Rabu, 15 Februari 2012

sempurna.!

Tidak ada manusia yang
sempurna. Memang itulah
kenyataannya. Akan tetapi,
pada waktu yang sama kita
juga diperintahkan untuk
berusaha menjadi sempurna. Atau,
setidaknya mendekati kesempurnaan.
Inilah masalahnya. Adakah kesalahan
dalam perintah ini? Tidak! Namun,
mengapa kita diperintahkan melakukan
sesuatu yang tidak mungkin menjadi
kenyataan? Jawabannya adalah
kesempurnaan itu relatif. Ukuran
kesempurnaan itu relatif. Ukuran
kesempurnaan adalah batas maksimum
dari kemampuan setiap individu untuk
berkembang. Karena, “Allah membebani
seseorang, melainkan sesuai dengan
kesanggupannya.”(Al-Baqarah: 286).
Maka, bergerak menuju kesempurnaan
adalah bergerak menuju batas
maksimum itu. Akan tetapi, kemudian
muncul pertanyaan baru, “Bagaimana
cara mengetahui batas maksimum itu?”
Tidak ada jawaban ilmiah yang cukup
valid untuk pertanyaan ini, jika jawaban
yang kita harapkan adalah ukuran
kuantitatif. Bahkan, tokoh-tokoh besar
dalam sejarah manusia, kata Syeikh
Muhammad Al-Ghazali dalam Jaddid
Hayataka, ternyata hanya menggunakan
lima sampai sepuluh persen dari total
potensi mereka. Berapakah, misalnya,
jumlah waktu yang dibutuhkan Einstein
untuk menemukan teori realitivitas, jika
sebanding dengan total umurnya?
Jadi, ukurannya tidak bersifat kuantitatif.
Namun, bersifat psikologis. Yaitu,
semacam kondisi psikologis tertentu
yang dirasakan seseorang dari suatu
proses maksimalisasi penggunaan
potensi diri, dimana seseorang
memasuki keadaan yang oleh Al-Qur'an
disebut “menjelang putus asa.” (Yusuf:
110).
Maka, kesempurnaan itu obsesi. Bila
obsesi itu kuat, maka ia akan menjadi
mesin yang memproduksi tenaga jiwa,
yang membuat seseorang mampu
bergerak secara konstan menuju titik
kesempunaan. Yang kemudian terjadi
dalam kenyataan adalah suatu proses
perbaikan berkesinambungan. Karena
itu, kadar kepahlawanan seseorang tidak
diukur pada awal perjalanan hidupnya.
Tidak juga pada pertengahannya.
Namun, pada akhirnya; pada
perbandingan antara satuan waktunya
dengan satuan karyanya dan pada
perbandingan antara karyanya dengan
karya orang lain. Seseorang dianggap
pahlawan karena jumlah satuan
karyanya melebihi jumlah satuan
waktunya dan karena kualitas karyanya
melebihi kualitas rata-rata orang lain.
Itulah sumber dinamika yang dimiliki
para pahlawan mukmin sejati: obsesi
kesempurnaan. Akan tetapi, obsesi ini
mudah dilumpuhkan oleh sebuah virus
yang biasanya menghinggapi para
pahlawan. Yaitu, kebiasaan merasa besar
karena karya-karya itu, walaupun ia
sangat merasakan hal itu. Sebab,
perasaan itu akan membuatnya berhenti
berkarya. Maka, Imam Ghazali
mengatakan, “Siapa yang mengatakan
saya sudah tahu, niscaya ia segera
menjadi bodoh.”
Jadi, musuh obsesi kesempurnaan
adalah sifat megalomania. Inilah hikmah
yang kita pahami dari turunnya surah Al-
Nasr pada saat Fathu Makkah, “Apabila ia
datang pertolongan Allah dan
kemenangannya, dan engkau melihat
orang-orang berbondong-bondong
masuk kedalam agama Allah, maka
bertasbihlah kepada Tuhanmu dan
mintalah ampunan-Nya, karena
sesungguhnya Ia Maha Menerima
Taubat.”
Rasulullah saw pun tertunduk sembari
menangis tersedu-sedu saat menerima
wahyu itu, hingga janggut beliau
menyentuh punuk untanya.
Membebaskan satu negeri adalah karya
besar. Akan tetapi, ketika Uqbah bin Nafi'
bergerak untuk membebaskan Afrika,
beliau hanya mengucapkan sebuah
kalimat yang sangat seerhana, “Ya Allah,
terimalah amal kami. Sesungguhnya
Engkau Maha Mendengar lagi Maha
Mengetahui.”
Anis Matta

Tidak ada komentar:

Posting Komentar