Rabu, 22 Februari 2012

Kayalah dan masuk surga

Dari Abi ‘Abdillah Tsauban Bin Bujdad
bahwa Rasulullah saw. Bersabda, “Dinar yang paling
utama yang dibelanjakan seseorang adalah dinar yang ia
belanjakan untuk keluarganya, dinar yang ia belanjakan
untuk kendaraannya di jalan Allah, dan dinar yang ia
infakkan untuk rekan-rekannya (yang tengah berjuang)
di jalan Allah.” (Muslim)
Dalam kitab Nuzhatul-Muttaqin (syarah Riyadush-
Shalihin karya Imam An-Nawawi) disebutkan, hadits itu
menjelaskan peringkat keutamaan pengeluaran harta
(infak) bahwa memberi nafkah kepada keluarga
merupakan infak yang paling mulia. Dalam hadits lain
disebutkan:
“Dinar yang engkau infakkan di jalan Allah, dinar yang
engkau infakkan untuk (mememerdekakan) hamba
sahaya, dinar yang engkau infakkan kepada orang
miskin, dan dinar yang engkau infakkan untuk keluarga,
yang paling utama di antara semua itu adalah dinar
yang engkau infakkan kepada keluargamu.” (Muslim)
Ke manapun alokasinya, yang jelas seseorang tidak
mungkin dapat berinfak jika tidak memiliki harta. Lebih-
lebih jika kita mencermati ayat-ayat Al-Quran yang
memerintahkan kita terlibat dalam jihad. Selalu saja
disandingkan antara kewajiban berjihad dengan jiwa
dengan kewajiban berjihad dengan harta. Bahkan dari
semua ayat yang memerintahkan kita berjihad dengan
harta dan jiwa, berjihad dengan harta selalu didahulukan
kecuali pada satu ayat saja yakni ayat 111 surah At-
Taubah, yang maknanya:
“Sesungguhnya Allah telah membeli dari orang-orang
Mukmin jiwa dan harta mereka dengan mendapatkan
surga untuk mereka. Mereka berperang di jalan Allah,
lalu mereka membunuh atau terbunuh.”
Selebihnya, hartalah yang disebut terdahulu. Perhatikan
ayat-ayat berikut:
“Wahai orang-orang yang beriman, inginkah kalian aku
tunjukkan pada suatu perniagaan yang menyelamatkan
kalian dari adzab yang pedih. Kalian beriman kepada
Allah dan Rasul-Nya dan kalian berjihad di jalan Allah
denganh harta dan jiwa kalian.” (Ash-Shaf: 10-11)
Ini diperkuat dengan adanya kewajiban zakat. Dalam
urusan yang satu ini memang ada kesalahan persepsi
pada sebagian kaum muslimin. Kewajiban zakat sering
dipahami begini: kalau punya harta, zakatlah; kalau tidak
punya, tidak usah mengeluarkan zakat. Secara fiqih,
pemahaman itu sangat benar. Tapi semangatnya
bukanlah semangat kepasrahan pada keadaan.
Semangat perintah zakat harusnya dipahami: carilah
uang, kumpulkanlah harta agar dapat melaksanakan
perintah Allah yang bernama zakat. Seharusnya kita
membawa semangat shalat untuk diterapkan pada
zakat. Kita selalu berpikir kita harus bisa melaksanakan
shalat dengan segala perjuangan yang menjadi
konsekuensinya. Dari mulai mencari penutup aurat,
mencari tempat shalat, menentukan arah kiblat,
mensucikan diri, dan seterusnya.
Itu semua mematahkan anggapan yang masih dianut
sebagian orang bahwa kesalihan dan ketakwaan identik
dengan kepapaan, kemelaratan, kesengsaraan, dan
ketertindasan. Seolah-olah hanya orang miskin, jelata,
dan tertindaslah yang layak menghuni surga. Sebaliknya
orang kaya dan orang yang punya jabatan tidak punya
tempat di surga. Ini diperparah dengan sering disitirnya
hadits-hadits dha’if (lemah) atau bahkan maudhu’ (palsu)
yang memberikan pesan untuk menjauhi dunia sejauh-
juahnya demi mencapai ketakwaan dan kesucian jiwa.
Atau mungkin juga menyitir hadits shahih tentang zuhud
dengan pemahaman yang salah.
Zuhud tidaklah identik dengan melarat. Zuhud adalah
kepuasaan hati dengan apa yang diberikan Allah swt.
Zuhud adalah ketiadaan ikatan hati kepada kekayaan.
Bahwa sambil merasa puas dengan apa yang Allah
berikan dan sambil meniadakan ikatan hati dengan
harta seseorang memiliki harta dan jabatan, tidaklah
menafikan sifat zuhud.
Utsman Bin ‘Affan adalah konglomerat dan kaya raya.
Beliau termasuk sahabat Nabi saw. yang dijamin masuk
sorga. Demikian pula halnya dengan ‘Abdurrahman Bin
‘Auf. Beliau sukses dalam bisnis dan menjadi saudagar
kaya raya. Toh beliau juga termasuk yang dijamin masuk
surga. Umar Bin ‘Abdul-‘Aziz, khalifah yang kaya raya.
Tapi justeru dia termasuk orang zuhud.
Posisi harta dalam Islam sama dengan posisi
kemiskinan: sebagai ujian bagi manusia. Dengan
kekayaan orang bisa masuk surga sebagaimana dengan
kekayaan pula orang bisa masuk neraka. Dengan
kepapaan orang bisa masuk surga sebagaimana dengan
kepapaan pula orang bisa masuk neraka. Semuanya
ujian! Allah swt. menegaskan:
“Dan Kami coba kalian dengan keburukan dan kebaikan,
(semuanya) sebagai ujian.” (Al-Anbiya: 35)
Rasulullah saw. bersabda:
“Sesungguhnya dunia itu manis dan menghijau. Dan
sesungguhnya Allah mengangkat kalian sebagai khalifah
di dalamnya untuk melihat (menguji) bagaimana kalian
bekerja. Maka berhati-hatilah dengan dunia dan berhati-
hatilah dengan wanita. Karena sesungguhnya fitnah Bani
Israil adalah pada wanita.” (Riwayat Muslim)
Jadi, orang yang saleh bukanlah orang memilih
meninggalkan harta melainkan yang lulus dalam ujian
mengelola harta itu. Seseorang dianggap lulus ujian
dalam urusan harta manakala:
* Hanya menempuh cara halal untuk memperoleh harta.
Pada hari kiamat, setiap orang akan diminta
pertanggungjawaban terkait dengan hartanya, dari
manakah ia memperolehnya dan dengan cara apa? Ini
batu ujian pertama. Rasulullah saw. bersabda:
Dan sesungguhnya Allah memerintahkan orang-orang
beriman seperti yang diperintahkan kepada para rasul.
Dia berfirman, ‘Wahai para rasul, makanlah dari yang
baik dan beramal salehlah karena sessungguhnya Aku
mengetahui apa yang kamlian lakukan’. Dia juga
berfirman, ‘Wahai orang-orang yang beriman makanlah
yang baik dari yang Kami rezekikan kepada kalian’.” Lalu
Rasulullah saw. menerangkan tentang orang yang
mengadakan perjalanan panjang, kusut masai dan
berdebu. Ia mengadakahkan kedua tangannya (berdoa)
ke langit (sambil mengatakan): Ya Rabbi, ya Rabbi,
sementara makanannya haram, minumannya haram,
pakaiannya haram dan diberi makan dari yang haram,
bagaimana doanya akan dikabulkan.” (Muslim)
* Harta itu tidak menyebabkan sombong
Orang yang suksus mengelola harta adalah orang yang
dengan hartanya justeru semakin rendah hati dan
menyadari bahwa segala yang dimilikinya adalah titipan
atau amanah dari Allah. Abdurrahman bin ‘Auf yang
padahal termasuk orang yang dijamin masuk surga
pernah berlinang air mata saat dirinya siap menyantap
hidangan lezat yang ada di hadapannya. Ketika ditanya
penyebab ia menangis, ia menjawab, “Aku takut hanya
yang kunikmati di dunia inilah yang menjadi ganjaranku
dari Allah.”
* Menjadi fasilitas untuk mendekatkan diri kepada Allah.
Rasulullah saw bersabda, “Sebaik-baik harta yang saleh
adalah yang ada pada orang saleh.” Beliau juga
memerintahkan kepada kita, “Jauhkanlah dirimu dari
neraka walau dengan hanya sebelah kurma.”
* Menjadi fasilitas untuk silaturahim.
Infaq adalah baik. Dan infaq kepada kerabat adalah lebih
baik lagi. Karena selain bernilai taqarrub, perbauatan itu
juga merupakan upaya silaturahim. Rasulullah saw.
bersabda, “Shadaqah kepada orang misikin adalah satu
shadaqah dan shadaqah kepada orang yang punya
hubungan rahim (kerabat) adalah dua shadaqah:
shadaqah dan shilah (menyambungkan).” (At-Tirmidzi)
* Menjadi fasilitas untuk perjuangan.
Perjuangan Islam jelas tidak mungkin tanpa dukungan
finansial. Kekuatan orang-orang kafir harus dihadapi
dengan kekuatan optimal kaum muslimin. Dan ini tentu
saja salah kekutan itu adalah kekuatan maliyyah
(finansial).
Itulah sebagian ajaran Islam yang terkait dengan
kekayaan. Jadi, menjadi orang kaya, siapa takut? Allahu
a’lam.
Sumber : http://www.dakwatuna.com/2008/kayalah-lalu-
masuk-surga/

Tidak ada komentar:

Posting Komentar