Rabu, 22 Februari 2012

Kerena cinta tidak selalu harus berwujud "bunga".


Suami saya adalah seorang
insinyur, saya mencintai
sifatnya yang alami dan saya
menyukai perasaan hangat
yang muncul di perasaan saya,
ketika saya bersandar di
bahunya yang bidang. Tiga
tahun dalam masa perkenalan,
dan dua tahun dalam masa pernikahan, harus saya akui,
bahwa saya mulai merasa lelah. Alasan-alasan saya
mencintainya dulu telah berubah menjadi sesuatu yang
menjemukan.
Saya seorang wanita yang sentimentil dan benar-benar
sensitif serta berperasaan halus. Saya merindukan saat-
saat romantis seperti seorang anak yang menginginkan
permen. Tetapi semua itu tidak pernah saya dapatkan.
Suami saya jauh berbeda dari yang saya harapkan. Rasa
sensitif-nya kurang. Dan ketidakmampuannya dalam
menciptakan suasana yang romantis dalam pernikahan
kami telah mementahkan semua harapan saya akan cinta
yang ideal.
Suatu hari, saya beranikan diri untuk mengatakan
keputusan saya kepadanya, bahwa saya menginginkan
perceraian.
"Mengapa?" tanya suami saya dengan terkejut.
"Saya lelah, kamu tidak pernah bisa memberikan cinta
yang saya inginkan" jawab saya.
Suami saya terdiam dan termenung sepanjang malam di
depan komputernya, tampak seolah-olah sedang
mengerjakan sesuatu, padahal tidak.
Kekecewaan saya semakin bertambah, seorang pria yang
bahkan tidak dapat mengekspresikan perasaannya,
apalagi yang bisa saya harapkan darinya?
Dan akhirnya suami saya bertanya, "Apa yang dapat saya
lakukan untuk mengubah pikiran kamu?"
Saya menatap matanya dalam-dalam dan menjawab
dengan pelan, "Saya punya pertanyaan, jika kau dapat
menemukan jawabannya di dalam perasaan saya, saya
akan mengubah pikiran saya. Seandainya, saya menyukai
setangkai bunga indah yang ada di tebing gunung. Kita
berdua tahu jika kamu memanjat gunung itu, kamu akan
mati. Apakah kamu akan memetik bunga itu untuk saya?"
Dia termenung dan akhirnya berkata, "Saya akan
memberikan jawabannya besok."
Perasaan saya langsung gundah mendengar responnya.
Keesokan paginya, dia tidak ada di rumah, dan saya
menemukan selembar kertas dengan coret-coretan
tangannya di bawah sebuah gelas yang berisi susu hangat
yang bertuliskan...
"Sayang, saya tidak akan mengambil bunga itu untukmu,
tetapi ijinkan saya untuk menjelaskan alasannya."
Kalimat pertama ini menghancurkan perasaan saya. Saya
melanjutkan untuk membacanya.
"Kamu selalu pegal-pegal pada waktu 'teman baik kamu'
datang setiap bulannya, dan saya harus memberikan
tangan saya untuk memijat kaki kamu yang pegal."
"Kamu senang diam di rumah, dan saya selalu khawatir
kamu akan menjadi 'aneh'. Saya harus membelikan
sesuatu yang dapat menghibur kamu di rumah atau
meminjamkan lidah saya untuk menceritakan hal-hal lucu
yang saya alami."
"Kamu selalu terlalu dekat menonton televisi, terlalu
dekat membaca buku, dan itu tidak baik untuk kesehatan
mata kamu. Saya harus menjaga mata saya agar ketika
kita tua nanti, saya masih dapat menolong
mengguntingkan kuku kamu dan mencabuti uban kamu."
"Tangan saya akan memegang tangan kamu,
membimbing kamu menelusuri pantai, menikmati
matahari pagi dan pasir yang indah. Menceritakan warna-
warna bunga yang bersinar dan indah seperti cantiknya
wajah kamu."
"Tetapi Sayang, saya tidak akan mengambil bunga indah
yang ada di tebing gunung itu hanya untuk mati. Karena,
saya tidak sanggup melihat air mata kamu mengalir
menangisi kematian saya."
"Sayang, saya tahu, ada banyak orang yang bisa mencintai
kamu lebih daripada saya mencintai kamu. Untuk itu
Sayang, jika semua yang telah diberikan tangan saya, kaki
saya, mata saya tidak cukup buat kamu, saya tidak bisa
menahan kamu untuk mencari tangan, kaki, dan mata
lain yang dapat membahagiakan kamu."
Air mata saya jatuh ke atas tulisannya dan membuat
tintanya menjadi kabur, tetapi saya tetap berusaha untuk
terus membacanya.
"Dan sekarang, Sayang, kamu telah selesai membaca
jawaban saya. Jika kamu puas dengan semua jawaban ini,
dan tetap menginginkan saya untuk tinggal di rumah ini,
tolong bukakan pintu rumah kita, saya sekarang sedang
berdiri di sana menunggu jawaban kamu."
"Jika kamu tidak puas dengan jawaban saya ini, Sayang,
biarkan saya masuk untuk membereskan barang-barang
saya, dan saya tidak akan mempersulit hidup kamu.
Percayalah, bahagia saya adalah bila kamu bahagia."
Saya segera berlari membuka pintu dan melihatnya
berdiri di depan pintu dengan wajah penasaran sambil
tangannya memegang segelas susu dan roti kesukaan
saya.
Oh, kini saya tahu, tidak ada orang yang pernah mencintai
saya lebih daripada dia mencintai saya.
Itulah cinta, di saat kita merasa cinta itu telah berangsur-
angsur hilang dari perasaan kita, karena kita merasa dia
tidak dapat memberikan cinta dalam wujud yang kita
inginkan, maka cinta itu sesungguhnya telah hadir dalam
wujud lain yang tidak pernah kita bayangkan sebelumnya.
Seringkali yang kita butuhkan adalah memahami wujud
cinta dari pasangan kita, dan bukan mengharapkan wujud
tertentu. Karena cinta tidak selalu harus berwujud
"bunga".
(sumber:http://www.invisibleman0595.co.cc/2010/02/tidak-selalu-harus-berwujud-bunga.htm

Tidak ada komentar:

Posting Komentar