Jumat, 17 Februari 2012

guru yg dihargai

Beberapa hari lalu saya mendapatkan kiriman yang
sangat berharga dari salah satu peserta rutin
Pesantren Wirausaha Daarul Muttaqiin. Kiriman
tersebut adalah berupa buku tua (terbit pertama kali
1963 !) - dengan judul Sejarah Pendidikan Islam yang
ditulis oleh Prof. DR. H. Mahmud Yunus (almarhum –
Ex Rektor IAIN Imam Bonjol – Padang). Yang menarik
adalah dari waktu ke waktu, umat ini mengalami
pasang surutnya. Umat ini berjaya manakala iman
dan ilmu dikuasai, para guru dan pendidik dihargai.
Penghargaan ini tentunya tidak harus berarti uang,
tetapi pemberian gaji yang baik kepada mereka
dapat menjadi salah satu indikator seberapa baik
masyarakat menghargai para guru ini.
Di salah satu jaman kejayaan Islam yang dikenal
dengan generasinya Shalahuddin al Ayyubi gaji guru
di dua madrasah yang didirikannya yaitu Madrasah
Suyufiah dan Madrasah Shalahiyyah berkisar antara
11 Dinar sampai dengan 40 Dinar sebulan !. Inilah
jaman ketika Islam menjadi guru dunia, bahkan
guru di bidang engineering dan teknologi seperti
yang ter-representasi-kan oleh Al-Jazari dengan
kitabnya - Kitáb fí ma'rifat al-hiyal al-handasiyya
(Buku Pengetahuan Tentang Alat-alat Mekanik yang
Cerdas) - yang bahkan untuk jaman modern ini
sekalipun tergolong sebagai buku yang canggih.
Saya tahu tidak semua guru mengharapkan balasan
materi seperti ini, tetapi masyarakatlah (terwakili
oleh wakil-wakil dan pemimpinnya – dan kita
semua) yang harus memperhatikan kesejahteraan
mereka. Agar mereka bisa fokus pada tugasnya, dan
agar suatu bangsa bisa memperoleh orang-orang
terbaiknya untuk menjadi guru bagi anak-anak
mereka.
Lantas apakah sekarang wajar seandainya kita
sekarang meng-appresiasi para guru dengan gaji
bulanan antara 11 Dinar sampai 40 Dinar sebulan-
nya (saat tulisan ini berarti sekitar Rp 25 juta – Rp 90
juta sebulan !) di jaman ini ?.
Saya melihat kewajarannya gaji guru di range
tersebut. Mengapa ?, Itu kurang lebih range gaji para
manager dan eksekutif perusahaan menengah di
Indonesia saat ini. Jadi wajar bukan kalau kita bisa
meng-appresiasi guru-guru yang professional setara
dengan para manager dan eksekutif professional
tersebut ?. Bahkan para professor di perguruan
tinggi, dan guru-guru impor di sekolah-sekolah
internasional yang mulai marak di negeri ini sudah
melampaui range tersebut.
Saya juga melihat adanya potensi kemampuan
masyarakat dan negara untuk meng-appresiasi para
guru ini seperti pada masa Shalahuddin tersebut di
atas. Yang diperlukan adalah perubahan orientasi
layanan, mana yang lebih dipentingkan. Bayangkan
dengan perbandingan-perbandingan berikut :
· Kepala cabang bank menengah yang melayani
Anda dalam transaksi finansial, mereka sudah
berada di range gaji 11 Dinar – 40 Dinar
sebulan tersebut. Masak yang mengurusi
transaksi yang lebih penting – yaitu transaksi
Ilmu – untuk anak-anak kita, yang akan
menjadi bekalnya seumur hidup tidak
mendapatkan apresiasi yang minimal sama ?.
· Manajer-manajer perusahaan
telekomunikasi, perdagangan, industry dan
jasa lainnya juga sudah menikmati range gaji
yang layak tersebut. Mengapa tidak untuk para
guru anak-anak mereka ?.
· Wakil-wakil kita di dewan, digaji secara layak
untuk pekerjaan dan produk yang sering tidak
jelas – mengapa tidak untuk para guru yang
pekerjaan dan produknya jelas – yaitu
menyiapkan generasi unggulan kedepan – yang
akan menentukan maju tidaknya bangsa ini
kedepan ?.
· Dlsb.dlsb.
Meng-apresiasi secara baik untuk para guru tidak
berarti harus menjadi beban yang tidak terjangkau
oleh masyarakat. Yang diperlukan hanyalah
menggeser fokus, bila selama ini pemerintah dan
masyarakat lebih suka membelanjakan
anggarannya untuk produk dan jasa yang dapat
dilihat atau dinikmati segera – menjadi focus untuk
menyiapkan generasi-generasi yang unggul untuk
masa kini dan masa yang akan datang.
Bayangkan pula dampaknya bila apresiasi terhadap
para guru ini bisa diberikan secara semestinya.
Potensi-potensi terbaik bangsa ini bisa bertahan
menjadi guru, tidak hanya kepincut dengan
pekerjaan lainnya seperti kerja di bank, menjadi
manajer industry, menjadi anggota dewan dlsb.
Bila masyarakat berhasil menarik orang-orang
terbaik dibidangnya untuk menjadi guru, maka
disitulah generasi unggulan ini akan lahir. Guru-
guru dari kalangan yang terbaik dibidangnya ini
selain berbekal ilmu yang cukup, mereka juga akan
kreatif , inovatif dan produktif dalam
mengembangkan bahan ajar-nya. Hasilnya akan
sepertu spiral yang berputar keluar, guru bermutu –
materi ajar bermutu – produk anak didik berkwalitas
tinggi – generasi unggul – semakin tinggi
apresiasinya ke ilmu dan tentu juga guru dst.
Sebaliknya bila guru tidak mendapatkan perhatian
yang seharusnya dari masyarakat, yang terjadi
adalah seperti spiral yang berputar kedalam. Guru
tidak diapresiasi semestinya – guru tidak fokus –
materi ajar kurang bermutu – prestasi anak didik
menurun – kwalitas generasi rendah – apresiasi
terhadap guru lebih rendah lagi dst.
Spiral yang berputar kedalam ini antara lain yang
kita hadapi sekarang. Produk anak didik dan
generasi yang jauh dari sifat keunggulannya,
indikasinya antara lain adalah umat yang mayoritas
ini diperdaya oleh umat lain yang minoritas dalam
bidang ekonomi, politik dan masyalah-masyalah
kemasyarakatan lainnya.
Indikasi lemahnya generasi juga bisa kita lihat dari
produk anak didik yang telah terjun ke masyarakat :
bila menjadi pejabat atau birokrat dia korupsi, bila
berpolitik mereka dusta, bila menjadi pedagang
mereka curang, bila menjadi hakim mereka tidak
berbuat adil, bila menjadi pegawai mereka kurang
produktif, bila menjadi pengusaha mereka
mengeksploitasi pekerja untuk kepentingan sendiri
dan bila menjadi penguasa mereka sewenang-
wenang.
Maka situasi seperti ayam dan telur – mana yang
harus didahulukan tersebut – harus kita break dan
diurutkan lagi dari awal. Kalau saya memilih break
ke titik awal tersebut adalah mulai dari para guru.
Hidup bapak- ibu Guru !.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar