Jumat, 17 Februari 2012

Hidup hanya sekali

Hidup cuma sekali, kata Tofu. Kalimat ini tentu saja
kurang lengkap, mestinya hidup di dunia cuma sekali.
Setelah itu mati, dan hidup abadi. Hidup di dunia yang
hanya sekali, harus memiliki banyak arti. Bukan saja
lantaran hitungan “cuma sekali” tersebut, akan tetapi
lebih kepada kesadaran hakiki bahwa akan ada kehidupan
baru setelah ini.
Agar hidup sekali bisa berarti, diperlukan tujuan yang
jelas untuk memandu arah kehidupan. Tanpa tujuan,
hidup mengalir bak layang-layang putus tali, tertiup angin
tak tahu kemana pergi. Untuk itu, Al Qur’an telah
memberikan gambaran yang sangat jelas dan tegas
tentang tujuan penciptaan manusia.
Allah telah menetapkan misi yang harus diemban
manusia. Sungguh, keberadaannya di muka bumi
bukanlah untuk bermain-main tanpa tujuan yang pasti.
Cobalah kita perhatikan firman-Nya :
“Maka apakah kamu mengira bahwa sesungguhnya Kami
menciptakan kamu secara main-main (saja), dan bahwa
kamu tidak dikembalikan kepada Kami ?” (QS. 23: 115 ).
Pertanyaan retoris tersebut mengisyaratkan betapa
absurd pemikiran sebagian manusia yang menganggap
bahwa penciptaan manusia bukan dengan kejelasan misi
serta tujuan. Seakan-akan manusia ada di muka bumi
hanyalah permainan semata, sehingga tidak memerlukan
pertanggungjawaban. Allah Ta’ala kembali mengingatkan:
“Apakah manusia mengira, bahwa ia akan dibiarkan
begitu saja (tanpa pertanggungjawaban)?” (QS. 75: 36 ).
Karena manusia memiliki misi yang pasti itulah maka
kelak ia akan dimintai pertanggungjawaban tentang
segala aktivitas dalam kehidupannya. Secara umum
tujuan penciptaan manusia adalah untuk mengabdikan
diri hanya kepada Allah semata-mata, sebagaimana
firman Allah:
“Dan Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan
supaya mereka menyembah-Ku” (QS. 51: 56 ).
Pengabdian diri kepada Allah memiliki berbagai ragam
bentuk. Ada bentuk ibadah khusus seperti shalat, puasa,
haji dan lain-lain, dan ada pula ibadah umum seperti
bekerja, berumah tangga, bermasyarakat, bernegara dan
seluruh aktivitas hidup yang bersesuaian dengan aturan
agama disertai niat mengabdi kepadaNya. Dengan
demikian kehidupan manusia, sehari semalam 24 jam
adalah ibadah, selama ada kesadaran aktif dalam dirinya
untuk menjadikan segala aktivitas tersebut sebagai
bagian dari ibadah.
Jika seluruh aktivitas kehidupan manusia adalah ibadah,
maka bagaimana mungkin seseorang melakukan korupsi,
manipulasi dan berbagai tindak kejahatan serta
penyimpangan lainnya ? Bagaimana mungkin seseorang menghabiskan waktunya untuk sesuatu yang tidak bermanfaat, bahkan memberikan kemudharatan bagi diri dan orang lain? Bagaimana mungkin tindakan maksiat
bisa dilakukan ? Bagaimana mungkin judi, mabuk, dan
seks bebas bisa dimanjakan ?
Memang tergantung tujuan hidup masing-masing.
Apabila tujuan hidupnya lepas dari bingkai ibadah, maka
jadilah kehidupan yang bebas nilai, tidak memperhatikan
baik dan buruk, benar dan salah, manfaat atau mudharat.
Yang menjadi pusat perhatiannya adalah kepuasan dan kesenangan, tidak peduli bagaimana cara mencapainya yang penting memuaskan syahwat dan nafsunya, karena memang itulah tujuan hidupnya.
Apabila shalat, puasa dan haji dilakukan, namun tidak
berada dalam bingkai kesadaran tujuan hidup, seseorang bisa melakukan korupsi sembari istighfar. Seseorang bisa melakukan manipulasi seraya membaca tasbih.
Seseorang bisa melakukan maksiat seraya melafalkan
basmalah di awal dan hamdalah di akhirnya. Seseorang bisa mengeluarkan zakat profesi dari hasil pencuriannya.
Artinya, mereka terjebak dalam ritual ibadah, bukan pada kesadaran tujuan hidup untuk ibadah.
Maka, yang amat mendasar dari hidup adalah
menentukan titik kesadaran tujuan. Dengan memiliki
kesadaran yang utuh, bahwa hidup adalah ibadah
kepadaNya, akan menjadi penuntun arah yang tak akan sesat dalam perjalanan mengarungi samudera raya kehidupan. Sebagai apapun kita, atau tidak sebagai apapun kita di dunia ini, yang sudah pasti kita adalah
hamba yang dituntut mengorientasikan seluruh jiwa,
raga, harta dan apapun yang kita punya untuk mengabdi kepadaNya.[]

Tidak ada komentar:

Posting Komentar