Minggu, 26 Februari 2012

pendidikan Kejujuran

Ketidakjujuran tampaknya sudah mewabah pada
hampir semua aspek kehidupan bangsa. Di
mana-mana, kita menyaksikan orang berbohong di DPR,
pengadilan, pasar, kantor, kampus, bahkan di tempat
ibadah pun ada yang berani berdusta untuk menutupi
perilaku amoralnya. Kebohongan menjadi benteng
pembelaan diri. Bohong menjadi “barang dagangan yang
diobral”. Padahal, tali kebohongan itu pendek. Sebuah
ungkapan bijak menyatakan bahwa semua tali itu
panjang, kecuali tali kebohongan. Satu kebohongan akan
dibarengi dengan aneka kebohongan lainnya.
Karena itu, ketika didatangi seseorang yang meminta
nasihat, Rasulullah SAW berkata singkat kepadanya,
“Jangan berbohong” (HR Muslim). Kalimat singkat, tetapi
bernas ini mengandung nilai edukasi yang tinggi, yaitu
pendidikan kejujuran. Mendidik manusia supaya
berperilaku jujur merupakan esensi pendidikan,
sedangkan esensi pendidikan kejujuran adalah
keteladanan yang baik dan benar.
Orang yang berbohong itu sejatinya merugi. Jika
kebohongannya tidak diketahui, dia akan mendapatkan
dosa. Dan, jika kebohongannya diketahui orang lain, dia
tidak akan dipercaya lagi. Implikasinya, hubungan dirinya
dengan sesama menjadi kurang baik karena sudah dicap
sebagai pembohong atau munafik. Orang lain tidak akan
bersimpati dan menjauhi, bahkan memusuhinya.
Orang yang jujur, secara psikologis hatinya akan selalu
merasa tenteram, damai, dan bahagia. Sebaliknya, orang
yang biasa berdusta, hidupnya menjadi tidak tenang,
dikejar-kejar oleh “pemberontakan” hati kecilnya yang
selalu menyuarakan kebenaran. Dia selalu merasa
khawatir kebohongannya itu terbongkar.
Kebiasaan tidak jujur itu sangat berbahaya, tidak hanya
bagi orang lain, tetapi juga bagi dirinya sendiri.
Kepercayaan dan kewibawaannya akan hilang. “Dalam
hati mereka (orang-orang munafik) itu ada penyakit, lalu
ditambah oleh Allah penyakitnya, dan bagi mereka siksa
yang pedih disebabkan mereka berdusta.” (QS al-Baqarah
[2]:10).
Pendidikan kejujuran harus dimulai dengan jujur kepada
diri sendiri dengan senantiasa meminta “fatwa
kebenaran” yang bersumber dari hati nurani. “Istafti
qalbaka” (minta fatwalah kepada hatimu). Setelah itu,
hendaklah kamu selalu benar. Sesungguhnya kebenaran
membawa kepada kebajikan dan kebajikan membawa ke
surga.” (HR Bukhari).
Pendidikan kejujuran dapat terwujud manakala ia selalu
belajar menjalani kehidupan ini dengan lima hal, yaitu
iman, ikhlas, ihsan, ilmu, dan istiqamah. Dengan iman, ia
yakin Allah pasti mengawasi dan mencatat seluruh amal
perbuatannya. Dengan ikhlas, ia dididik untuk melakukan
sesuatu dengan mengharapkan rida Allah. Dengan ihsan,
ia akan berbuat yang terbaik untuk orang lain. Dengan
ilmu, ia tahu perbuatan halal dan haram. Dan, dengan
istiqamah, ia belajar mengawal kebaikan dan kebenaran
yang sudah dibiasakannya menjadi lebih baik dan lebih
diridai Allah SWT.
“Tiga golongan manusia yang pada hari kiamat kelak
tidak akan dipandang oleh Allah dengan rahmat-Nya,
bahkan mereka itu akan memperoleh siksaan yang
menyakitkan, yaitu orang tua yang berbuat zina,
penguasa yang berdusta, dan orang melarat yang
sombong.” (HR Muslim).
Republika.co.id

Tidak ada komentar:

Posting Komentar