Rabu, 15 Februari 2012

Pesona jiwa raga

Pada mulanya adalah
fisik. Seterusnya
adalah budi. Raga
menantikan
pandanganmu. Jiwa
membangun simpatimu. Badan
mengeluarkan gelombang magnetiknya.
Jiwa meniupkan kebajikannya.
Begitulah cinta tersurat di langit
kebenaran. Bahwa karena cinta jiwa
harus selalu berujung dengan sentuhan
fisik, maka ia berdiri dalam tarikan dua
pesona itu: jiwa dan raga.
Tapi selalu ada bias disini. Ketika
ketertarikan fisik disebut cinta tapi
kemudian kandas ditengah jalan. Atau
ketika cinta tulus pada kebajikan jiwa tak
tumbuh berkembang sampai waktu yang
lama. Bias dalam jiwa ini terjadi karena
ia selalu merupakan senyawa
spritualitas dan libido. Kebajikan jiwa
merupakan udara yang memberi kita
nafas kehidupan yang panjang. Tapi
pesona fisik adalah sumbu yang
senantiasa menyalakan hasrat asmara.
Biasnya adalah ketidakjujuran yang
selalu mendorong kita memenangkan
salah satunya: jiwa dan raga. Jangan
pernah pakai “atau” disini. Pakailah
“dan”: kata sambung yang
menghubungkan dua pesona itu. Sebab
kita diciptakan dengan fitrah yang
menyenangi keindahan fisik. Tapi juga
dengan fakta bahwa daya tahan pesona
fisik kita ternyata sangat sementara.
Lalu apakah yang akan dilakukan
sepasang pecinta jika mereka berumur
70 tahun? Bicara. Hanya itu. Dan dua
tubuh yang tidur berdampingan di atas
ranjang yang sama hanya bisa saling
memunggungi. Tanpa selera. Sebab
tinggal bicara saja yang bisa mereka
lakukan. Begitulah pesona jiwa perlahan
menyeruak di antara lapisan-lapisan
gelombang magnetik fisik: lalu
menyatakan fakta yang tidak
terbantahkan bahwa apa yang membuat
dua manusia bisa tetap membangun
sebuah jangka panjang sesungguhnya
adalah kebijakan jiwa mereka bersama.
Seperempat abad lamanya Rasulullah
saw hidup bersama Khadijah. Perempuan
agung yang pernah mendapatkan titipan
salam dari Allah lewat malaikat Jibril ini
menyimpan keagungannya begitu apik
pada gabungan yang sempurna antara
pesona jiwa dan raganya. Dua kali
menjanda dengan tiga anak sama sekali
tidak mengurangi keindahan fisiknya.
Tapi apa yang menarik dari
kehidupannya mungkin bukan ketika
akhirnya pemuda terhormat,
Muhammad bin Abdullah, menerima
uluran cintanya. Yang lebih menarik dari
itu semua adalah fakta bahwa Rasulullah
saw sama sekali tidak pernah berpikir
memadu Khadijah dengan perempuan
lain. Bahkan ketika Khadijah wafat,
Rasulullah saw hampir memutuskan
untuk tidak akan menikah lagi.
Bukan cuma itu. Bahkan ketika akhirnya
menikah setelah wafatnya Khadijah,
dengan janda dan gadis, beliau tetap
berkeyakinan bahwa Khadijah tetap tidak
tergantikan. “Allah tetap tidak
menggantikan Khadijah dengan
seseorang yang lebih baik darinya,“ kata
Rasulullah saw.
Terlalu agung mungkin. Tapi memang
begitu ia ditakdirkan: menjadi cahaya
keagungan yang menerangi jalan para
pecinta sepanjang hidup. Pengalaman di
sekitar kita barangkali justru selalu tidak
sempurna. Karena biasanya selalu hanya
ada “atau” bukan “dan” dalam pesona
kita. Atau bahkan tidak ada “dan” apalagi
“atau”. Ketika pesona terbelah seperti itu,
cinta pasti berada di persimpangan jalan,
selamanya diterpa cobaan, seperti virus
yang menggerogoti tubuh kita. Dalam
keadaan begitu penderitaan kadang
tampak seperti buaya yang menanti
mangsa dalam diam.
Anis Matta

Tidak ada komentar:

Posting Komentar