Sabtu, 11 Februari 2012

Rezeki mata uji madrasah kehidupan

Rezeki
dalam kehidupan manusia
persis seperti air hujan
terhadap tanaman. Ketika
curah hujan cukup, tanaman
pun kian menghijau,
berbunga, dan akhirnya
menghasilkan buah. Bedanya
dengan tanaman, manusia
mestinya tak perlu layu ketika rezeki tak kunjung turun.
Namun, sifat manusia memang selalu tergesa-gesa. Kala
rezeki tak menetes dari langit, tak sedikit orang
berpikiran pendek. Frustasi. Dan memilih layu dan gugur
tanpa arti. Media massa pernah mengabarkan seorang
ibu dengan menggendong balita menceburkan diri ke air
danau berkedalaman puluhan meter.
Media juga mencatat seorang ibu membakar diri karena
bingung tak lagi punya uang untuk makan. Ia hangus
terbakar bersama dua balitanya yang sedang sakit.
Na’udzubillah.
Rasa lapar kadang membuat manusia kehilangan akal
sehat. Hilang akal hilang martabat. Media pernah
memberitakan seorang suami tega “menyewakan”
isterinya ke lelaki lain lantaran tak punya uang untuk
mengontrak toko. Na’udzubillah.
Masih banyak lagi kisah getir sejenis diungkap media
massa. Mempertontonkan keputusasaan manusia.
Keputusasaan itu berpangkal pada himpitan ekonomi.
Sedihnya, sebagian besar mereka muslim. Entah apakah
mereka pernah sempat mendengar di tempat pengajian
bahwa urusan rezeki sangat berkait dengan keimanan
seseorang. Rezeki, selain sebagai anugerah, juga sarana
ujian: seberapa tinggi mutu keimanan seorang hamba
Allah ketika ia mendapati takaran rezekinya.
Memang, tidak semua sisi yang berhubungan dengan
rezeki menjadi urusan pribadi. Makmur tidaknya seorang
anak manusia, boleh jadi, sangat berkait dengan
kebijakan pemerintahnya. Penyediaan lapangan kerja,
pemberian subsidi buat bahan pokok, kemudahan
pinjaman modal; adalah di antara bentuk kebijakan yang
sangat berpengaruh buat kemakmuran warga sebuah
bangsa.
Namun, ketika kenyataan tidak seperti yang diinginkan,
semua kembali pada kekuatan pribadi masing-masing.
Dan salah satu kunci kekuatan adalah benteng
keimanan. Inilah yang akhirnya sangat menentukan
apakah seorang hamba Allah bisa tahan dengan problem
rezeki.
Ada beberapa lubang kesalahpahaman soal rezeki yang
kerap menjebloskan seseorang ke dalam kubangan
kehinaan. Dan lubang-lubang itu terus berubah
bergantung pada siapa yang akan jadi target. Pertama,
anggapan bahwa rezeki sebagai kunci segala masalah.
Inilah yang akhirnya menjadikan seseorang mengalami
pergeseran tujuan hidup. Karena rezeki jadi sumber
solusi, rezeki pun menjadi tujuan. Bukan lagi sekadar
sarana yang boleh ada, boleh tidak.
Orang yang terjeblos pada anggapan ini, akan
menghalalkan segala cara. Apa pun ia tempuh asal bisa
dapat banyak rezeki. Dan jika akhirnya rezeki luput, ia
akan putus asa. Baginya, kehidupan tak lagi punya arti
tanpa rezeki. Maha Benar Allah dalam firman-Nya, “(Kami
jelaskan yang demikian itu) supaya kamu jangan
berduka cita terhadap apa yang luput dari kamu, dan
supaya kamu jangan terlalu gembira terhadap apa yang
diberikan-Nya kepadamu. Dan Allah tidak menyukai
setiap orang yang sombong lagi membanggakan
diri.” (Al-Hadiid: 23)
Dalam cakupan yang lebih besar, pengalaman
membuktikan bahwa kejatuhan seorang muslim -
termasuk pada dai dan ulama– karena mereka terjeblos
pada lubang jenis ini. Mereka pun dipermainkan
kepentingan materi. Ada yang saling bermusuhan, ada
yang rela menjadi kacung-kacung kekuasaan (misalnya
Bal’am, seorang ulama Bani Israil yang menyangga
kekuasan Fir’aun). Mereka rela melakukan apa pun asal
tetap dapat rezeki. Na’udzubillah.
Kedua, anggapan rezeki berbanding lurus dengan tingkat
ketakwaan seseorang kepada Allah swt. Anggapan ini
yang di antaranya menjadi sebab tergelincirnya hamba-
hamba Allah dari keikhlasan. Bahkan mungkin, bisa
berubah menjadi kufur.
Tidak semua bentuk kasih sayang Allah swt. terlimpah
langsung di kehidupan dunia. Bahkan boleh jadi,
pengecilan takaran rezeki buat seseorang adalah di
antara bentuk kasih sayang Allah terhadap orang itu.
Karena tidak tertutup kemungkinan, orang justru jadi
tidak lagi taat ketika rezekinya berlimpah.
Hal itulah yang pernah dialami salah seorang pengikut
sekaligus keluarga dekat Nabi Musa a.s., Qarun. Ketika
pintu rezeki terbuka lebar, ia justru berubah kufur.
“Sesungguhnya Qarun adalah termasuk kaum Musa
(anak paman Nabi Musa), maka ia berlaku aniaya
terhadap mereka, dan Kami telah menganugerahkan
kepadanya perbendaharaan harta yang kunci-kuncinya
sungguh berat dipikul oleh sejumlah orang yang kuat-
kuat. (Ingatlah) ketika kaumnya berkata kepadanya:
‘Janganlah kamu terlalu bangga; sesungguhnya Allah
tidak menyukai orang-orang yang terlalu
membanggakan diri.” (Al-Qashash: 76)
Kalau rezeki berbanding lurus dengan tingkat taat dan
takwa, tentu orang yang paling kaya di seluruh penjuru
dunia adalah para Rasul, sahabat, dan orang-orang
saleh. Tapi, fakta sejarah tidak mengatakan itu.
Sebaliknya, merekalah yang selalu berlimut sederhana.
Bahkan, Rasulullah saw. pernah berpuasa setelah
mendapatkan kabar dari isterinya kalau isi dapur
memang benar-benar kosong.
Rezeki adalah salah satu di antara sekian mata pelajaran
yang Allah ujikan dalam madrasah dunia ini. Banyak
rezeki ujian, begitu pun ketika sedikit. Jangan sampai kita
tidak pernah lulus di dunia keadaan itu. Banyaknya
menjadi boros dan sombong, sedikitnya menjadi putus
asa dan kufur.

Sumber : http://www.dakwatuna.com/2008/rezeki-mata-uji-madrasah-kehidupan/

Tidak ada komentar:

Posting Komentar