Rabu, 15 Februari 2012

Menilai diri sendiri

Para pahlawan mukmin sejati
selalu mengetahui kadar
kepahlawanan dari setiap
perbuatan dan karyanya.
Maka tidak bisa membesar-
besarkan nilai perbuatan dan karya
mereka jika kadar kepahlawanan dalam
perbuatan dan karyanya itu secara
objektif memang tidak ada atau sedikit.
Demikian pula sebaliknya.
Mereka juga mengetahui letak sisi
kepahlawanan mereka. Sebab, tidak ada
orang yang bisa menjadi pahlawan
dalam segala hal. Maka, mereka
menempatkan diri pada sisi dimana
mereka bisa menjadi pahlawan. Mereka
tidak pernah memaksakan kehendak dan
juga tidak pernah melawan kodrat
mereka. Mereka yang merasa hanya bisa
menjadi pahlawan dalam perang, tidak
akan pernah memaksakan diri menjadi
pahlawan dalam ilmu pengetahuan.
Menilai diri sendiri adalah seni yang
paling rumit dari sekian banyak
keterampilan jiwa yang harus dimiliki
seorang pahlawan. Sebab, inilah saat-
saat yang paling menentukan sejarah
kepahlawanan mereka, sekaligus
menentukan jalan masuk mereka kepada
sejarah sebagai pahlawan.
Seni ini dimulai dari pengamatan yang
mendalam tentang peta diri sendiri.
Setelah itu, berlanjut pada penemuan
letak kepahlawanan mereka. Setiap
ditahap ini, seni itu belum terlalu rumit.
Seni itu akan menjadi rumit menakala
memasuki penilaian tentang karya dan
perbuatan mereka. Sebab, setiap
manusia mempunyai kecenderungan
untuk membesarkan dirinya sendiri
melampaui kadar yang sebenarnya.
Karenanya, letak kerumitan dari seni
penilaian ini ada pada pertarungan
antara kecenderungan membesarkan
diri sendiri dengan keharusan bersikap
objektif yang sudah menjadi sifat sejarah
yang niscaya dalam menilai para
pahlawan. Inilah pertarungan antara
megalomania dengan objektivitas.
Simaklah firman Allah tentang
kecenderungan ini, “Jangan sekali - kali
kamu menyangka bahwa orang-orang
yang bergembira dengan apa yang
mereka kerjakan; janganlah kamu
menyangka bahwa mereka terlepas dan
siksa, dan bagi mereka siksaan yang
pedih.” (Ali Imran: 188).
para ilmuwan mengalami pertarungan
ini, ketika menilai manakah dari karya-
karya mereka yang paling monumental
dan dimanakah letak kedudukan karya-
karya ilmiah mereka itu dihadapan para
ilmuan lain yang sejenis. Para sastrawan
mengalami pertarungan ini, ketika
mereka menilai manakah karya-karya
sastra mereka yang paling abadi dan
dimanakah letak kedudukan karya sastra
itu diantara karya-karya para sastrawan
lainnya? Para pemimpin perang juga
mengalami pertarungan ini, ketika
menilai manakah pertarungan yang
dimenangkannya yang paling
monumental, dan dimanakah letak
kehebatannya, jika dibanding kehebatan
para pemimpin perang lainnya dalam
jenis perang yang mereka menangkan?
Para pemimpin politik dan dakwah juga
mengalami pertarungan ini ketika
mereka menilai jejak-jejak
kepemimpinan mereka tentang
dimanakah letak kehebatannya dan
seperti apa nilai kehebatan itu dibanding
jejak-jejak para pemimpin lain dalam
bidang politik dan dakwah?
Mempertahankan objektifitas di depan
godaan megalomania adalah pekerjaan
jiwa yang paling rumit yang senantiasa
akan dirasakan oleh para pahlawan.
Cobalah simak cara seorang khalifah dari
Zaman Abbasiyah menilai dirinya, “Saya
tidak akan pernah bangga pada prestasi
yang saya capai, tapi sebenarnya tidak
saya rencanakan. Tapi saya juga tidak
akan menyesali setiap kegagalan yang
saya alami, selama saya sudah
merencanakan semuanya dengan baik
sebelum melakukannya.”
Anis Matta

Tidak ada komentar:

Posting Komentar