Rabu, 08 Februari 2012

ketika harus menangis

Menangis, tak hanya persoalan anak kecil, orang dewasa
pun bisa menangis. Ada tangis bahagia, ada tangis luka.
Keduanya kadang mewarnai sela-sela kehidupan kita.
Tangisan adalah fitrah manusia. Sebuah kewajaran ketika
kita pernah menangis, apapun alasan yang
melatarbelakanginya. Ketika menangis, segala perasaan
tertumpah ruah di mana kadang kita sampai lupa pada
akal sehat yang semestinya berjalan. Luapan emosi tak
tertahankan, mengalir bersama setiap tetes air mata kita.
Saya yakin, anda pun pernah menangis…?
Entah dalam moment apa. Ketika seseorang menangis,
jelas batin yang sedang berbicara. Hatinya terusik. Jika
sudah demikian, biarkan untuk sejenak membiarkan
mereka. Biarkan sampai puas, toh pada saatnya akan reda.
Baru, setelahnya, kita ajak berbincang mengenai persoalan
yang dihadapainya. Cara yang terbaik adalah bicara dari
hati ke hati. Jika kita melihat kesalahan ada pada dirinya,
biarkan mereka meluahkan segalanya lewat kata-kata
yang mungkin terlontar. Menyalahkah sikapnya, bukan
cara yang bijak pada kondisi seperti itu.
Mengapa secara tiba-tiba saya menulis tentang persoalan
remeh seputar menangis. Ya, karena sering saya tak tega
melihat orang menangis. Ketika ada orang yang sedang
menangis, kadang saya suka menungguinya sampai
selesai. Ketika tangisan sudah reda, baru saya mencoba
untuk mendengarkan keluh kesah yang dihadapinya.
Bukan untuk sok bijak, hanya mencoba untuk belajar peduli
saja dengan perasaan yang sedang diderita seseorang.
Menangis memang sangat terkait dengan kondisi jiwa. Jiwa
yang sedang tertekan, merasa cobaan begitu berat. Atau
kehilangan orang yang kita cinta. Kadang hati kita merasa
hancur, tak ada lagi harapan. Begitulah kondisi jiwa kita
yang bisa jadi pernah kita rasakan. Dan kalau memang tak
tahan, menangislah sepuasnya. Asal setelahnya, kita bisa
memaknai setiap tangisan itu. Memaknai mengapa kita
mesti menangis, apakah dengan menangis saja persoalan
bisa terselesaikan. Kelak, anda akan menyadari dengan
sendirinya.
Lantas, apakah menangis identik dengan kecengengan..?
Tidak juga.
Justru, tangisan bisa jadi pertanda kelembutan hati kita.
Contoh nyatanya, mungkin anda pernah menyaksikan
anak-anak pengamen jalanan yang harus bekerja keras
mendapatkan sesuap nasi, gelandangan yang bertebaran
dijalan-jalan atau mereka yang harus rela tidur di emper-
emper toko karena tak punya rumah. Jika anda menangis,
sekedar sekali saja meneteskan air mata atau setidaknya
batin anda menangis. Itulah tanda kelembutan. Sebuah
potensi nurani yang perlu dipupuk. Kelak, kondisi yang
demikian yang akan mengantarkan kita pada kepedulian
nyata membantu orang-orang yang sedang tertimpa
kesusahan.
Begitu juga ketika kita menyadari pernah berlaku dholim
terhadap orang lain, atau kita merasa banyak dosa. Tak
mengapa anda menangis. Apalagi bagi seorang muslim.
Menangis bisa menjadi refleksi atas tingkap polah kita
selama ini. Sendiri dimalam hening, beranjak takbir
melaksanakan sholat tahajud, bisa menjadi terapi yang
baik bagi kebersihan jiwa kita.
Pada malam yang demikian, menangislah. Menyadari akan
eksistensi diri sebagai seorang hamba, menyadari betapa
tingkah polah kita banyak yang salah, mendholimi orang,atau dosa-dosa berlumuran. Sekali lagi, menangislah.
Asalkan setelahnya kita bisa mengambil makna dari setiap tetes tangisan kita.
http://penakayu. Blogspot. Com

Tidak ada komentar:

Posting Komentar