuk bertanya berapa harga bunga itu, setiap
mendengar jawabanku dia selalu mencibir sambil
menggeleng-gelengkan kepala.
Setiap membawa pulang barang belanjaan, dia selalu
tanya itu berapa harganya, ini berapa. Setiap aku jawab,
dia selalu berdecak dengan suara keras.
Suamiku memencet hidungku sambil berkata, “Putriku,
kan kamu bisa berbohong. Jangan katakan harga yang
sebenarnya.”
Lambat laun, keharmonisan dalam rumah tanggaku
mulai terusik.
Nenek sangat tidak bisa menerima melihat suamiku
bangun pagi menyiapkan sarapan pagi untuk dia sendiri,
di mata nenek seorang anak laki-laki masuk ke dapur
adalah hal yang sangat memalukan.
Di meja makan, wajah nenek selalu cemberut dan aku
sengaja seperti tidak mengetahuinya.
Nenek selalu membuat bunyi-bunyian dengan alat makan
seperti sumpit dan sendok, itulah cara dia protes. Aku
adalah instrukstur tari, seharian terus menari membuat
badanku sangat letih, aku tidak ingin membuang waktu
istirahatku dengan bangun pagi apalagi di saat musim
dingin. Nenek kadang juga suka membantuku di dapur,
tetapi makin dibantu aku menjadi semakin repot,
misalnya; dia suka menyimpan semua kantong-kantong
bekas belanjaan, dikumpulkan bisa untuk dijual katanya.
Jadilah rumahku seperti tempat pemulungan kantong
plastik, di mana-mana terlihat kantong plastik besar
tempat semua kumpulan kantong plastik.
Kebiasaan nenek mencuci piring bekas makan tidak
menggunakan cairan pencuci, agar dia tidak tersinggung,
aku selalu mencucinya sekali lagi pada saat dia sudah
tidur.
Suatu hari, nenek mendapati aku sedang mencuci piring
malam harinya, dia segera masuk ke kamar sambil
membanting pintu dan menangis.
Suamiku jadi serba salah, malam itu kami tidur seperti
orangbisu, aku coba bermanja-manja dengan dia, tetapi
dia tidak perduli.
Aku menjadi kecewa dan marah.
“Apa salahku?”
Dia melotot sambil berkata, “Kenapa tidak kamu biarkan
saja? Apakah makan dengan piring itu bisa membuatmu
mati?”
Aku dan nenek tidak bertegur sapa untuk waktu yg cukup
lama, suasana mejadi kaku.
Suamiku menjadi sangat kikuk, tidak tahu harus berpihak
pada siapa?
Nenek tidak lagi membiarkan suamiku masuk ke dapur,
setiap pagi dia selalu bangun lebih pagi dan menyiapkan
sarapan untuknya, suatu kebahagiaan terpancar di
wajahnya jika melihat suamiku makan dengan lahap,
dengan sinar mata yang seakan mencemoohku sewaktu
melihat padaku, seakan berkata, “Dimana tanggung
jawabmu sebagai seorang istri?”
Demi menjaga suasana pagi hari tidak terganggu, aku
selalu membeli makanan diluar pada saat berangkat
kerja.
Saat tidur, suami berkata, “Lu Di, apakah kamu merasa
masakan ibu tidak enak dan tidak bersih sehingga kamu
tidak pernah makan di rumah?”
Sambil memunggungiku dia berkata tanpa menghiraukan
air mata yg mengalir di kedua belah pipiku.
Dan dia akhirnya berkata, “Anggaplah ini sebuah
permintaanku, makanlah bersama kami setiap pagi.”
Aku mengiyakannya dan kembali ke meja makan yang
serba canggung itu.
Pagi itu nenek memasak bubur, kami sedang makan dan
tiba-tiba ada suatu perasaan yang sangat mual
menimpaku, seakan- akan isi perut mau keluar semua.
Aku menahannya sambil berlari ke kamar mandi, sampai
di sana aku segera mengeluarkan semua isi perut.
Setelah agak reda, aku melihat suamiku berdiri didepan
pintu kamar mandi dan memandangku dengan sinar
mata yang tajam, di luar sana terdengar suara tangisan
nenek dan berkata-kata dengan bahasa daerahnya.
Aku terdiam dan terbengong tanpa bisa berkata-kata.
Sungguh bukan sengaja aku berbuat demikian!
Pertama kali dalam perkawinanku, aku bertengkar hebat
dengan suamiku, nenek melihat kami dengan mata
merah dan berjalan menjauh. Suamiku segera
mengejarnya keluar rumah. Menyambut anggota baru
tetapi dibayar dengan nyawa nenek.
Selama 3 hari suamiku tidak pulang ke rumah dan tidak
juga meneleponku.
Aku sangat kecewa, semenjak kedatangan nenek di rumah
ini, aku sudah banyak mengalah, mau bagaimana lagi?
Entah kenapa aku selalu merasa mual dan kehilangan
nafsu makan ditambah lagi dengan keadaan rumahku
yang kacau, sungguh sangat menyebalkan.
Akhirnya teman sekerjaku berkata, “Lu Di, sebaiknya kamu
periksa ke dokter.”
Hasil pemeriksaan menyatakan aku sedang hamil.
Aku baru sadar mengapa aku mual-mual pagi itu.
Sebuah berita gembira, yang juga terselip kesedihan.
Mengapa suami dan nenek sebagai orang yang
berpengalaman tidak berpikir sampai sejauh itu?
Di pintu masuk rumah sakit aku melihat suamiku, 3 hari
tidak bertemu dia berubah drastis, muka kusut kurang
tidur, aku ingin segera berlalu tetapi rasa iba membuatku
tertegun dan memanggilnya.
Dia melihat ke arahku tetapi seakan-akan tidak
mengenaliku lagi, pandangan matanya penuh dengan
kebencian dan itu melukaiku.
Aku berkata pada diriku sendiri, jangan lagi melihatnya
dan segera memanggil taksi.
Padahal aku ingin memberitahunya bahwa kami akan
segera memiliki seorang anak. Dan berharap aku akan
diangkatnya tinggi-tinggi dan diputar-putar sampai aku
minta ampun tetapi…… mimpiku tidak menjadi
kenyataan.
Di dalam taksi air mataku mengalir dengan deras.
Mengapa kesalahpahaman ini berakibat sangat buruk?
Sampai di rumah aku berbaring di ranjang memikirkan
peristiwa tadi, memikirkan sinar matanya yang penuh
dengan kebencian, aku menangis dengan sedihnya.
Tengah malam, aku mendengar suara orang membuka
laci, aku menyalakan lampu dan melihat dia dengan
wajah berlinang air mata sedang mengambil uang dan
buku tabungannya.
Aku menatapnya dengan dingin tanpa berkata-kata.
Dia seperti tidak melihatku saja dan segera berlalu.
Sepertinya dia sudah memutuskan utk meninggalkan aku.
Sungguh lelaki yang sangat picik, dalam saat begini dia
masih bisa membedakan antara cinta dengan uang.
Aku tersenyum sambil menitikkan air mata.
Aku tidak masuk kerja keesokan harinya, aku ingin
secepatnya membereskan masalah ini, aku akan
membicarakan semua masalah ini dan pergi mencarinya
di kantornya.
Di kantornya aku bertemu dengan sekretarisnya yang
melihatku dengan wajah bingung.
“Ibunya pak direktur baru saja mengalami kecelakaan lalu
lintas dan sedang berada di rumah sakit.”
Mulutku terbuka lebar.
Aku segera menuju rumah sakit dan saat menemukannya,
nenek sudah meninggal.
Suamiku tidak pernah menatapku, wajahnya kaku.
Aku memandang jasad nenek yang terbujur kaku.
Sambil menangis, aku menjerit dalam hati, “Tuhan,
mengapa ini bisa terjadi?”
Sampai selesai upacara pemakaman, suamiku tidak
pernah bertegur sapa denganku, jika memandangku
selalu dengan pandangan penuh kebencian.
Peristiwa kecelakaan itu aku juga tahu dari orang lain,
pagi itu nenek berjalan ke arah terminal, rupanya dia mau
kembali ke kampung.
Suamiku mengejar sambil berlari, nenek juga berlari
makin cepat sampai tidak melihat sebuah bus yang
datang ke arahnya dengan kencang.
Aku baru mengerti mengapa pandangan suamiku penuh
dengan kebencian.
Jika aku tidak muntah pagi itu, jika kami tidak bertengkar,
jika… dimatanya, akulah penyebab kematian nenek.
Suamiku pindah ke kamar nenek, setiap malam pulang
kerja dengan badan penuh dengan bau asap rokok dan
alkohol.
Aku merasa bersalah tetapi juga merasa harga diriku
terinjak-injak.
Aku ingin menjelaskan bahwa semua ini bukan salahku
dan juga memberitahunya bahwa kami akan segera
mempunyai anak.
Tetapi melihat sinar matanya, aku tidak pernah
menjelaskan masalah ini.
Aku rela dipukul atau dimaki-maki olehnya walaupun ini
bukan salahku.
Waktu berlalu dengan sangat lambat.
Kami hidup serumah tetapi seperti tidak mengenal satu
sama lain.
Dia pulang makin larut malam.
Suasana tegang di dalam rumah.
Suatu hari, aku berjalan melewati sebuah cafe, melalui
keremangan lampu dan kisi-kisi jendela, aku melihat
suamiku dengan seorang wanita didalam.
Dia sedang menyibak rambut sang gadis dengan mesra.
Aku tertegun dan mengerti apa yg telah terjadi.
Aku masuk kedalam dan berdiri di depan mereka sambil
menatap tajam kearahnya.
Aku tidak menangis, juga tidak berkata apapun karena
aku juga tidak tahu harus berkata apa.
Sang gadis melihatku dan ke arah suamiku, dan segera
hendak berlalu.
Tetapi dicegah oleh suamiku dan menatap kembali ke
arahku dengan sinar mata yg tidak kalah tajam dariku.
Suara detak jantungku terasa sangat keras, setiap detak
suara seperti suara menuju kematian.
Akhirnya aku mengalah dan berlalu dari hadapan mereka,
jika tidak.. mungkin aku akan jatuh bersama bayiku di
hadapan mereka.
Malam itu dia tidak pulang ke rumah.
Seakan menjelaskan padaku apa yang telah terjadi.
Sepeninggal nenek, rajutan cinta kasih kami juga
sepertinya telah berakhir.
Dia tidak kembali lagi ke rumah, kadang sewaktu pulang
ke rumah, aku mendapati lemari seperti bekas dibongkar.
Aku tahu, dia kembali mengambil barang-barang
keperluannya.
Aku tidak ingin menelepon dia, walaupun kadang terbersit
suatu keinginan untuk menjelaskan semua ini
Tetapi, itu tidak terjadi…..
Semua berlalu begitu saja.
Aku mulai hidup seorang diri, pergi check kandungan
seorang diri.
Setiap kali melihat sepasang suami istri sedang check
kandungan bersama, hati ini serasa hancur.
Teman- teman menyarankan agar aku membuang saja
bayi ini, tetapi aku seperti orang yang sedang histeris
mempertahankan miliknya.
Hitung-hitung sebagai pembuktian kepada nenek bahwa
aku tidak bersalah.
Suatu hari sepulang kerja, aku melihat dia duduk di depan
ruang tamu.
Ruangan penuh dengan asap rokok dan ada selembar
kertas di atas meja, tidak perlu tanya aku juga tahu surat
apa itu.
2 bulan hidup sendiri, aku sudah bisa mengontrol emosi.
Sambil membuka mantel dan topi aku berkata kepadanya,
“Tunggu sebentar, aku akan segera menanda tanganinya.”
Dia melihatku dengan pandangan awut-awutan, demikian
juga aku.
Aku berkata pada diri sendiri, jangan menangis, jangan
menangis.
Mata ini terasa sakit sekali, tetapi aku terus bertahan agar
air mata ini tidak keluar.
Selesai membuka mantel, aku berjalan ke arahnya dan
ternyata dia memperhatikan perutku yang agak
membuncit.
Sambil duduk di kursi, aku menanda tangani surat itu dan
menyodorkan kepadanya.
“Lu Ti, kamu hamil?”
Semenjak nenek meninggal, itulah pertama kali dia
berbicara kepadaku.
Aku tidak bisa lagi membendung air mataku yang menglir
keluar dengan derasnya.
Aku menjawab, “Ya, tetapi tidak apa-apa. Kamu sudah
boleh pergi.”
Dia tidak pergi, dalam keremangan ruangan kami saling
berpandangan.
Perlahan-lahan dia membungkukan badannya ke
tanganku, air matanya terasa menembus lengan bajuku.
Tetapi di lubuk hatiku, semua sudah berlalu, banyak hal
yang sudah pergi dan tidak bisa diambil kembali.
Entah sudah berapa kali aku mendengar dia
mengucapkan kata, “Maafkan aku, maafkan aku”.
Aku pernah berpikir untuk memaafkannya, tetapi tidak
bisa.
Tatapan matanya di cafe itu tidak akan pernah aku
lupakan.
Cinta di antara kami telah ada sebuah luka yang
menganga.
Semua ini adalah sebuah akibat kesengajaan darinya.
Berharap dinding es itu akan mencair, tetapi yang telah
berlalu tidak akan pernah kembali.
Hanya sewaktu memikirkan bayiku, aku bisa bertahan
untuk terus hidup.
Terhadapnya, hatiku dingin bagaikan es, tidak pernah
menyentuh semua makanan pembelian dia, tidak
menerima semua hadiah pemberiannya, tidak juga
berbicara lagi dengannya.
Sejak menanda tangani surat itu, semua cintaku padanya
sudah berlalu, harapanku telah lenyap tidak berbekas.
Kadang dia mencoba masuk ke kamar untuk tidur
bersamaku, aku segera berlalu ke ruang tamu, dia
terpaksa kembali ke kamar nenek.
Malam hari, terdengar suara orang mengerang dari
kamar nenek, tetapi aku tidak perduli.
Itu adalah permainan dia dari dulu.
Jika aku tidak perduli padanya, dia akan berpura-pura
sakit sampai aku menghampirinya dan bertanya apa yang
sakit.
Dia lalu akan memelukku sambil tertawa terbahak-bahak.
Dia lupa…….. itu adalah dulu, saat cintaku masih
membara, sekarang apa lagi yang aku miliki?
Begitu seterusnya, setiap malam aku mendengar suara
orang mengerang sampai anakku lahir.
Hampir setiap hari dia selalu membeli barang-barang
perlengkapan bayi, perlengkapan anak-anak dan buku-
buku bacaan untu kanak-anak.
Setumpuk demi setumpuk sampai kamarnya penuh sesak
dengan barang-barang.
Aku tahu dia mencoba menarik simpatiku, tetapi aku tidak
bergeming.
Terpaksa dia mengurung diri di dalam kamar.
Malam hari dari kamarnya selalu terdengar suara
pencetan keyboard komputer.
Mungkin dia lagi tergila-gila chatting dan berpacaran di
dunia maya pikirku.
Bagiku itu bukan lagi suatu masalah.
Suatu malam di musim semi, perutku tiba-tiba terasa
sangat sakit dan aku berteriak dengan suara yang keras.
Dia segera berlari masuk ke kamar, sepertinya dia tidak
pernah tidur.
Saat inilah yang ditunggu-tunggu olehnya.
Aku digendongnya dan berlari mencari taksi ke rumah
sakit.
Sepanjang jalan, dia mengenggam dengan erat tanganku,
menghapus keringat dingin yang mengalir di dahiku.
Sampai di rumah sakit, aku segera digendongnya menuju
ruang bersalin.
Di tubuhnya yang kurus kering, aku terbaring dengan
hangat dalam dekapannya.
Sepanjang hidupku, siapa lagi yang mencintaiku
sedemikian rupa jika bukan dia?
Sampai di pintu ruang bersalin, dia memandangku
dengan tatapan penuh kasih sayang saat aku didorong
menuju persalinan, sambil menahan sakit aku masih
sempat tersenyum padanya.
Keluar dari ruang bersalin, dia memandang aku dan
anakku dengan wajah penuh dengan air mata sambil
tersenyum bahagia.
Aku memegang tanganya, dia membalas memandangku
dengan bahagia, tersenyum dan menangis lalu
terjerambab ke lantai.
Aku berteriak histeris memanggil namanya.
Setelah sadar,dia tersenyum tetapi tidak bisa membuka
matanya…
Aku pernah berpikir tidak akan lagi meneteskan sebutir
air matapun untuknya, tetapi kenyataannya tidak
demikian, aku tidak pernah merasakan sesakit saat ini.
Kata dokter, kanker hatinya sudah sampai pada stadium
mematikan, bisa bertahan sampai hari ini sudah
merupakan sebuah mujizat.
Aku bertanya kapan kanker itu terdeteksi?
5 bulan yang lalu kata dokter, bersiap-siaplahmenghadapi
kemungkinan terburuk.
Aku tidak lagi peduli dengan nasehat perawat, aku segera
pulang ke rumah dan masuk ke kamar nenek lalu
menyalakan komputer.
Ternyata selama ini suara orang mengerang adalah benar
apa adanya, aku masih berpikir dia sedang bersandiwara.

Sebuah surat yang sangat panjang ada di dalam komputer
yang ditujukan kepada anak kami.
“Anakku, demi dirimu aku terus bertahan, sampai aku
bisa melihatmu… itu adalah harapanku.
Aku tahu dalam hidup ini, kita akan menghadapi semua
bentuk kebahagiaan dan kekecewaan,
sungguh bahagia jika aku bisa melaluinya bersamamu,
tetapi ayah tidak mempunyai kesempatan untuk itu. Di
dalam komputer ini, ayah mencoba memberikan saran
dan nasehat terhadap segala kemungkinan hidup yang
akan kamu hadapi. Kamu boleh mempertimbangkan
saran ayah.”
Anakku, selesai menulis surat ini, ayah merasa telah
menemanimu hidup selama bertahun -tahun.
Ayah sungguh bahagia.
Cintailah ibumu, dia sungguh menderita, dia adalah orang
yang paling mencintaimu dan adalah orang yang paling
ayah cintai”.
Mulai dari kejadian yang mungkin akan terjadi sejak TK,
SD, SMP, SMA sampai kuliah, semua tertulis dengan
lengkap di dalamnya.
Dia juga menulis sebuah surat untukku.
“Kasihku… dapat menikahimu adalah hal yang paling
bahagia aku rasakan dalam hidup ini.
Maafkan salahku, maafkan aku tidak pernah
memberitahumu tentang penyakitku. Aku tidak mau
kesehatan bayi kita terganggu oleh karenanya.
Kasihku, jika engkau menangis sewaktu membaca surat
ini, berarti kau telah memaafkanku.
Terima kasih atas cintamu padaku selama ini.
Aku tidak punya kesempatan untuk memberikan hadiah-
hadiah ini pada anak kita.
Pada bungkusan hadiah tertulis semua tahun pemberian
padanya.”
Kembali ke rumah sakit, suamiku masih terbaring lemah.
Aku menggendong anak kami dan membaringkannya di
atas dadanya sambil berkata, “Sayang, bukalah matamu
sebentar saja, lihatlah anak kita. Aku mau dia merasakan
kasih sayang dan hangatnya pelukan ayahnya”.
Dengan susah payah dia membuka matanya,
tersenyum….. anak itu tetap dalam dekapannya, dengan
tangannya yang mungil memegangi tangan ayahnya yang
kurus dan lemah.
Tidak tahu aku sudah menjepret berapa kali momen itu
dengan kamera di tangan sambil berurai air mata….
Teman2 terkasih, aku berbagi cerita ini kepada kalian,
agar kita semua bisa menyimak pesan dari cerita ini.
Mungkin saat ini air mata kalian sedang jatuh mengalir
atau mata masih sembab sehabis menangis, ingatlah
pesan daricerita ini:
“Jika ada sesuatu yang mengganjal di hati di antara kalian
yang saling mengasihi, sebaiknya utarakanlah, jangan
simpan di dalam hati. Siapa yang tahu apa yang akan
terjadi besok?”
Ada sebuah pertanyaan:
Jika kita tahu besok adalah hari kiamat, apakah kita akan
menyesali semua hal yang telah kita perbuat?
Atau apa yang telah kita ucapkan? Sebelum segalanya
menjadi terlambat, pikirlah masak-masak semua yang
akan kita lakukan sebelum kita menyesalinya seumur
hidup.
( http://lintascerita.blogspot/)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar